Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Adab Sopir dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif, Belajar dari Kecelakaan yang Menimpa Tokoh Umat

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah kehilangan banyak tokoh penting di jalan tol.

Tribun Jateng/Istimewa
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E., Akademisi UIN Saizu Purwokerto. (DOK. UIN SAIZU) 

Adab Sopir dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif, Belajar dari Kecelakaan yang Menimpa Para Tokoh Umat


Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E., Akademisi UIN Saizu Purwokerto


Kabar duka kembali menyelimuti keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU). Gus Alamudin Dimyati Rois, salah satu putra dari Mbah Dimyathi Rois, ulama kharismatik dari Kaliwungu, Kendal, meninggal dunia akibat kecelakaan

Tragedi ini bukanlah yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah kehilangan banyak tokoh penting—kiai, gus, dan ustaz—di jalan tol karena kecelakaan yang disebabkan oleh sopir yang mengalami microsleep akibat kelelahan.

Ini bukan sekadar kabar duka, tapi juga alarm keras bagi kita semua: sudah saatnya kita meninjau ulang relasi antara para ulama dan sopirnya, baik dari perspektif sosial, hukum Islam, maupun hukum positif.

Baca juga: 98 Mahasiswa Asing dari 20 Negara Berebut Kursi di Kampus UIN Saizu Purwokerto

Rasa Segan dan Ketaatan: Antara Adab dan Risiko

Dalam tradisi pesantren, posisi seorang kiai tidak hanya dihormati karena ilmunya, tapi juga karena karismanya. Para santri, termasuk yang menjadi sopir kiai, memosisikan diri dalam bingkai “khidmah”—pengabdian total, penuh takzim. Bahkan seorang sopir yang bukan santri pun bisa merasa segan luar biasa hanya karena berdekatan dan melayani orang alim. Mereka tidak akan berani mengambil keputusan tanpa izin, bahkan untuk hal sepele seperti berhenti sebentar buang air kecil atau istirahat sejenak.

Namun, bentuk adab ini bisa berbalik menjadi bumerang. Di tengah tekanan tanggung jawab dan rasa hormat yang dalam, seorang sopir sering menahan lelahnya. Ketika kantuk datang, mereka lebih memilih menahan daripada meminta izin berhenti, karena merasa tidak pantas, apalagi jika jarak tempuh masih panjang atau agenda di depan sangat padat.

Dalam hal ini, kritik terhadap para sopir kiai sering kali tidak menyentuh akar masalah. Benar bahwa mereka harus waspada dan tahu batas stamina, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana para kiai dan tokoh yang disopiri harus aktif menginisiasi istirahat. Karena jika tidak, maka adab itu—yang lahir dari hormat—bisa menjadi penyebab musibah.

Adab Sopir dalam Islam: Antara Khidmah dan Amanah

Dalam Islam, bekerja sebagai sopir bagi seorang ulama termasuk bentuk khidmah, tetapi sekaligus mengemban amanah yang sangat berat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Seorang sopir, meski bukan pemimpin dalam arti struktural, bertanggung jawab atas keselamatan orang yang ia antar.

Dalam konteks khidmah, adab memang penting. Tapi Islam tidak mendorong adab yang melampaui batas akal sehat hingga membahayakan diri dan orang lain. Bahkan dalam konteks jihad pun, Nabi SAW menekankan pentingnya strategi dan menjaga keselamatan. Maka jelas: jika mengantuk, berhenti. Jika lelah, istirahat. Kalau perlu, gantian. Ini bukan soal membangkang, tapi bagian dari amanah.

Lebih jauh, dalam maqashid syariah (tujuan syariat), hifzh an-nafs atau menjaga keselamatan jiwa adalah tujuan utama. Maka, membiarkan sopir menyetir dalam keadaan kantuk demi menjaga “adab”, justru bertentangan dengan prinsip dasar syariat itu sendiri.

Tinjauan Hukum Positif: UU dan Tanggung Jawab Sopir

Dalam hukum positif di Indonesia, tanggung jawab sopir diatur dalam berbagai regulasi, salah satunya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 310 ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000.”Jika kecelakaan mengakibatkan korban jiwa, sanksinya bisa lebih berat, yaitu penjara hingga 6 tahun dan/atau denda Rp12 juta (Pasal 310 ayat (4)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved