Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Kisah Ardianto Datang Saat Bocil, Kini Kembali Sebagai Ayah Beli Layangan di Toko Maganol Semarang

Ardianto (36) menggandeng tangan kecil anaknya, Arsy, yang berusia enam tahun. Keduanya berhenti di depan sebuah toko

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Rezanda Akbar
TOKO LAYANGAN - Sejumlah orang tua dan anak berkumpul di toko Maganol, toko layangan tua yang masih eksis hingga saat ini di Jalan MT Haryono Semarang, Jumat (27/6/2025)/(TRIBUNJATENG.COM/REZANDA AKBAR D.) 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Ardianto (36) menggandeng tangan kecil anaknya, Arsy, yang berusia enam tahun.

Keduanya berhenti di depan sebuah toko tua bercat warna orange dan hijau yang telah pudar, dengan tulisan "Toko Layang Layang Maganol" terpampang jelas di atas pintu kayu yang telah menua oleh waktu.

“Yah, mau layangan Sukhoi (jenis layangan yang sedang populer), ya,” kata Arsy sambil tersenyum, matanya berbinar menatap jejeran layangan warna-warni dan benang-benang dibalik kaca toko, Jumat (27/6/2025).

Sementara motornya disandarkan di pinggir jalan, Ardianto membalas dengan senyum tenang, seperti tengah menelusuri waktu ke masa di mana ia dulu berdiri di tempat yang sama, menggenggam tangan ayahnya sendiri.

“Dulu aku ke sini bareng almarhum bapak. Belikan layangan, lalu kami main di lapangan samping pelabuhan.

Sekarang gantian aku yang gandeng anakku ke sini,” katanya dengan senyum teduh, ditengah antrean.

Usai mendapatkan beberapa lembar layangan berwarna merah-putih dan layangan kertas bergambar.

Ardianto kembali mengambil motornya untuk pulang ke rumahnya.

Celetuk dari mulut kecil anaknya, mengatakan untuk mengajak ayahnya bermain layangan saat sore tiba.

"Ayahkan libur, nanti sore main layangan ya," tutur Arsy.

Di mata para ayah dan anak, Toko Maganol bukan sekadar toko.

Namun semacam pusaka kecil di tengah riuh kota, yang menyimpan jejak lintas generasi anak-anak yang datang bersama ayahnya, dan ayah-ayah yang mengenang masa kecil mereka di langit Semarang yang penuh warna.

Toko legendaris itu berlokasi di Jalan MT Haryono Nomor 530, toko mungil ini tak banyak berubah sejak pertama berdiri pada 1965.

Di balik meja kayu dan deretan rak tua, Mulyono Sentoso pria 68 tahun yang kini mengelola toko tersenyum setiap kali seikat benang atau tumpukan layangan berpindah tangan.

"Kalau sudah musim kemarau, semua laku.

Dari layangan aduan sampai benang cap lawas macam Cat Blue atau Cap Cobra," ujar Mulyono, tangannya masih cekatan membungkus pesanan meski usia tak lagi muda.

Maganol adalah toko musiman.

Namun begitu angin kemarau mulai menggoyang pucuk-pucuk pohon di Semarang, tempat ini hidup kembali.

Anak-anak datang bergerombol, kadang ditemani orang tuanya, kadang datang sendiri dengan uang saku yang ditabung, mereka datang menunjuk benang, menimbang pilihan antara layangan.

Maganol menyimpan sejarah panjang yang tak terpisahkan dari gejolak bangsa.

Dulu, ayah Mulyono yang bernama Tandi Mulyono adalah seorang guru di sekolah Tionghoa.

Namun, setelah peristiwa 1965 dan penutupan sekolah-sekolah etnis, roda hidup keluarga berubah drastis.

“Orang tua saya sempat bingung. Akhirnya coba jualan tembakau, roti kering, onderdil sepeda.

Lalu lama-lama mainan, termasuk layangan,” tutur Mulyono.

Nama Maganol sendiri lahir dari kependekan alamat rumah mereka: MT Haryono 530 disingkat Ma-Ga-Nol.

Nama sederhana yang kini menjadi penanda bagi banyak orang yang ingin kembali ke masa kecil mereka.

Saat musim layangan tiba, Maganol menjelma menjadi pusat keramaian.

Satu sampai dua bal benang bisa terjual dalam sehari.

Satu bal berisi seribu benang.

Tak hanya melayani pembeli eceran, toko ini juga menyuplai ke Magelang, Jogja, dan kota-kota lain yang masih setia pada 'tradisi kemarau' layangan.

Harganya pun merakyat, mulai dari seribu hingga dua ribu rupiah per layangan, tergantung ukuran dan kualitas.

Tapi menjaga toko seperti ini tak pernah mudah.

Benang dan layangan rentan rusak bila salah simpan.

Musuh utama mereka adalah air dan kutu bambu.

Bahkan pernah satu tahun penuh, angin layangan tak kunjung datang.

“Tapi ya tetap kita buka.

Tahu-tahu anak-anak mulai main dan toko kami mulai ramai lagi,” katanya sambil terkekeh.

Kini, di usia senjanya, Mulyono tak tahu apakah ada yang akan melanjutkan toko ini.

Anak sulungnya sudah tiada.

Anak yang lain belum tentu berminat.

Tapi ia tak memaksakan.

"Kalau ada yang mau nerusin, ya syukur.

Tapi semua kan nggak bisa dipaksakan," ucapnya lirih.

Namun Maganol tak semata-mata tentang siapa yang akan menjaga kunci toko.

Ia adalah tentang musim-musim yang datang dan pergi, tentang anak-anak yang belajar terbang lewat layangan.

Di tengah gempuran permainan digital, Toko Layang Layang Maganol berdiri seperti jangkar waktu mengikat kenangan, menjaga tradisi, dan mengajarkan bahwa ada hal-hal yang tetap indah justru karena tak berubah. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved