Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Kisah Fritz Tekuni Dunia Kopi: Angkat Cerita Petani dari Lereng Nusantara

Panna Coffee berdiri sejak 2015, berangkat dari kegelisahan Fritz melihat Semarang belum memiliki pelaku usaha yang memfokuskan diri

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Catur waskito Edy
Tribun Jateng/Idayatul Rohmah
Fritz Januar Ajie, pemilik Panna Coffee saat membuka slow bar, baru-baru ini. Slow bar itu ia hadirkan hanya sekira dua jam dalam sehari. Tribun Jateng/Idayatul Rohmah 

Jadi sebetulnya itu gede banget Indonesia. Nah, spektrum rasa dari Indonesia sendiri dari baik Sumatera, Jawa, Sulawesi, Flores, Bali, sampai Papua itu beda semua. Makanya saya bilang rasa kopi Indonesia ini kaya banget," jelasnya.

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat Fritz menyambangi Makale, Toraja — daerah penghasil kopi legendaris.

Tapi yang ditemuinya di sana bukan sekadar biji kopi, melainkan kenyataan bahwa pengetahuan dan edukasi petani kopi masih timpang.

“Ya tantangannya sendiri-sendiri, tapi uniknya kita bisa melihat sisi lain kultur Indonesia. Memang unik-unik,” ujar Fritz.

"Ternyata setiap daerah punya cerita kopi masing-masing," ungkapnya.

Di Toraja, ia mendengar kisah tentang masa lalu yang tak banyak diketahui orang — salah satunya tentang “perang kopi”, sebuah cerita rakyat yang menyebutkan bagaimana kopi pernah menjadi sumber konflik antar kelompok.

“Itu bagian dari kultur. Kalau dibilang folklor, ya cerita-cerita rakyatnya itu,” tambahnya.

Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian coba ia rangkum dan hadirkan kembali lewat Kopi Panna — tempat di mana kopi bukan sekadar soal rasa, tapi juga menjadi ruang untuk mengenali sejarah dan budaya di baliknya.

“Saya biasanya nyari kopi misalnya, kita lagi cari varietas dari Toraja Pulu-Pulu, saya selalu pengin menghadirkan yang beda. Caranya dengan memilih buah dari varietas pertama yang dulu ditanam di Indonesia, dikenal sebagai typica," jelasnya.

Menurutnya, pemilihan varietas, hingga proses pascapanen adalah bagian dari upaya menjaga nilai tiap produk.

Karena walaupun sama-sama dari Toraja, hasil akhirnya bisa sangat berbeda — tergantung pada tangan yang mengolahnya.

'Customer mungkin bilang, ‘Saya sudah pernah beli Toraja.’ Tapi pas nyoba di Panna, mereka akan merasa ini beda, karena kita punya pemilihan sendiri,” jelasnya.

Contohnya bukan hanya dari Toraja. Fritz mengatakan, juga pernah terlibat dalam proyek kopi Gayo Kelipah — namun bukan kopi Gayo biasa.

Di sana, ia bekerja sama dengan mahasiswa dari laboratorium IPB untuk mengembangkan proses fermentasi unik yang meniru cara kerja sistem pencernaan luwak.

"Ini bekerja sama dengan anak-anak di lab IPB untuk menginokulasi feses luwak, diambil mikrobanya dan dikembangkan tidak dari luwak, tapi dikembangkan sendiri secara mandiri dan difermentasi buah kopinya selayaknya di perut luwak. Nah, value-value ini yang menjadi kekuatan di Panna sebetulnya," terangnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved