TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro (Undip), bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan UNICEF resmi meluncurkan program Diseminasi Hasil Analisis Situasi Fortifikasi Pangan Berskala Besar (FPBB), Rabu (6/8/2025).
Kegiatan yang digelar di Metro Park View Hotel Semarang ini bertujuan menyampaikan hasil kajian terkini tentang fortifikasi pangan di Jawa Tengah, sekaligus memperkuat komitmen lintas sektor dalam mengatasi persoalan gizi secara berkelanjutan.
Hasil kajian menunjukkan Jawa Tengah masih menghadapi tantangan triple burden of malnutrition atau tiga beban masalah gizi: kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat gizi mikro.
Baca juga: Gandeng Akademisi 5 Negara, FIB Undip Bahas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting di Jawa Tengah mencapai 17,1 persen, sedangkan wasting tercatat sebesar 5,9 persen.
Meskipun mengalami penurunan, kasus anemia pada remaja putri tetap tinggi, yakni 30,45 persen (Profil Kesehatan Jateng 2023).
Tubagus Arie Rukmantara, Kepala Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa Tengah, mengatakan, fortifikasi pangan menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, khususnya untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro yang berdampak besar pada perempuan, remaja, dan anak-anak.
Fortifikasi adalah proses menambahkan zat gizi mikro, seperti vitamin dan mineral, ke dalam makanan untuk meningkatkan nilai gizinya.
Tujuannya adalah untuk membantu masyarakat mendapatkan asupan gizi yang cukup, terutama zat gizi yang mungkin kurang dalam makanan sehari-hari.
Disisi lain, ia juga turut menanggapi kekhawatiran masyarakat mengenai biaya konsumsi makanan bergizi yang cenderung lebih tinggi.
“Tadi Pak Wagup juga menyebutkan, kalau makanan dibuat bergizi, kemungkinan ada biaya tambahan. Tapi dengan intervensi pemerintah, biaya itu bisa diperkecil,” ungkap Arie.
Ia menjelaskan bahwa fortifikasi justru memberi keuntungan ekonomi jangka panjang.
“Rumusnya seperti ini: setiap pengeluaran Rp1 untuk makanan bergizi yang terfortifikasi, akan menghasilkan penghematan Rp17 dari potensi biaya pengobatan karena penyakit akibat kekurangan gizi. Jadi misalnya beli jajanan Rp1.000 yang tidak bergizi bisa menyebabkan penyakit, tapi beli makanan terfortifikasi dengan harga sama justru memberi manfaat kesehatan dan produktivitas lebih besar," katanya.
Menurutnya, pemerintah dan industri makanan memiliki peran penting dalam memperluas jangkauan fortifikasi pangan.
“Investasi besar-besaran sedang dilakukan di industri padi, garam, dan minyak goreng. Kami berharap industri makanan lainnya ikut serta dalam gerakan fortifikasi ini,” tambahnya.
UNICEF mencatat tiga tantangan besar yang dihadapi Jawa Tengah: stunting dan wasting sebagai bentuk kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi dan kalsium, serta potensi lonjakan obesitas pada anak-anak di masa depan.