PPDS Undip
Akal-akalan "Handphone Hilang": Cara Kaprodi Anestesi FK Undip Semarang Tutupi Kasus Perundungan
Terungkap cara Taufik Eko Nugroho, mantan Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip Semarang mengajari mahasiswa handphone hilang ke Kemenkes.
Penulis: Raf | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Terungkap cara Taufik Eko Nugroho, mantan Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) mengajari mahasiswa untuk menyembunyikan barang bukti atas kasus meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari.
Fakta itu terungkap saat saksi Herdaru menyatakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (18/6/2025).
Herdaru merupakan teman satu angkatan Risma dalam program PPDS Undip yang masuk angkatan 77.
Baca juga: "Jaga IGD 24 Jam Satu Orang" Kisah Dokter Deslia Ungkap Pola Kerja Tak Manusiawi di PPDS Undip
"Ada perkataan itu dari Pak Taufik (memberikan alasan handphone hilang atau ganti) kalau ditanya dari tim Kemenkes," ujar Herdaru.
Perintah itu dilontarkan Taufik selepas kasus kematian Aulia Risma Lestari mahasiswi PPDS Anestesi Undip angkatan 77 viral sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) turun tangan.

Taufik saat memberikan intruksi tersebut berkapasitas sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip.
Intruksi tersebut muncul karena ada beberapa mahasiswa PPDS Anestesi Undip ada yang sudah dimintai keterangan oleh Kemenkes soal dugaan bullying yang menimpa Risma selama menjalani program PPDS Undip.
"Seingat saya ada beberapa mahasiswa PPDS sudah dipanggil tapi belum semua. Intruksi (dari Taufik) itu keluar," beber Herdaru.
Selain Herdaru, dalam sidang tersebut menghadirkan tiga teman satu angkatan lainnya dari Aulia Risma. Ketiganya meliputi Rian, Edo dan Sunu.
Dua dari tiga saksi tersebut juga membenarkan kondisi yang dialami oleh Herdaru.
"Iya, kami ketika itu dikumpulkan dokter Taufik, semua residen tempatnya di Fakultas kesehatan Undip, Tembalang, saya lupa tanggal dan bulannya tapi selepas surat keputusan Kemenkes (soal kasus Risma) keluar," terangnya.
Kendati ikut pertemuan itu, Edo tidak terlalu memahami intruksi dari Taufik. Dia berdalih tidak terlalu memperhatikan.
Jaksa penuntut umum kemudian mengejar keterangan dari saksi Rian untuk memperjelas peran Taufik dalam rapat persiapan klarifikasi dari Kemenkes.
Rian membenarkan adanya arahan itu. Namun, perintah detailnya tidak terlalu paham.
"Kalau adanya intruksi iya benar. Detailnya saya tidak terlalu paham," ungkap Rian.
Selepas keterangan dari para saksi, Majelis Hakim lantas mempertanyakan kepada Taufik menerima keterangan tersebut atau tidak. "Saya tidak (keberatan) yang mulia," ucapnya ketika ditanyakan soal keberatan atau tidak soal keterangan itu.
Sidang menghadirkan pula dua terdakwa lainnya meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.
Dalam sidang kali ini, para kolega dari ketiga terdakwa tampak banyak yang hadir. Mereka tampak mengobrol dengan ketiga terdakwa.

Sebaliknya, dari pihak korban mendiang Aulia Risma hanya dihadiri oleh Ibunda Risma, Nuzmatun Malinah yang datang sendirian dari Tegal.
Dia tampak mencatat beberapa keterangan dari para saksi.
"Kalau statemen nanti ke pengacara kami ya," katanya seusai sidang.
Aliran Dana Liar Mengalir
Sidang kedua kasus dugaan perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali menguak aliran uang hasil pungutan liar (pungli) berkedok biaya operasional pendidikan (BOP).
Pemeriksaan saksi dalam sidang kali ini mengambil keterangan dari Andriani, bendahara residen sekaligus rekan kerja dari Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (11/6/2025).
Andriani dalam kesaksiannya mengungkapkan, iuran BOP sudah menjadi tradisi di PPDS anestesi Undip.
Dia juga pernah mengalami hal yang sama sewaktu menjadi mahasiswa PPDS angkatan 69.
Andriani pernah menyetorkan uang Rp60 juta.
Namun, setiap angkatan jumlah pungutan BOP bisa bervariasi.
"Kalau tidak setor uang BOP tidak bisa ikut ujian karena tidak ada uang untuk mendaftar," katanya.
Andriani menyebut, secara formal tidak ada aturan resmi yang mengatur BOP.
Namun, pungutan BOP diketahui oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) dan antar residen.
"Ya tidak ada SK (Surat Keputusan) Rektor atau fakultas tapi itu kesepakatan residen," bebernya.
Andriani beralasan, uang BOP mencapai puluhan juta dibandingkan dengan biaya pendidikan lainnya supaya persiapan lebih matang.
Dia yang sudah menjadi bendahara residen sejak tahun 2021 itu mengungkapkan, semua pembayaran BOP dilakukan secara tunai.
Tidak boleh ditransfer.
"Tidak tahu (alasan harus ditransfer)," terangnya.
Dia juga mengaku, adapula iuran lain dari para staf anestesi.
Iuran itu digunakan untuk kebutuhan operasional Kelompok Staf Medis (KSM).
"Saya juga bendaharanya. Iuran itu digunakan untuk bayar admin, biaya zoom, penguji PPDS dan lainnya," paparnya.
Dari segala iuran itu, terutama BOP, Andriani yang merupakan teman terdakwa Taufik menyebut aliran BOP tidak ada keterangan mengalir ke Taufik.
"Data Excel tidak ada (tertulis untuk Taufik) kalau buku catatan saya tidak pernah lihat," ungkapnya.

Aksi Pungutan TIdak Berdasar Hukum
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika membacakan dakwaan terhadap ketiga terdakwa.
Dalam dakwaan terhadap dua terdakwa Taufik dan Sri Maryani, jaksa menyebut, perbuatan para terdakwa adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Para tersangka dijerat pasal tersebut lantaran diduga telah melakukan pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta per orang.
Aksi pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut.
Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).
"Terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran BOP sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," ujar Sandhy.
Sandhy melanjutkan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan proposal tesis, konferensi nasional, ujian CBT (ujian komputer), jurnal reading dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya.
Para mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa Taufik Eko Nugroho.
Namun, para mahasiswa takut untuk melawan. Mereka tak berdaya karena melihat posisi Eko sebagai Kaprodi.
Eko juga menciptakan persepsi ketika lancar bayar BOP maka lancar dalam proses pendidikan.
"Hal itu ditekankan Taufik pada pertemuan dengan para bendahara angkatan," katanya.
Taufik juga diduga dalam mengumpulkan dana BOP residen menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa.
Selepas terkumpul dana disetor ke terdakwa lainnya yakni Sri Maryani. Oleh Maryani uang dimasukan ke dalam rekening pribadi atas nama dirinya.
"Terdakwa Sri Mariani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," ungkap Sandhy.
Baca juga: Peran Taufik Eko Nugroho Perintahkan Mahasiswa PPDS Sembunyikan Barang Bukti Dari Kemenkes
Sandhy melanjutkan, dana miliaran rupiah itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023.
Taufik dan Maryani juga menerima sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.
Terdakwa Taufik yang selama jabatan sebagai Kaprodi telah merima setidak-tidaknya Rp 177 juta.
Adapun terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta. (*)
"Bukan Saya Yang Mencetuskan" Pembelaan Taufik Eko Nugroho, Pungutan BOP Undip Sudah Ada Sejak 2003 |
![]() |
---|
Dituntut Jaksa Paling Berat, Begini Pembelaan Taufik Terdakwa Kasus PPDS Undip |
![]() |
---|
Tuntutan Jaksa Terlalu Ringan di Bawah 5 Tahun, Keluarga Aulia Risma Berharap Hakim Beri Vonis Adil |
![]() |
---|
"Kami Kurang Puas" Keluarga Aulia Risma Kecewa Mantan Kaprodi PPDS Undip Dituntut 3 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Kisah Mahasiswa PPDS Anestesi Undip Semarang Sampai Berhutang Untuk Bayar Pungli Ujian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.