TRIBUNJATENG.COM - Sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan di program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap kisah tak manusiawi dalam pembagian jam kerja.
Kisah itu muncul saat para dokter yang pernah mengikuti program PPDS Undip dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu (18/6/2025).
Salah satunya adalah Dokter Deslia, yang kini bertugas di sebuah rumah sakit di Surabaya, Jawa Timur, dihadirkan sebagai saksi karena pernah menjabat sebagai bendahara residen angkatan 72 di PPDS Undip.
Baca juga: Peran Taufik Eko Nugroho Perintahkan Mahasiswa PPDS Sembunyikan Barang Bukti Dari Kemenkes
Baca juga: Sidang Kasus PPDS Anestesi Undip Perkuat Pungli Turun-Temurun Berkedok Biaya Operasional Pendidikan
Dalam persidangan, Deslia mengungkapkan mengenai hukuman berat yang diterima mahasiswa PPDS Undip ketika melakukan kesalahan.
"Di weekend ikut tim jaga," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa fungsi tim jaga adalah untuk melakukan operasi darurat ketika ada pasien yang membutuhkan.
"Ada juga jaga IGD. Shift 24 jam satu orang. Semuanya 24 jam," tambahnya.
Saksi lainnya, dokter Herdaru, yang merupakan residen angkatan 77 dan rekan satu angkatan almarhumah dr. Aulia Risma, juga mengungkapkan keluhan serupa.
Ia mengaku frustrasi dengan pola jam kerja di PPDS Undip, khususnya di RSUP Kariadi.
"Waktu 24 jam terasa tak cukup. Membuat saya tertekan," ungkapnya.
Akibat padatnya jam kerja, Herdaru didiagnosa mengalami depresi oleh dokter.
Ia terpaksa mengambil cuti karena tidak mampu mengikuti jam kerja di PPDS Undip.
"Waktu semester satu, saya berangkat untuk mengikuti PPDS di RSUP Kariadi pukul 03.00 WIB dan pulang pukul 01.00 WIB.
Yang saya rasa karena kelelahan," lanjutnya.
Kasus ini mencuat setelah meninggalnya dokter Aulia Risma Lestari, yang memicu perhatian publik terhadap dugaan praktik perundungan dan pemerasan di lingkungan PPDS FK Undip.