Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Pakar UIN Saizu: Demo Warga Pati Jadi Momentum Evaluasi Kebijakan dan Komunikasi Publik

Pakar UIN Saizu: Demo Warga Pati Jadi Momentum Evaluasi Kebijakan dan Komunikasi Publik

Editor: Editor Bisnis
Istimewa
Dosen Fakultas Syariah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M. Wildan Humaidi. Dalam penelitian bersama timnya, menunjukkan filantropi Islam tak sekadar menjalankan fungsi sosial-ekonomi, tapi juga mampu menciptakan perubahan lingkungan yang signifikan. (Dok) 

 

TRIBUNJATENG.COM- Aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar ribuan masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada 13 Agustus 2025 menjadi sorotan publik nasional.

Gelombang protes warga itu dipicu oleh kebijakan Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

Kenaikan signifikan ini menuai penolakan luas di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai belum membaik. Kebijakan kenaikan PBB-P2 akhirnya dibatalkan Bupati Pati tanggal 9 Agustus 2025, sebelum demonstrasi bergulir.

Pakar Hukum Tata Negara UIN Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M. Wildan Humaidi, menegaskan bahwa perumusan kebijakan tidak bisa hanya mengandalkan logika kewenangan dan prosedur.

Menurutnya, proses kebijakan harus dibarengi dengan komunikasi publik yang tepat, efektif, holistik, dan adaptif terhadap seluruh elemen masyarakat.

“Komunikasi publik yang baik merupakan prasyarat mutlak bagi demokratisasi kebijakan pemerintah. Tanpa komunikasi yang akomodatif, kebijakan justru berpotensi memicu penolakan dan menurunkan kepercayaan publik,” ujar Wildan Jumat (15/8/2025).

Kritik atas Respons Pemerintah Daerah

Wildan menilai, respons Pemerintah Kabupaten Pati terhadap aspirasi penolakan kebijakan tersebut terkesan konfrontatif. Alih-alih membuka ruang dialog, Bupati Sudewo justru menyampaikan pernyataan yang dianggap menantang masyarakat untuk menggelar aksi unjuk rasa.

"Ucapannya yang seolah-olah menantang lima ribu bahkan lima puluh ribu masa untuk demo atas kebijakannya, yang viral di medsos, telah dinilai masyarakat sebagai upaya perlawanan dan menyederhanakan respon dan aspirasi masyarakat," ujarnya. 

Pernyataan kontroversial seperti ini sangat berisiko. Ketika ucapan pejabat publik menyinggung hati rakyat, permintaan maaf tidak cukup untuk memulihkan kepercayaan. "Pemerintah harus berhati-hati karena kepercayaan publik adalah modal utama jalannya pemerintahan,” tegasnya.

Dampak dan Pelajaran dari Aksi 13 Agustus

Aksi yang awalnya fokus pada penolakan kenaikan PBB-P2 berkembang menjadi tuntutan mundur bagi Bupati Pati. Wildan menyebut, peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa kebijakan adalah “jantung” penyelenggaraan pemerintahan.

Jika kebijakan dirumuskan tanpa kajian matang dan tanpa melibatkan masyarakat, bukan hanya implementasinya yang gagal, tetapi juga berpotensi menimbulkan delegitimasi dan merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Landasan Hukum Partisipasi Publik

Dosen Fakultas Syariah itu menjelaskan berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kewenangan pajak PBB-P2 menjadi kewenangan pemerintahan daerah melalui penetapan kepala daerah dalam bentuk Peraturan Bupati.

Namun perlu dipahami bahwa perumusan dan pembuatan kebijakan peraturan tersebut tidak boleh menafikan partisipasi masyarakat. Kehadiran partisipasi masyarakat telah dijamin melaui Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2017.

Aturan itu menegaskan masyarakat berhak berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan daerah yang berbentuk Peraturan Kepala Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat.

Dalam penjelasan lanjutannya, yang mengatur dan membebani masyarakat tersebut meliputi rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, pengaturan yang memberi sanksi kepada masyarakat, dan pengaturan lainnya yang berdampak sosial.

Keberadaan partisipasi masyarakat juga dipertegas melalui Peraturan Mendagri No. 120 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Kebijakan Daerah.

"Berdasarkan logika tersebut dapat dipahami bahwa partisipasi masyarakat merupakan keniscayaan dalam seluruh proses perumusan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan," jelasnya.

Ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip negara hukum demokratis sekaligus negara demokrasi yang berlandaskan hukum sebagaimana desain sistem pemerintahan Indonesia.

“Kebijakan yang baik lahir dari keterlibatan masyarakat sejak tahap perumusan. Hal ini bukan sekadar formalitas, tapi bagian dari desain pemerintahan demokratis yang berlandaskan hukum,” jelasnya.

Momentum Muhasabah Pemerintah

Menutup pandangannya, Wildan mengingatkan bahwa aksi demonstrasi di Pati harus menjadi momentum evaluasi bagi seluruh penyelenggara pemerintahan. Menurutnya, pemerintah tidak boleh mudah mengeluarkan pernyataan kontroversial yang berpotensi melukai hati masyarakat.

"Aksi demo masa yang terjadi di Pati menjadi pembelajaran berharga tidak hanya bagi pemerintahan daerah, namun juga kepada seluruh elemen penyelenggara negara untuk tidak mudah memberikan statemen dan pernyataan-pernyataan yang menuai kontroversi dan menyakiti nurani masyarakat," beber dia.

Karena saat ini kita sering mendengar pernyataan pejabat negara yang menuai kontroversi. Dengan mudahnya memberikan statemen, kemudian menjadi kontroversi, dengan mudahnya menyampaikan permohonan maaf.

"Jika ini menjadi hal yang terus terjadi, proses pemerintahan akan kehilangan kepercayaan publik. Karenanya, ini harus dipahami sebagai momentum yang tepat bagi seluruh penyelenggara pemerintahan untuk bermuhasabah dan mengevaluasi diri," pungkasnya.

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved