Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN Saizu Purwokerto

Kontroversi Serangga Jadi Alternatif Menu MBG, Akademisi UIN Saizu Beberkan Pandangan Hukum Fikihnya

Akademisi UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, memberikan pandangannya seputar hukum Islam terkait mengonsumsi serangga.

Tribun Jateng/Istimewa
HUKUM KONSUMSI SERANGGA: Akademisi UIN Saizu, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, memberikan pandangannya seputar hukum Islam terkait mengonsumsi serangga. Hal itu terkait pandangan Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, tentang serangga, seperti belalang dan ulat sagu bisa menjadi alternatif sumber protein, dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memunculkan perdebatan. (DOK. UIN SAIZU) 

TRIBUNJATENG.COM - Pandangan Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, tentang serangga, seperti belalang dan ulat sagu, bisa menjadi alternatif sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), memunculkan perdebatan.

Tak terkecuali dari sisi pandangan fikih Islam.

Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy memberikan pandangannya seputar hukum Islam terkait mengonsumsi serangga.

Baca juga: Mahasiswa KKN UIN Saizu Kolaborasi dengan PKK Desa Maron Sosialisasikan Bank Sampah

Istilah serangga dalam kajian fikih disebut dengan hasyarat.

Sebagian besar ulama mengharamkan konsumsi serangga, kecuali belalang.

Penyebab utama pengharaman ini meliputi aspek najis, potensi bahaya, serta ketidakmungkinan proses penyembelihan yang sesuai dengan syariat Islam.

Sebagai seorang muslim, memilih makanan dan minuman yang halal merupakan suatu kewajiban.

"Karena itu, pemerintah diharapkan memastikan peredaran produk halal di masyarakat sebagai bagian dari mandat undang-undang. Namun, baru-baru ini muncul wacana memasukkan serangga ke dalam menu program Makan Bergizi Gratis oleh Badan Gizi Nasional (BGN)," ujarnya Kamis (30/1/2025).

Seperti banyak diberitakan, Kepala BGN, Dadan Hindayana menyebutkan, bahwa konsumsi serangga dapat menjadi opsi bagi daerah yang secara budaya terbiasa mengonsumsinya.

Menurutnya, program MBG tidak menetapkan standar menu nasional tetapi lebih fokus pada standar komposisi gizi yang dapat disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal.

Beberapa daerah di Indonesia memang memiliki tradisi mengonsumsi serangga sebagai sumber protein. Misalnya, masyarakat di beberapa wilayah biasa mengonsumsi belalang, ulat sagu, atau laron yang dianggap memiliki kandungan protein tinggi.

Namun, menurut Dr Ash-Shiddiqy, dalam perspektif fikih Islam, tidak semua jenis serangga diperbolehkan untuk dikonsumsi. Ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum memakan serangga.

Pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali mengharamkan semua hewan yang termasuk dalam kategori hasyarat. Mereka menganggap hewan-hewan ini menjijikkan dan tidak lazim dikonsumsi manusia. Meski demikian, ada pengecualian terhadap belalang.

Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW menyebutkan, belalang merupakan salah satu hewan yang halal untuk dikonsumsi. Salah satu hadis yang menguatkan hal ini adalah: "Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa."

Selain belalang, ada pula ulama dari mazhab Syafi'i dan Hambali yang membolehkan konsumsi dhabb, yaitu sejenis kadal gurun. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas. Rasulullah SAW sendiri tidak mengonsumsi dhabb, tetapi beliau tidak melarang sahabatnya untuk memakannya.

Dalam kitab-kitab fikih klasik seperti Hayat al-Hayawan al-Kubra, dijelaskan bahwa belalang memiliki berbagai jenis dan warna. Karena keberlimpahan populasi belalang, masyarakat di beberapa daerah menjadikannya komoditas makanan.

Berbagai olahan belalang seperti belalang goreng dan tumis belalang banyak dijual sebagai camilan kaya protein. Berbeda dengan belalang, sebagian besar serangga lainnya tetap diharamkan untuk dikonsumsi dalam Islam. Misalnya, kepompong, ulat, jangkrik, tawon, dan laron dianggap sebagai hewan yang menjijikkan dan masuk dalam kategori hasyarat.

"Dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra disebutkan bahwa kepompong termasuk dalam jenis ulat merah yang hidup di tumbuh-tumbuhan dan dikategorikan sebagai hewan haram," beber dia.

Jangkrik, meskipun sering dikonsumsi oleh sebagian masyarakat sebagai camilan, juga diharamkan menurut ulama fikih karena dianggap menjijikkan. Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, disebutkan bahwa hewan-hewan kecil yang melata di tanah seperti jangkrik, tikus, kumbang, dan kalajengking tidak sah diperjualbelikan karena haram untuk dikonsumsi.

Selain itu, lebah dewasa juga dilarang untuk dikonsumsi dalam Islam. Menurut Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, lebah termasuk dalam hewan yang dilarang untuk dibunuh, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang melarang membunuh semut, lebah, burung hudhud, dan burung shurad.

Namun, ada perbedaan dalam hukum konsumsi enthung lebah atau larvanya. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Sullamunnajat menjelaskan bahwa enthung lebah halal jika dimakan bersamaan dengan madu atau sarang lebahnya. Namun, jika dikonsumsi secara terpisah, maka hukumnya haram.

Perdebatan mengenai konsumsi serangga bukan hanya soal hukum fikih, tetapi juga mencakup aspek budaya dan kebutuhan gizi. Beberapa masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, telah lama mengonsumsi serangga sebagai bagian dari kebiasaan kuliner mereka.

Selain tinggi protein, serangga juga memiliki kandungan zat besi dan lemak sehat yang dapat menjadi sumber nutrisi alternatif. Namun, bagi umat Islam, hukum syariat tetap menjadi pedoman utama dalam memilih makanan.

Allah SWT telah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 172: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah."

"Dengan adanya wacana memasukkan serangga ke dalam program MBG, pemerintah perlu memastikan bahwa pilihan makanan dalam program ini tetap memperhatikan aspek halal," sarannya.

Selain itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat agar dapat memahami perbedaan antara sumber protein yang diperbolehkan dan yang tidak sesuai dengan hukum Islam.

Ke depan, diskusi antara ulama, pakar gizi, dan pihak terkait diharapkan dapat menemukan solusi terbaik dalam menyusun kebijakan pangan yang tidak hanya bergizi tetapi juga sesuai dengan ketentuan agama. Hal ini penting agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat nutrisi yang optimal tanpa harus melanggar ajaran Islam.

Kesimpulannya, konsumsi serangga dalam Islam masih menjadi perdebatan. Meskipun belalang dinyatakan halal oleh Rasulullah SAW, sebagian besar serangga lainnya tetap diharamkan oleh mayoritas ulama.

Karena itu, umat Muslim harus berhati-hati dalam memilih makanan, terutama dalam konteks program gizi nasional yang tengah digulirkan pemerintah. Pemerintah pun diharapkan tetap mengutamakan produk yang sesuai dengan prinsip halal dalam setiap kebijakan pangan yang diterapkan. (*)

Baca juga: Mahasiswa KKN UIN Saizu Gandeng Astomanis Adakan Pelatihan Literasi Digital di Kebumen

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved