Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Idul Fitri dan Spirit Bertoleransi

Potensi perbedaan dalam ber idul fitri nampaknya akan terjadi kembali di tahun ini.

Editor: rustam aji
dok. pribadi
Rohmat Suprapto (Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PW Muhammadiyah Jateng 2022-2027) 

Dikisahkan bahwa pada saat itu, suatu ketika Nabi Muhammad saw mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya.

Komentar Nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Secara sepintah aneh rasanya hanya gara-gara menyakiti perasaan orang lain bisa masuk neraka?. Ini menandakan bahwa ibadah ritual saja belum cukup, ia mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Islam wasathiyah-substantif meniscayakan bagaimana seorang muslim merasa ngilu, sedih jika ada tetangga kanan kiri handai-tolan tidak dapat tidur karena kelaparan atau kesusahan. Rasulullah bersabda: Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang.

Sedang tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui.(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Adab Al-Mufrad hlm. 112)

Ukuran keimanan seseorang tidak hanya rajin tidak seseorang shalat atau puasa atau bahkwan tarawih, tetapi bagaimana mengembangkan sikap welas asih dan empati kepada orang yang tidak mampu, juga toleran dengan orang lain. Inilah sejatinya substansi dari nilai utama puasa. Tujuan akhir puasa sejatinya akan membuat prabadi baru, pribadi takwa. Pribadi yang berislam tanpa kamuflase, tanpa topeng.

Gambaran pribadi takwa ini dapat terbaca secara jelas dalam QS. 3 : 134-135, pertama, Yaitu orang yang memiliki sikap welas asih, empati kepada orang lain yang tidak ragu dalam mengeluarkan harta dan tenaga untuk kepentingan orang banyak baik dalam kondisi lapang maupun sempit, kedua, orang yang tidak mudah terpancing emosi sekaligus luas dada untuk membuka diri dan mudah memaafkan terhadap kekhilafan orang lain, dan yang ketiga, senantiasa tidak berbuat  yang merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Tiga karakter ini sejatinya sangat di butuhkan di era ini. Toleran, mudah membantu orang lain dengan harta atau jiwa dapat diimplementasikan dalam budaya gotong royong semampu yang kita bisa.

Menjaga kampung atau ronda, memastikan lingkungan bersih atau juga bisa secara periodik berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait perbedaan dalam beribadah, sekaligus memberikan layanan yang sepadan. Karena Indonesia adalah milik semua.

Tidak mudah terpancing emosi dan mudah memaafkan kesalahan orang lain tentu saja sangat juga dibutuhkan di masa ini. Terekspose nya penolakan terhadap fasilitas umum pemerintah yang digunakan oleh ormas yang berbeda hari dalam melaksankan ibadah Shalat Idul Fitri adalah gambar diri mulai lunturnya budaya ketimuran kita.

Budaya nenek moyang yang sarat dengan nilai luhur, seperti lembah manah (tidak terpancing emosi), tepo serila (menghargai keperbedaan pandangan dan pemikiran orang lain), jembar manah (suka memaafkan kepada orang lain baik kecil atau besar) juga dowo ususe (sabar menghadapi cobaan).

Seperangkat nilai ajaran nenek moyang kita ini tentu jika diterapkan di masa ini akan sangat membantu secara emosional dan spiritual para pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas mulia memayu hayuning bawana (memangku kepentingan orang banyak).  

  Sedangkan implementasi dari sikap takwa yang ke tiga adalah bagaimana kita tidak berbuat yang merugikan diri sendiri seperti perilaku negatif yang akan merusak citra diri dan keluarga. Anjuran membantu bagi yang berbeda keyakinan dalam menjalan ibadah sebagaimana anjuran Menag Yaqult adalah sikap yang patut dipuji di tengah era ini.

Sikap ini tentu harus dibudidayakan di tengah intoleransi yang terus meluas. Semua berangkat dari keluarga maka tiap individu dapat kembali membangun struktur keluarga menuju keluarga yang toleran, penuh harga-menghargai.

Kejadian pencurian, penjabretan dan bahkan pembunuhan yang makin marak akhir-akhir ini tentu saja harus menjadi kewaspadaan kita bersama, budaya saling memotivasi dan menahan diri untuk tidak saling menunjukkan kelonggaran harta yang dimiliki di saat sulit seperti ini juga bagian penting guna menjaga rasa orang lain yang barangkali sedang tidak memiliki harta yang cukup sebagaimana yang kita miliki.

Itulah pentingnya menaikkan level kita pada derajat kesusahan orang lain padahal bisa jadi kita tidak sedang susah walau di masa sulit seperti ini. Menaikkan level artinya membawa rasa kita kepada rasa dan perasaan orang lain yang sedang kurang beruntung karena kondisi.

Dengan menjaga rasa maka kita juga bagian penting mencegah kriminalitas yang sekarang marak terjadi.

Semoga kita mampu menjalani Idul Fitri tahun ini sebagai pribadi yang lurus agama tetapi tetap memiliki jiwa yang toleran dan inilah pribadi takwa sebagaimana sebagaimana tujuan puasa. Wallahu a’lam bi al-shawwab.

           

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved