Readers Note
Bahaya Self Diagnosis di Media Sosial
Fenomena mendiagnosis diri sendiri adalah sebuah masalah yang harus diperhatikan, konten kesehatan yang seharusnya positif bisa menjadi negatif
Bahaya Self Diagnosis di Media Sosial
Oleh Raissa Anindya Rokhman Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
KEMUDAHAN menggunakan teknologi dapat membantu kalangan masyarakat dalam berbagai hal. Kalangan remaja termasuk pengguna internet terbanyak. Menurut data BPS sebanyak 91,33 persen penduduk perkotaan di Jawa Tengah mengakses media sosial.
Media sosial digunakan untuk komunikasi, berbagi pengalaman, hingga mesin pencarian informasi. Informasi yang tersebar di media sosial tentunya mudah diakses oleh banyak kalangan. Sayangnya kalangan remaja belum bisa memilih yang dapat menjadi rujukan dalam kehidupan.
Salah satu informasi yang saat ini marak di sosial media adalah mengenai kesehatan
mental. Informasi ini sebenarnya dibutuhkan untuk meningkatkan pengetahuan, menghilangkan stigma, serta pencegahan kondisi psikologis yang lebih serius. Sayangnya, informasi ini banyak disalahgunakan oleh remaja untuk menilai kondisi kesehatan mental mereka dan mengarah pada mendiagnosis diri sendiri.
Kurang Literasi
Fenomena mendiagnosis diri sendiri adalah sebuah masalah yang harus diperhatikan, konten
kesehatan yang seharusnya positif bisa menjadi negatif apabila remaja memiliki minat yang
kurang dalam literasi. Selain itu, maraknya kalkulator kesehatan mental yang diyakini dapat
mengetahui kondisi kesehatan mental juga memprihatinkan, karena banyak remaja yang
mempercayai hal tersebut. Dan, adanya tren glorifikasi gangguan mental dapat mendorong
remaja melakukan kegiatan self diagnosis.
Masa remaja merupakan masa peralihan yang mana banyak perubahan yang dialami oleh para remaja dan menimbulkan banyak tekanan bagi remaja itu sendiri. Literasi kesehatan mental yang baik dapat membantu mengenal adanya gangguan serta prevensi yang harus dilakukan, sebaliknya literasi kesehatan mental yang buruk akan mengarah kepada kegiatan self diagnosis. (Komala, dkk, 2023)
Maraknya tren self diagnosis didukung oleh kalkulator kesehatan mental. Alat yang awalnya
digunakan sebagai acuan dan membantu individu evaluasi kesehatan mental beralih fungsi menjadi patokan kondisi kesehatan mental seseorang.
Tren self diagnosis via kalkulator kesehatan mental sering dimanfaatkan untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. (Normansyah, dkk. 2024).
Remaja pengguna aktif media sosial, kerap kali mengikuti tren-tren yang dapat menarik simpati banyak orang. Salah satunya adalah tren glorifikasi gangguan mental, dimana tren tersebut menganggap bahwa memiliki gangguan mental merupakan hal yang diinginkan dan menarik perhatian banyak orang. (Husna, 2024).
Jadi Disinformasi
Rendahnya tingkat literasi remaja terhadap konten kesehatan mental di sosial media kerap
menjerumuskan remaja pada kegiatan self diagnosis. Informasi yang seharusnya membantu
remaja mendapatkan pengetahuan malah menjadi disinformasi dan menyebabkan remaja
menunda mencari bantuan profesional dan memperburuk kondisi remaja karena menelan mentah informasi yang beredar.
Selain itu, adanya kalkulator kesehatan mental yang tidak tervalidasi keakuratannya akan
mengarahkan remaja pada diagnosa-diagnosa yang belum tentu valid. Hal ini juga berdampak pada bagaimana persepsi diri remaja dalam interaksi sosial mereka dan menimbulkan kecemasan yang tidak perlu pada remaja yang sehat.
Memperburuk Mental
Fenomena Glorifikasi gangguan mental yang dianggap ‘keren’ oleh remaja disebabkan karena
adanya keinginan remaja menerima bentuk perhatian lebih dari orang di sekitarnya. Kurangnya sensitivitas remaja terhadap masalah gangguan mental menghambat upaya untuk mengatasi stigma yang melekat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.