Opini
Opini Tasroh: Keamanan 'Impor' Pakaian Bekas
PRESIDEN Jokowi kembali berang lantaran di tengah kampanye "cinta produk dalam negeri" yang sudah didengungkan dari generasi ke generasi, yang terjadi
Opini Ditulis Oleh Tasroh, SS, MPA, MSc (ASN di Disnaker Pemkab Banyumas)
TRIBUNJATENG.COM - PRESIDEN Jokowi kembali berang lantaran di tengah kampanye "cinta produk dalam negeri" yang sudah didengungkan dari generasi ke generasi, yang terjadi justru impor pakaian bekas terus menyebar hampir semua wilayah/daerah. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa impor pakaian bekas tak hanya merusak tatanan
Industri koveksi nasional, tetapi juga berpotensi terjadinya penyebaran berbagai penyakit. IDI
(2023) melaporkan bahwa potensi terjadinya penyebaran penyakit kulit hingga penyakit berbasis virus seperti HIV-AIDS yang bisa mengancam keamanan dan kesehatan konsumen dan berpotensi menyebar ke banyak warga lainnya (Kompas, 18/3/2023).
Warning presiden Jokowi pun belakangan mulai dijalankan oleh jajaran Menteri Perdagangan RI. Mendag, Zulkifli Hasan menggandeng jajaran importir serta aparat Polri berhasil menggagalkan impor pakaian bekas senilai Rp 10 Milliar, dan pakaian bekasnya pun akhirnya "dibakar" ramai-ramai di depan warga.
Upaya tersebut diyakini Kemendag RI sebagai ikhtiar untuk membangun efek jera bagi importir yang masih terus mengimpor pakaian bekas sekaligus warning para konsumen dan pedagang /penjual pakaian bekas agar berhenti menjual-berbisnis pakaian bekas.
Diketahui, bisnis dan impor pakaian bekas, termasuk impor barang-barang bekas lainnya, Indonesia adalah "sorga"yang amat menggiurkan untuk mengeruk profit ekonomi. Konon, pendapatan importir pakaian bekas-barang-barang bekas, naik agresif setiap tahun sekaligus mampu menggairahkan ekonomi kalangan UMKM. Tercatat ada sekitar 2,7 juta pelaku usaha kelas UMKM yang mendapatkan untung dari bisnis impor pakaian/barang bekas, meski pemerintah memandang sebagai barang kategori "sampah".
Dilema
Harus diakui, keberadaan pakaian impor bekas itu dilematis. Di satu sisi konon merusak pasar konveksi nasional dan memicu penyakit berbahaya dan menambah sampah baru di Indonesia, tetapi di sisi lain jutaan kalangan UMKM menjerit karena berpotensi menggerus sumber pendapatan mereka yang sudah dinikmati turun-temurun.
Kemendag RI (2022) mencatat terjadi perputaran bisnis-ekonomi mencapai Rp 20 miliar setiap hari atas jual-beli dan transaksi berbasis pakaian bekas.
Bahkan pelaku usaha kecil bisnis pakaian bekas termasuk bidang usaha yang sudah merambah hingga ke desa-kampung. Tercatat bisnis pakaian bekas sudah merambah hingga 328 desa-kampung di seluruh Indonesia, karena memang dinilai menguntungkan semua secara bisnis-ekonomi. Dari transaksi produk/pakaian bekas impor demikian, juga telah berkontribusi pada kesempatan kerja baru sehingga tercatat 1,3 juta pekerja baru terserap dari bisnis impor pakaian bekas demikian, (BI, 17/3/2023).
Para importir juga bergairah karena permintaan pasar di Indonesia yang terus bergairah, ditambah dengan ritual agama tertentu yang selalu mendorong warga "ganti baju" secara massal. Diakui, meski "barang bekas" pakaian impor itu kondisi fisiknya masih bagus bahkan banyak yang berkategori "branded", sehingga kian mendorong konsumen pakaian bekas kian massif.
Kondisi tersebut diperkuat dengan budaya lokal yang masih gemar "barang impor" yang seolah seperti biasanya gengsi life style menyeruak lebih luas jika konsumen memakai merk-merk impor.
Secara kultur bisnis, konsumen Indonesia memang "hare gene" belum memiliki merk-merk lokalnya sendiri. Hobi yang belakangan jadi "tradisi suka barang impor", seperti disebutkan pakar Fashion, Ivan Gunawan dalam wawancara dengan media nasional (17/3/2023).
"Kultur Impor", konsumen di pasar Indonesia justru kian tergila-gila dengan merk-merk asing. Mereka merasakan jika memakai merk asing, apalagi jika merk branded yang sering muncul di berbagai media, dipakai oleh para seleb/elite nasional, brand tertentu meski disebut "bekas" serasa baru yang bisa membangun percaya diri konsumen. Meski hakikatnya hanyalah "halusinasi", namun diakui "mampu mengobati suasana hati" hingga meningkatkan gairah hidup.
Akibat "hobi gelap mata" konsumen Indonesia dengan barang impor itu, dibaca para importir, para pedagang sebagai peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat.
Di sisi yang lain, tingginya minat barang impor meski bekas, telah merepotkan industri konveksi di dalam negeri. Asosiasi Konveksi Indonesia (2022) mencatat terjadi penurunan permintaan pasar dalam negeri per tahun rata-rata 21 persen, sehingga berpotensi merusak pasar konveksi nasional dan bahkan membangrutkan harga konveksi nasional-domestik yang selama ini diandalkan sebagai sumber pendapatan negara-daerah.
Di lain pihak, hadirnya pakaian impor bekas juga terbukti telah memicu para UMKM "berkhianat" dan jauh dari spirit nasionalisme para UMKM yang selama ini didorong pemerintah untuk berpartisipasi mengembangkan/berbisnis barang produk dalam negeri. Karena sebagaimana diketahui, pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas permodalan dan teknologi serta melatih ribuan UMKM agar menjadi pebisnis andal, namun disisi lain sikap "penghianat" kalangan UMKM tak bisa dikendalikan pemerintah.
Maksud pemerintah adalah dengan berbagai bantuan yang telah dan sedang diberikan kepada jutaan UMKM di seluruh Indonesia, dikandung maksud agar kalangan UMKM bersama pemerintah bertanggung jawab ikut mengembangkan produk dan merek-merek lokal sehingga produk-merek lokal naik derajatnya dan bisa menjadi pemain pasar minimal di pasar domestik-nasional. Sungguh tak tahu diuntung, ketika sudah diberi berbagai bantuan dan ilmu bisnis oleh pemerintah, kalangan UMKM justru liar memperdagangkan barang impor, bahkan anti berdagang merk lokal dengan alasan kurang diminati pasar.
Dalam konteks dilematis demikian sudah semestinya pemerintah selaku regulator tak hanya berharap "kebaikan hati" kalangan UMKM untuk tetap setia menjual produk dalam negeri atau memimpikan "nasionalisme" kalangan importir yang termasuk "mission impossible" dewasa ini, tetapi segera menyelesaikan soal impor pakaian/barang bekas tersebut dengan aksi kebijakan yang win-win solution. Apa itu?
Lembaga Karantina
Hemat penulis aksi pembakaran pakaian bekas hingga senilai Rp 10 miliar di ruang publik tak hanya telah melukai dan merusak masa depan importir barang bekas dan mengancam keberlangsungan ribuan UMKM dan pedagang barang bekas yang sudah berkontribusi dalam mendongkrak ekonomi nasional-lokal, atau aneka larangan lain yang merefleksikan kegagalan struktural "bisnis barang bekas".
Akan lebih bijak dan diterima semua pihak bila pemerintah menyiapkan ekosistem pengawasan dan sistem keamanan barang impor termasuk keamanan produk pakaian bekas impor yang konsumennya ternyata ditaksir lebih banyak 2 kali lipat dari produk dalam negeri. (Sindo, 17/3/2023).
Pertama, secara kelembagaan negara, pemerintah perlu segera membentuk atau mendelegasikan pada Kementerian/lembaga negara tertentu yang memiliki kewenangan karantina atau lembaga yang bertugas melakukan investigasi, menilai, meng-audit dan memberikan semacam "sertifikasi" kelulusan produk impor barang bekas luar negeri, sehingga semua produk/barang impor. Khususnya barang bekas/pakaian bekas yang akan masuk dan beredar di pasar nasional-lokal Indonesia tanpa kecuali sudah lulus uji keamanan-kesehatan yang terstandar/tersertifikasi nasional. Tugas ini yang selama puluhan tahun alpha dalam bisnis impor produk bekas, dan baru gegeran ketika pasar dalam negeri sudah dibanjiri produk impor barang/pakaian bekaa.
Jalur Tikus
Kedua, memberantas impor barang bekas selundupan, termasuk memastikan penutupan dan pemberhentian "jalur-jalur tikus" di pasar gelap. Harus diakui, pasar gelap di Indonesia diprediksi sebagai hotbed produk impor barang bekas yang kian diidamkan konsumen Indonesia.
Hal ini konon terjadi lantaran lemahnya pengawasan aparat negara terkiat, sekaligus masih berkeliarannya aparat penegak hukum yang justru jadi backing bisnis barang impor bekas. Bahkan gegara moral dan mental korup aparat terkait lalu lintas impor di dalam negeri yang parah ini, yang justru mendesak untuk diberantas.
Untuk alasan inilah, tugas kementerian/lembaga negara terkait karantina dan uji keamanan/kesehatan produk impor barang bekas tak hanya rutin melakukan pengawasan dan sertifikasi produk impor bekas yang lebih ketat dan berkelanjutan, tetapi juga berkewajiban untuk menindak tegas aparat nakal dan korup yang selama ini memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk menjadi backing para importir nakal tersebut sehingga produk /pakaian bekas impor itu masih terus saja beredar di pasar nasional-lokal.
Jika perlu untuk akselerasi efek jera, secara periodik lembaga/instansi karantina produk impor barang /pakaian bekas diumumkan ke ruang publik sekaligus memberikan hukuman/sanksi setimpal pada pelaku usaha (meski UMKM) jika terbukti justru memperluas produk impor barang/pakaian bekas, untuk segera dihentikan fasilitas bantuan dan aneka asistensi usaha mereka sehingga mampu mengerem/mengendalikan produk impor barang/pakaian bekas segera.
Bukan main hakim sendiri dengan sok jagoan main bakar-bakaran apalagi hanya keluhan tanpa aksi nyata seperti belakangan ekspresi yang disampaikan para pejabat/elite nasional. Model solusi seruan himbauan lisan demikian diyakini tak mampu menyelesaikan kemelut bisnis impor barang/pakaian bekas kini dan nanti. Begitu. (*tribun jateng cetak)
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Viral: dari Popularitas ke Profitabilitas Membedah Nilai Ekonomi di Balik Fenomena Viral |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.