Berita Pati
Bupati Pati Sudewo: Sebelum Saya Lakukan Penyesuaian, Ada NJOP yang Cuma Rp3 Ribu Per Meter
Bupati Pati, Sudewo, menyatakan kesiapan untuk berdialog dan menerima masukan dari berbagai pihak terkait kebijakan penyesuaian NJOP
Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, PATI — Bupati Pati, Sudewo, menyatakan kesiapan untuk berdialog dan menerima masukan dari berbagai pihak terkait kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berimbas pada kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Sebagaimana diketahui, kebijakan ini tengah memicu polemik besar di masyarakat.
Dalam keterangannya pada Rabu malam (6/8/2025), ia menegaskan bahwa pemerintahannya terbuka terhadap komunikasi, baik secara individu maupun kelembagaan.
"Saya fleksibel, saya lunak. Saya mendengarkan masukan. Tapi yang terjadi selama ini mereka (massa penolak kebijakan-red.) tidak pernah meminta komunikasi," ujar Sudewo.
Ia menambahkan bahwa komunikasi ini tidak harus selalu dengan dirinya langsung. "Saya biasanya melayani komunikasi dengan organisasi. Kalau yang sifatnya individu, silakan datang ke BPKAD, kami layani. Ada yang datang bawa pengacara pun tetap kami tanggapi. Kami terbuka dan blak-blakan dari sisi regulasi."
Sudewo menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian NJOP yang berdampak pada kenaikan PBB-P2 hingga maksimal 250 persen bukanlah keputusan sepihak.
Menurutnya, keputusan ini diambil melalui proses musyawarah bersama para kepala desa yang kemudian menyosialisasikannya kepada warga dalam forum rapat-rapat RT.
“Angka maksimal 250 persen itu merupakan hasil masukan dari bawah. Dan yang mencapai angka itu sangat sedikit, mayoritas justru di bawah 100 persen,” terangnya.
Ia menjelaskan bahwa penyesuaian NJOP merupakan amanat Undang-Undang (UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah/HKPD-red.).
UU tersebut mewajibkan penyesuaian NJOP dilakukan setidaknya setiap tiga tahun.
Sementara, Sudewo mengklaim, selama 14 tahun baru kali ini ada penyesuaian NJOP.
“Faktanya, sejak 2011 hingga 2025, NJOP di Pati tidak pernah naik. Ini pelanggaran terhadap amanat undang-undang dan tidak sehat bagi pembangunan,” ungkapnya.
Adapun angka 250 persen sudah merupakan toleransi dari angka yang seharusnya muncul dengan pertimbangan belasan tahun NJOP tidak pernah naik.
"Kalau kami hitung secara konsekuen, konsisten minimal sekali dalam tiga tahun harus dinaikkan, naiknya bisa sampai ribuan persen. Tapi saya tetapkan maksimal hanya 250 persen.
Artinya banyak sekali yang di bawah itu, bahkan banyak yang di bawah 100 persen. Yang Sampai 250 persen hanya sedikit, bukan semuanya," jelas dia.
Sebelum pihaknya melakukan penyesuaian, kata Sudewo, ada NJOP yang harganya hanya Rp3 ribu per meter persegi.
"Coba, ada nggak kalau jual beli tanah harganya Rp3 ribu per meter? Yang NJOP-nya Rp3 ribu per meter, kami beli Rp300 ribu pun mau.
Lagipula, NJOP kalau naik, sebetulnya masyarakat juga diuntungkan karena nilai tanah jadi naik. Kalau dia misalnya butuh dukungan perbankan, justru nilai agunannya naik. Itu kan diuntungkan," kata Sudewo.
Dia juga menegaskan bahwa Perbup Pati nomor 17 tahun 2025 yang mengatur penyesuaian NJOP dan tarif PBB-P2 ini tidak menabrak peraturan apa pun di atasnya.
"Perbup kami clear tidak menabrak Perda. Peraturan Bupati kami sudah kami konsultasikan di biro hukum pemerintah provinsi.
Sudah diharmonisasi di Kanwil Hukum Provinsi Jawa Tengah. Clear. Sudah kami minta koreksi dari Irjen Mendagri. Tidak ada peraturan di atasnya yang dilanggar," tegas dia.
Bupati Sudewo juga menyoroti kondisi fiskal daerah yang memprihatinkan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati saat ini hanya 14 persen dari total APBD, yang termasuk kategori kritis. Dengan minimnya pendapatan, ruang belanja pembangunan menjadi sangat terbatas.
“Jika kami tidak membuat terobosan seperti ini, bagaimana mungkin bisa membangun Pati?” katanya.
Menurut Sudewo, PAD yang kecil juga berimbas pada dana transfer daerah dari pemerintah pusat.
"Itu, kan, memang rumus, formula, dalam peraturan menteri. Manakala suatu daerah pendapatannya kecil, berarti transfer pusat ke daerah kecil juga.
Jadi, Kabupaten Pati ini transfer daerahnya kecil akibat pendapatan daerahnya juga kecil. Sehingga akumulasi APBD juga kecil. Sedangkan beban belanja pegawai hampir 50 persen untuk Pati. Mandatory untuk belanja pendidikan 20 persen, sesuai UU. Belum lagi untuk kesehatan. Jadi sisa duit hanya sedikit. Bahkan pada 2026, kami harus menyediakan Rp73 miliar untuk membayar gaji PPPK," tutur dia.
Meski dengan kondisi demikian, Pemkab Pati tetap memberikan skema tertentu sebagai bentuk perhatian kepada masyarakat kurang mampu. “Bagi keluarga tidak mampu, apalagi yang masuk kategori miskin ekstrem, pajaknya kami gratiskan. Ini sudah kami praktikkan dan skemanya jelas dalam aturan,” ujar Sudewo.
Ia juga menyatakan kesiapannya untuk mengevaluasi tarif yang dinilai terlalu memberatkan. “Kalau memang harus diturunkan yang 250 persen itu, saya turunkan. Tapi yang menyentuh 250 persen saja. Kalau sudah di bawah itu, ya tidak perlu,” imbuhnya.
Menurut Sudewo, hasil dari kebijakan ini sudah masuk ke dalam proyeksi pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2025 yang telah disahkan bersama DPRD.
Dana tersebut direncanakan untuk pembangunan infrastruktur, khususnya jalan. “Kalau dibatalkan, maka proyek-proyek pembangunan jalan yang sudah dirancang bisa batal karena sumber dananya dari sini. Anggaran itu, kan, bukan dari stok uang yang sudah ada, tapi proyeksi pendapatan,” tegasnya.
Artinya, kata Sudewo, anggaran yang sudah disahkan akan jadi defisit kalau kebijakan dibatalkan.
"Jangan dibayangkan mengedok anggaran sekian ratus miliar itu duit sudah stok. Manajemen pendapatan dan belanja kan seperti itu, proyeksi. Termasuk pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengesahkan APBN sekian ribu triliun, itu artinya potensi pendapatan yang akan didapat, bukan berarti duit sudah tersedia. Termasuk ini. Ada peluang pendapatan dari sini (perolehan PBB-P2) yang akan digunakan untuk memperbaiki infrastruktur," papar Sudewo.
Jika kebijakan ini dibatalkan dan imbasnya pemasukan berkurang, maka rencana pembangunan jalan pada akhir tahun ini yang sudah pihaknya rencanakan tidak bisa terlaksana.
Meski tetap menjalankan kebijakan terkait pajak ini, Sudewo menegaskan bahwa pihaknya tetap mengupayakan sumber pendapatan lain di luar pajak.
"Tapi mohon maaf, belum perlu kami sampaikan di sini," kata dia.
Adapun terkait polemik yang tengah berlangsung ini, Sudewo mengimbau masyarakat untuk menjaga suasana Pati tetap kondusif. Ia mengingatkan bahwa citra daerah bisa terpengaruh oleh situasi yang memanas.
“Kalau daerah kita dianggap tidak aman, bahkan mencekam, iklim investasi bisa terganggu. Yang rugi nanti ya masyarakat sendiri. Maka mari kita menahan diri, jaga suasana, dan bangun Pati bersama-sama,” tandas dia. (mzk)
Baca juga: BROSUR KUR BRI 2025 Rp 3 Juta hingga Rp 500 Juta, Bisa Ajukan Lewat Brimo
Baca juga: Wali Kota Tegal Dedy Yon: Sinok Sitong Promotor Seni Budaya dan Wisata
Baca juga: Warga Suriah Berbondong-bondong Cari Emas di Sungai Eufrat yang Mengering, Benarkah Tanda Kiamat?
Saya Tak Bermaksud Menantang Rakyat, Bupati Pati Sudewo Minta Maaf |
![]() |
---|
5.000 Santri Pati Gabung Aksi 13 Agustus, Ikut Tolak Kenaikan Pajak PBB-P2 |
![]() |
---|
Sosok Sudewo Bupati Pati Naikkan Pajak Hingga 250 Persen, Kader Partai Gerindra |
![]() |
---|
Berbuntut Ricuh, Ini 3 Alasan Bupati Sadewo Naikkan PBB-P2 di Pati hingga 250 Persen |
![]() |
---|
Kontroversi Penyitaan Air Mineral Donasi Demo PBB Naik 250 Persen, Plt. Sekda Pati: 'Demi Kirab!' |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.