Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

READERS NOTE

Membasuh Noda Demokrasi

"AGAMA ketika dipolitisasi, adalah musuh kebebasan" (Thomas Paine: 1737–1809). Thomas Paine adalah seorang pemikir, penulis, sekaligus aktivis

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
DR CEPRUDIN Dosen FH Untag Semarang | Peneliti Senior di ELSA Semarang 

 

Membasuh Noda Demokrasi
DR CEPRUDIN
Dosen FH Untag Semarang | Peneliti Senior di ELSA Semarang

"AGAMA ketika dipolitisasi, adalah musuh kebebasan" (Thomas Paine: 1737–1809). Thomas Paine adalah seorang pemikir, penulis, sekaligus aktivis yang sangat konsen dalam isu kebebasan sipil. Paine lahir di Thetford, Norfolk, Inggris 1737.
Melalui karyanya, terutama Common Sense dan The Age of Reason (terbit 1794) ia mendukung gerakan kebebasan dan menentang kekuasaan tirani. Dia sangat kritis terhadap penggunaan agama untuk pembenaran kekuasaan politik yang sewenang-wenang. Juga mengkritik keras terhadap praktik-praktik politik di mana agama dijadikan jalan untuk meraih kekuasaan.
Pernyataan Paine sekitar 230 tahun lalu tampaknya masih relevan dengan kondisi perhelatan demokrasi saat ini. Esensi pesan yang disampaikan Paine adalah berbahaya bagi kesehatan demokrasi jika kepentingan politik dibalut sistematis dengan topeng agama.
Ketika agama difungsikan sebagai kendaraan untuk mencapai dan mendukung kekuasaan politik, maka akan tiba sebuah kesukaran seperti penindasan, pembatasan kebebasan individu dan tentunya menghambat kemajuan sosial. Kondisi seperti inilah yang perlahan akan mengantar pada kerusakan martabat demokrasi.
Pemungutan suara Pilkada sudah dilaksanakan pada 27 November lalu. Hasil itung cepat atau quick count sudah diketahui siapa paslon yang unggul. Sedangkan real count oleh KPU masih terus update. Hasilnya juga mulai kelihatan, hampir sama dengan quick count. 
Meskipun kontestasi demokrasi pemilihan kepala daerah telah berlalu, namun di masyarakat menyisakan bercak-bercak noda yang “mengotori” keharmonisan sosial masyarakat. Selain isu politik uang dan politisasi bantuan sosial (bansos) yang menguat di masyarakat, ada noda demokrasi yang menurut penulis lebih berbahaya, yaitu politisasi agama.
Secara sederhana, politisasi agama dapat dipahami ketika terjadi penggunaan agama untuk kepentingan politik atau meraih kekuasaan. Penggunaan isu agama ini dilakukan baik oleh individu, kelompok, atau organisasi keagamaan, serta partai politik.
Politisasi Agama
Di Jawa Tengah, menjelang masa pencoblosan, beredar di media sosial selebaran surat dengan kop MUI Jateng, lengkap dengan tanda tangan dan stempelnya yang berisi fatwa tendensius. Selain surat berkop MUI Jateng di atas, pada akhir masa kampanye, beredar pesan berantai atau broadcast message secara random di masyarakat. Pesan singkat itu isinya mendiskreditkan agama dan salah satu pasangan calon Walikota Semarang.
Sungguh ironi. Tapi inilah fakta di mana proses-proses demokrasi dijalankan para politisi berkolaborasi dengan tokoh-tokoh agama yang cenderung menghalalkan segala cara. Para tokoh agama yang punya peran penting untuk menciptakan situasi damai, toleran, dan saling menghargai dalam perbedaan keyakinan keagamaan justru menjadi pemantik segregasi sosial.
Tentang larangan politisasi agama, sejatinya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, ada larangan menggunakan isu agama untuk meraih dukungan politik karena dapat merusak kondisi kerukunan antar umat beragama, memicu diskriminasi, dan merusak jalinan sosial antar warga negara.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa partai politik dan peserta pemilu dilarang menggunakan ajaran atau simbol agama dalam berkampanye. Kampanye yang memanfaatkan agama bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip netralitas agama dalam politik.
Artinya tokoh agama baik secara individu maupun organisasi atau siapa saja yang terlibat dalam kampanye politik, tidak boleh menggunakan agama sebagai alat untuk menarik simpati calon pemilih. Politisasi agama oleh agamawan dan juga organisasi keagamaan untuk mendukung atau menentang calon atau partai politik tertentu dapat dianggap sebagai pelanggaran.
Pada Pasal 62 PKPU No. 6 Tahun 2018 menentukan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh menggunakan simbol agama atau identitas keagamaan untuk meraih dukungan pemilih.
Pasal ini dapat dimaknai bahwa bukan sekadar calonnya yang dilarang, namun semua yang terlibat dalam proses pemenangan atau pihak lain yang terlibat dalam dukung-mendukung calon tersebut, pun turut dilarang menggunakan isu agama.
Memulihkan Kerukunan
Isu agama dalam perhelatan politik memang menjadi perhatian serius di Indonesia. Mahkamah Konstitusi juga pernah memutus perkara yang menyangkut larangan isu agama sebagai alat politik melalui putusan No. 97/PUU-XIV/2016.
MK menegaskan bahwa agama tidak patut digunakan dalam politik praktis untuk kepentingan sesaat. Agama jika digunakan untuk kepentingan politik sesaat sangat berpotensi merusak nilai-nilai persatuan dan kerukunan antar umat beragama.
Keputusan ini sejatinya bisa menjadi pijakan untuk melarang penggunaan agama dalam politik karena bisa merusak sendi-sendi toleransi beragama. Namun semua sudah terjadi. Saat ini yang paling penting adalah komitmen dari semua kalangan untuk membangun kembali kondisi yang saling menghargai dan saling menghormati.
Pada kondisi ini, para pemegang kuasa, pelaku politik, dan agamawan butuh bersatu kembali untuk membasuh noda-noda Demokrasi. Kondisi segregasi dan polarisasi sosial akibat isu agama, kesenjangan sosial-ekonomi akibat politik uang dan politisasi bansos harus dipulihkan kembali. Peran politisi (pihak yang kalah maupun menang) untuk memulihkan ketimpangan sosial akibat gesekan pemilu sangat urgen. Supaya kesenjangan sosial, konflik antar kelompok tidak semakin menjadi-jadi. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved