Berita Banyumas
Tradisi Merti Bumi di Lereng Slamet Banyumas, Wujud Syukur dan Pelestarian Budaya
Nuansa hening terasa mendalam di antara rimbun hutan lereng Gunung Slamet, Kamis (17/7/2025) pagi.
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Nuansa hening terasa mendalam di antara rimbun hutan lereng Gunung Slamet, Kamis (17/7/2025) pagi.
Di Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas ratusan warga berkumpul di pelataran terbuka di sekitar situs petilasan Lemah Wangi.
Di hadapan mereka, aneka hasil bumi ditata rapi dalam arak-arakan tumpeng.
Semua larut dalam doa bersama wujud rasa syukur yang disebut prosesi Merti Bumi.
Tradisi yang dahulu sempat meredup itu, kini menggeliat kembali.
Ia lahir dari kesadaran masyarakat menyapa leluhur dan merawat alam.
Tapi lebih dari itu, Merti Bumi menjelma menjadi simbol bangkitnya identitas budaya Jawa di Banyumas.
Merti Bumi tradisi lama yang dihidupkan kembali.
"Merti Bumi ini bukan sekadar seremoni.
Ini adalah ungkapan syukur atas hasil bumi dan bentuk penghormatan kepada leluhur yang dahulu menjaga alam dan wilayah ini," ujar Ketua Panitia acara, Purnomo kepada Tribunbanyumas.com.
Prosesi yang digelar warga yang tergabung dalam kelompok Kewargian Lemah Wangi, dimulai dengan kirab hasil bumi.
Warga berjalan kaki menuju situs petilasan membawa hasil panen, tumpeng, serta perlengkapan sesaji.
Acara dilanjutkan dengan doa bersama, pembagian tumpeng, kidung Jawa, hening cipta, hingga pelepasan burung dan ikan di sekitar hutan Gunung Slamet.
Semua berjalan dalam suasana khidmat, tanpa bising suara pengeras, hanya suara alam yang jadi latar.
Menariknya, tradisi ini tidak dilaksanakan di bawah naungan pemerintah desa maupun dinas kebudayaan, melainkan sepenuhnya merupakan inisiatif masyarakat adat.
Kewargian Lemah Wangi kini tengah dalam proses legalisasi sebagai bagian dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), guna memperkuat peran kelembagaan mereka dalam pelestarian budaya dan lingkungan.
Bagi masyarakat Kalibapagu, petilasan Lemah Wangi bukan makam biasa.
Di dalamnya terdapat simbol-simbol spiritual seperti lingga-yoni, lumpang batu, dan susunan bebatuan tua.
Mereka meyakini, tempat ini dulunya menjadi lokasi bersemedi para resi, pengikut ajaran Hindu dan Buddha.
"Mereka menyebutnya petilasan, bukan kuburan.
Ini dulu tempat ajaran-ajaran besar berkembang.
Bahkan hingga kini, warisan ideologis Jawa masih terasa kuat di sini," jelas peneliti budaya dari Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Widya Putri.
Menurut Widya, apa yang terjadi di Lemah Wangi adalah bagian dari proses revitalisasi budaya Jawa yang menguat pasca-pandemi Covid-19.
Ia melihat semangat menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama seperti Suran, Merti Bumi, dan ritual punden juga terjadi di wilayah lain seperti Taman Sari dan berbagai desa lain di Banyumas.
"Kalau kita lihat dari praktik di lapangan, sejak 2001 dan makin kuat setelah 2022, makin banyak pengikut tradisi ini.
Tahun ini terasa lebih semarak, lebih banyak partisipasi warga," katanya.
Ia juga mencatat fenomena menjamurnya pelaku ekonomi lokal yang menyediakan perlengkapan sesaji, busana adat, hingga makanan tradisional.
Hal ini sebagai bukti nyata pelestarian tradisi kini berdampak secara ekonomi.
Hadir dalam prosesi Merti Bumi, Anggota DPR RI Komisi VII, Siti Mukaromah, menyampaikan apresiasinya.
Menurutnya, Merti Bumi bukan hanya warisan budaya spiritual, melainkan juga pengingat pentingnya hubungan manusia dengan alam.
"Tradisi ini menjadi simbol bagaimana manusia menghargai bumi sebagai sumber kehidupan.
Merthi Bumi adalah bentuk tafakur, manusia memberi waktu merenung dan bersyukur atas limpahan berkah dari alam," katanya.
Ia menegaskan situs Lemah Wangi dan tradisi Merti Bumi perlu terus dilestarikan, tidak hanya sebagai kekayaan lokal, tetapi juga sebagai destinasi wisata budaya yang bisa mendunia.
"Banyumas punya kekuatan dari sisi alam dan budaya.
Tradisi seperti ini bisa menjadi daya tarik wisata budaya yang tak kalah dengan luar negeri.
Kita harus uri-uri budaya ini agar dikenal luas," jelasnya.
Kemidian lanjut Purnomo dan Kewargian Lemah Wangi, prosesi tahunan yang digelar setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa ini bukan sekadar perayaan sesaat.
Mereka menyusun tanggal pelaksanaan dengan musyawarah bersama sesepuh adat dan masyarakat.
"Kami ingin generasi muda mengenal dan mencintai warisan budaya lokal.
Anak-anak muda harus tahu dan ikut terlibat agar tidak tercerabut dari akar budaya kita sendiri," katanya.
Sementara itu Bagi Widya Putri, sinyal kebangkitan budaya ini bukan romantisme belaka.
Ia melihatnya sebagai tanda bergesernya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya identitas budaya.
Terlebih dalam era globalisasi yang sering kali membuat budaya lokal kehilangan bentuk.
"Tradisi kini tidak hanya dilestarikan, tapi juga diberdayakan.
Ini penting sebagai ciri khas daerah, sekaligus menjembatani sejarah leluhur dengan generasi masa kini," tutupnya. (jti)
Baca juga: ASTON Inn Pandanaran Semarang Raih Prestasi Gemilang pada Turnamen Mini Soccer
Baca juga: Label Premium, Isi Medium: LP2K Jateng Tegaskan Praktik Beras Oplosan Bisa Kena Sanksi Pidana
Baca juga: 5 Potret Kedekatan Tugba dan Refal Hady, Sudah Jadian? Terbaru Liburan Bareng di Bali
Wayang dari Limbah Kertas Semen, Inovasi Dosen Amikom Purwokerto Gaungkan Tradisi Ramah Lingkungan |
![]() |
---|
Polresta Banyumas dan PWI Tanam Pohon di Kalipagu, Dorong Gerakan Sedekah Oksigen |
![]() |
---|
Cuaca Masih Labil, Warga Banyumas Diminta Waspada Hujan Sedang-Lebat hingga Akhir Agustus |
![]() |
---|
Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Profesor, Unsoed Telah Rekomendasikan Sanksi ke Kemdiktisaintek |
![]() |
---|
Sudah Dibuka Sejak Sabtu, Segini Tarif Parkir Resmi di Kolam Retensi Purwokerto |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.