Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banyumas

Pemilik Kafe Banyumas Mulai Tepuk Jidat: Putar Suara Burung Saja Bisa Kena Royalti

Pemilik kafe di Banyumas memilih wait and see bagaimana kewajiban pembayaran royalti musik diberlakukan oleh pemerintah.

Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: deni setiawan
TRIBUN JATENG/PERMATA PUTRA SEJATI
ROYALTI LAGU - Dokumentasi suasana nobar di Cafe Ora Umum Purwokerto pertandingan Timnas Indonesia pada Selasa (29/8/2025). Pembayaran royalti bagi pemutaran lagu di tempat usaha kafe mulai dirasakan sebagai beban tambahan oleh pemilik kafe dan usaha kecil di Banyumas. 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Aturan pemerintah yang mewajibkan pembayaran royalti bagi pemutaran musik di tempat usaha mulai dirasakan sebagai beban tambahan bagi para pemilik kafe dan usaha kecil di Banyumas

Meski dimaksudkan melindungi hak cipta dan memberikan penghargaan kepada pencipta lagu, hal itu dinilai memberatkan pelaku usaha di tengah tekanan biaya operasional yang terus meningkat.

Setiap pemutaran musik di ruang komersial seperti restoran, kafe, hotel, pusat perbelanjaan, pusat kebugaran, salon, hingga transportasi umum, wajib membayar royalti kepada pemilik hak cipta.

Baca juga: Aktivitas Gunung Slamet Meningkat, BPBD Banyumas Imbau Warga Tetap Tenang dan Waspada

Baca juga: Status Siaga Bencana di Banyumas: Setelah Hujan Angin, BPBD Kirim Bantuan ke Puluhan Titik Terdampak

Kewajiban ini berlaku meski musik diputar melalui layanan streaming berlangganan seperti YouTube atau Spotify

Alasannya, musik dianggap sebagai bagian dari daya tarik usaha yang berkontribusi menarik pelanggan.

Aturan ini diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan atau Musik. 

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) minimal sekali dalam setahun, dengan tarif yang sudah ditentukan berdasarkan jenis usaha.

Pemilik kafe Ora Umum Purwokerto, Panji Aditia Adiyasta mengatakan, saat ini dia masih wait and see bagaimana peraturannya benar-benar dilaksanakan. 

"Kami masih mainkan lagu-lagu barat, masih wait and see menunggu aturannya seperti apa."

"Kekhawatiran pasti ada, orang susah tidak bisa melawan orang kaya." 

"Orang kaya tidak bisa melawan pemerintah," katanya kepada Tribunjateng.com, Rabu (6/8/2025).

Dia berpandangan Purwokerto adalah kota kecil, apabila diimplementasikan royalti musik tidak secepat itu. 

Dia mempertanyakan transparansi aliran dana royalti itu ke mana. 

Pandangan lain datang juga dari pemilik Layana Cafe Purwokerto, Adan Fajar.

Dia memilih berhenti memutar musik sejak aturan ini ramai dibicarakan. 

Sebelumnya, dia biasa menggunakan playlist YouTube Music berisi lagu-lagu barat untuk menciptakan suasana.

Kini, suara yang terdengar di kafe hanya efek alam seperti suara hujan.

"Kalau malam, sudah tidak memutar sama sekali." 

"Live music juga tidak ada, walaupun pernah sekali mendatangkan DJ." 

"Sekarang saya nunggu regulasi yang jelas, takutnya malah jadi masalah," ujar pria disapa Marucil ini.

Menurutnya, reaksi pengunjung beragam. 

Ada yang merasa nyaman dengan suasana sunyi, namun ada juga yang mengeluh kafe terasa sepi tanpa musik.

Keluhan serupa datang dari Benny Indrawan, pemilik Cafe Kopi Kebon. 

Dia menilai kebijakan ini menjadi beban tambahan, khususnya bagi kafe kecil atau warung kopi lokal yang harus memikirkan biaya operasional lain.

"Saya keberatan harus bayar royalti, apalagi kami cuma memutar musik dari YouTube atau radio, bukan mengadakan konser langsung," kata Benny.

Ia juga mempertanyakan transparansi sistem royalti. 

"Belum jelas siapa yang memungut, ke mana uangnya, dan bagaimana dibagikan ke musisi."

"Penegakan hukumnya juga terasa tidak adil." 

"Hanya sebagian kecil kafe yang diawasi, jadi kesannya tebang pilih," kataya.

Baca juga: Ketika Anak SMA di Banyumas Dapat Layanan Cek Kesehatan Gratis, Periksa Mata Hingga Gigi

Baca juga: Banyumas, Pekalongan dan 3 Kabupaten Lain Hujan Lebat, Ini Prediksi Cuaca Jateng Hari Ini dari BMKG

Pemerintah menegaskan aturan ini adalah bentuk perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan upaya memberi penghargaan yang layak kepada pencipta lagu. 

Namun di lapangan, banyak pelaku usaha kecil merasa belum siap.

Di tengah biaya sewa, listrik, bahan baku, dan gaji karyawan yang terus naik, penambahan beban royalti musik dinilai membuat usaha semakin berat dijalankan. 

Beberapa pelaku usaha bahkan memilih menghentikan pemutaran musik sama sekali menghindari kewajiban ini.

Bagi pemilik kafe seperti Marucil dan Benny, musik seharusnya menjadi sarana menciptakan suasana, bukan sumber kekhawatiran. 

Ketua PHRI Kabupaten Banyumas, Iriyanto pun cukup terkejut dengan kebijakan tersebut. 

"Ini memperdengarkan suara burung saja kena."

"Suara-suara alam masa kena royalti." 

"Kami masih memantau karena aturan itu saya pikir memberatkan dunia usaha," katanya. 

Dia mengatakan, Sabtu (9/6/2025) akan ada pertemuan khusus dengan sejumlah GM hotel, restaurant dan tempat hiburan malam membicarakan aturan ini. 

Dalam waktu dekat akan ada zoommeeting bersama PHRI jateng untuk koordinasi terkait aturan ini. 

"Kalau lagu indo seperti Rhoma Irama boleh lah jelas, tapi misalkan lagu-lagu barat ke siapa?"

"kami masih memantau dan akan mengumpulkan informasi terlebih dahulu," imbuhnya. 

Pihaknya mengatakan, PHRI Kabupaten Banyumas memiliki anggota aktif 240 hotel dan 380 restauran. 

Jumlah tersebut belum termasuk cafe-cafe di Purwokerto dan Banyumas. (*)

Baca juga: Sehari 2 Kecelakaan di Salatiga, Pelajar Tewas Tertabrak Pikap di Jalur Lawan Arah

Baca juga: Stok Beras di Gudang Bulog Cukup untuk Kebutuhan Setahun Warga Blora

Baca juga: Alasan Sejumlah RT Menolak Dana Operasional, Wali Kota Semarang: "Mungkin Mereka Punya Kas Banyak"

Baca juga: Dari Data ke Dampak: Menangkal Stunting di Akar Rumput

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved