Banjir Demak Kudus
Ini Dua Rekomendasi Walhi Soal Banjir di Jateng: Kembalikan Fungsi Hulu dan Susun RTRW Berkeadilan
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah melakukan kajian terhadap banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: muh radlis
Banjir ini tentunya berdampak terhadap ekonomi warga, seperti warga Rusunawa Kaligawe yang terpaksa menutup warung makannya.
Selain itu banjir juga mengakibatkan akses transportasi terhambat bahkan menyebabkan beberapa kendaraan rusak dan mogok.
Jika memotret persoalan banjir dengan menggunakan pendekatan ekologi politik maka penyebabnya bukan hanya curah hujan yang tinggi saja, dalam kacamata ekologi politik melalui pendekatan aktor ada beberapa asumsi dasar antara lain :
Pertama, biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati aktor secara tidak merata, Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial dan dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut.
Dalam hal ini, tentunya warga yang terdampak paling signifikan dirasakan oleh kelompok miskin, rentan, dan marginal.
"Hal ini penting kita lihat bahwa ketimpangan sosial ekologis sudah ada di depan mata," terangnya.
Asumsi kedua, persoalan lingkungan selalu berkaitan dengan kebijakan yang dihasilkan dari kontrak-kontrak politik.
Semarang dalam konteks kebijakan pengelolaan ruang cenderung serampangan, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya kawasan Ruang Terbuka Hijau karena masifnya pembangunan di bagian Hulu atau bagian atas Kota Semarang meliputi Kecamatan Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang.
Dulunya, di tahun 2012 daerah ini digunakan sebagai lahan pertanian, kemudian di tahun 2016 wilayah Kecamatan Mijen mengalami perubahan secara masif dan sama hal nya pada tahun 2022 wilayah kecamatan Gunungpati dan gajah Mungkur beralih fungsi lahannya menjadi infrastruktur, permukiman dan bangunan.
"Padahal secara kebijakan pada RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 ketiga kecamatan tersebut termasuk dalam kawasan resapan air sebagai penopang semarang bagian bawah," ungkapnya.
Ketiga, watak perekonomian yang kapitalistik dengan memaksakan perekonomian padat karya berupa industrialisasi maupun industri ekstraktif berupa tambang dan proyek energi kotor turut memberikan sumbangan terhadap penyebab bencana banjir.
"Pola perekonomian yang kapitalistik mendorong dan selalu hadir bersamaan dengan terjadinya krisis dan bencana," ujarnya.
Ia menyebut, melihat dari kacamata ekologi politik dengan melihat akar persoalan tentu menyalahkan intensitas hujan, tanggul jebol, ataupun sedimentasi sungai bukanlah tindakan yang bijaksana.
Statement-statement yang dikeluarkan pemerintah justru menunjukkan bahwa cara kerja dan pola pikir yang digunakan adalah sebatas teknikalisasi masalah.
Pola pikir tersebut menjelaskan bahwa berbagai macam persoalan lingkungan khususnya bencana banjir penyebabnya adalah faktor teknis dan penyelesaiannya bersifat teknis berupa membangun infrastruktur sungai, membenarkan tanggul, dan lainnya.
"Pemerintah tidak pernah ada kemauan pemerintah untuk membenarkan pola penataan ruang yang berkeadilan," tandasnya.
Senkom Mitra Polri Korda Banyumas Kirimkan Personel Pembersihan Paskabanjir Demak Bersama Bupati |
![]() |
---|
HAE IPB Komda Jawa Tengah Serahkan Bantuan untuk Korban Banjir Demak |
![]() |
---|
Kejaksaan Agung RI Berikan Ribuan Paket Sembako Untuk Korban Bencana Banjir Pantura |
![]() |
---|
Komisi VIII DPR Gerah Banjir Demak, Kudus dan Sekitarnya Jadi Bencana Rutin, Soroti Masalah Ini |
![]() |
---|
Bantuan Korban Banjir Kudus Terus Mengalir, Kini Giliran PT PLN |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.