Horizzon
Bayar, Bayar, Bayar
Orang tua yang ingin anaknya masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol) mengaku ditipu setelah memberikan uang Rp 2,65 miliar
Penulis: Ibnu Taufik Juwariyanto | Editor: abduh imanulhaq
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng
KISAH klasik yang sebenarnya sudah jamak terjadi, belakangan muncul di Pekalongan, Jawa Tengah. Orang tua yang ingin anaknya masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol) mengaku ditipu setelah memberikan uang Rp 2,65 miliar. Merasa sudah keluar uang dan anaknya batal berstatus sebagai taruna Akpol, ia memutuskan melaporkan masalah ini ke Polda Jawa Tengah sebagai korban penipuan.
Adalah Bripka Alexander Undi dan Aipda Fachrurohim, dua anggota polisi yang berdinas di wilayah hukum Polres Pekalongan ini menjadi tokoh utama dari kisah ini. Meski sangat mungkin masih ada aktor lain dalam kisah ini, namun dua polisi aktif dan dua orang lainnya yang konon merupakan warga sipil ini hampir pasti akan menjadi tokoh sentral. Sebab, mereka berempatlah yang bersinggungan langsung dengan orang yang merasa mengeluarkan uang Rp 2,6 miliar.
Saya memastikan, sejak laporan tersebut dibuat, langkah Bripka Alex dan Aipda Fachrurohim akan semakin sulit. Selain kariernya sebagai prajurit Bhayangkara terancam, sangat mungkin keduanya juga harus ‘menelan’ banyak nama yang terlibat, yang boleh jadi juga anggota polisi dengan pangkat jauh lebih tinggi ketimbang mereka berdua.
Jujur, saya tidak kaget dengan kasus-kasus begini. Kalaupun kasus ini muncul, ini semata lantaran persekongkolan ini gagal. Apabila persekongkolan ini berjalan mulus, peristiwa seseorang harus bayar ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk menjadi anggota polisi tak akan pernah menjadi berita.
Saya juga percaya, dua anggota Polres Pekalongan tersebut tidak serta merta untuk berniat bohong atau menipu. Keduanya berpangkat bripka dan aipda, yang artinya sudah lebih dari 15 tahun berseragam polisi. Rasanya, terlalu berisiko jika modus menawarkan jasa masuk Akpol menggunakan jalur khusus Kapolri ini sama sekali tak ada peluangnya sedikit pun.
Sekali lagi, saya lebih percaya bahwa Bripka Alex dan Aipda Fachrurohim hanya sedang apes. Meski tidak langsung menunjuk bahwa ada jalur khusus Kapolri untuk bisa masuk menjadi Akpol, namun di jenjang pendidikan lanjutan di kepolisian, yang namanya jalur Kapolri, jalur Satwil, atau kuota penghargaan itu memang ada. Setidaknya itulah yang disampaikan mantan Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno dalam sebuah podcast.
Oegroseno mengatakan, keberadaan jalur Kapolri, jalur Satwil, maupun jalur khusus penghargaan untuk jenjang pendidikan lanjutan di kepolisian tidak memiliki standar yang jelas dan merupakan bentuk ketidakadilan dalam jenjang karier di internal kepolisian. Jalur-jalur pendidikan yang tak jelas standarnya ini justru mengganggu profesionalitas personel dalam bekerja.
Dan sebutan Jalur Kapolri yang kemudian gagal inilah, yang konon digunakan oleh Bripka Alex dan Aipda Fachrurohim, yang membuatnya terjerat masalah serius.
Tentang proses kaderisasi di kepolisian yang tidak sehat ini juga diakui secara lugas oleh Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, Ketua Tim Akselerasi, Transformasi, dan Reformasi Polri bentukan Kapolri. Komjen Chryshnanda bahkan menyebut bahwa dosa paling besar kepolisian adalah proses perekrutan yang tidak sehat. Menurutnya, pola perekrutan yang tidak benar akan mengakibatkan masuknya orang-orang yang tidak memiliki kompetensi (salah) sehingga akan menjadi duri di dalam daging institusi kepolisian.
Rasanya, apa yang disampaikan Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana tentang pola perekrutan yang salah sebagai dosa paling besar polisi saat ini tidaklah berlebihan. Pola perekrutan seperti pasar dan patrimonial adalah caranya untuk mengonfirmasi bahwa pragmatisme terjadi di proses penerimaan anggota kepolisian di semua jenjang, mulai tamtama, bintara, hingga perwira.
Keresahan terkait dengan institusi kepolisian yang semakin jauh dari makna Tri Brata dan Catur Prasetya ini juga muncul dari Presiden Prabowo Subianto, yang berniat membentuk Komite Reformasi Kepolisian. Meski terkesan disalip oleh Kapolri, namun niatan Presiden ini rasanya masih dinantikan oleh publik.
Langkah Presiden mengangkat mantan Wakapolri, Komjen Pol (Pur) Ahmad Dhofiri, sebagai Penasihat Khusus Bidang Keamanan dan Ketertiban dan Reformasi Polri tentu menjadi bukti nyata keseriusan presiden. Langkah tersebut seolah menumbuhkan kembali harapan kita semua untuk memiliki institusi kepolisian yang dicintai.
Langkah presiden ini mencegah banyak orang menjadi putus asa karena kecintaannya terhadap institusi kepolisian berubah menjadi rasa putus asa. Contoh keputusasaan ini nyata betul tergambar dari apa yang disampaikan kelompok band asal Purbalingga, Suka Tani, dengan lagunya ‘Bayar, Bayar, Bayar.’
Menurut saya, kritik yang disampaikan Suka Tani merupakan simbol keputusasaan dari mereka yang tak lagi bisa berharap institusi kepolisian bisa kembali ke jalan yang benar. Keputusasaan ini disampaikan oleh Suka Tani dengan lirik yang lugas, tanpa kiasan, tanpa penghalusan.
Sayang, kejujuran Suka Tani, yang saya yakin bermula dari rasa cinta, ini harus dibungkam. Dan diksi ‘bayar, bayar, bayar’ yang disuarakan Suka Tani adalah kenyataan yang ada di tengah kita tentang institusi kepolisian. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.