Opini
Menata Air, Menata Harapan
angkah Luthfi menyasar persoalan banjir sebagai sistem, bukan kejadian. Kesadaran ini merujuk pada pandangan ahli kebencanaan Gilbert F. White
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
“Beton mematahkan ombak, tapi mangrove menenangkan laut,” kata Prof. Yudianto Wicaksono, ahli ekologi pesisir Undip. Ia menyebut kebijakan ini sebagai pergeseran paradigma dari infrastruktur keras (hard-engineering) ke solusi berbasis alam (nature-based solution).
Keberanian Politik dalam Menata Ruang
Penanganan banjir tidak akan pernah selesai jika tata ruang tetap tunduk pada kepentingan jangka pendek. Luthfi mengambil langkah yang sering dihindari banyak kepala daerah: revisi RTRW dan moratorium pembangunan di kawasan resapan banjir.
Di Semarang, sejumlah proyek pergudangan di Kaligawe dan terusan Banjir Kanal Timur mendapat penghentian izin sementara.
Di Demak, lahan sawah teknis dialihkan kembali menjadi area retensi air. Di Pekalongan, zona konservasi pesisir diselamatkan dari ekspansi perumahan.
Langkah-langkah seperti ini berisiko melahirkan lawan politik. Tapi kebijakan publik yang benar memang tidak selalu populer.
Seperti ditulis Elinor Ostrom (pemenang Nobel Ekonomi) dalam Governing the Commons (1990): “Sumber daya publik hanya selamat ketika ada keberanian pemerintah membatasi yang diinginkan banyak orang.”
Pendapat Pakar: Hulu adalah KunciMenurut Dr. Rudi Setiawan, hidrolog Undip, problem banjir di Jawa Tengah bersumber pada penurunan daya resap kawasan perbukitan Muria, Ungaran, dan Merbabu.
Dalam satu tahun terakhir, Pemprov telah memulai rehabilitasi 17.000 hektare lahan kritis—kebijakan yang mungkin tidak menghasilkan foto-foto indah di media, tetapi merupakan jantung dari penyelesaian banjir jangka panjang.
“Sungai butuh ruang untuk mengalir, tanah butuh akar untuk menyerap. Kalau itu hilang, pompa sekuat apa pun hanya menunda bencana,” ujarnya.
Pendapat ini sejalan dengan buku “River Restoration: Managing the Uncertain Future” (Habersack, 2019), yang menegaskan bahwa tata kelola banjir modern tidak lagi mengandalkan mengurung air, tetapi memberi air ruang untuk kembali pada siklus alaminya.
Sebuah Babak yang Baru Mulai Ditulis
Apakah banjir di Jawa Tengah sudah selesai? Belum. Dan barangkali tidak akan pernah sepenuhnya selesai. Tetapi pemerintahan ini telah melakukan sesuatu yang selama bertahun-tahun nyaris tidak kita lihat: menangani banjir bukan dari hilir ke hulu, tetapi dari akar ke permukaan.
Yang dibangun bukan hanya tanggul, rumah pompa, atau sabuk mangrove—tetapi cara baru memandang ruang hidup.
Kita belajar bahwa banjir tidak hanya persoalan air, melainkan persoalan pilihan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jawa Tengah tampaknya memilih untuk berdamai dengan air: tidak melawannya, tetapi mengelolanya dengan cerdas, panjang nafas, dan tidak tergesa.
Harapan—yang biasanya hanyut bersama arus—kali ini sedang mengalir kembali.
Pelan, tapi nyata.
| Dari Hafalan Rumus ke Logika Kehidupan: Menata Ulang Pembelajaran Numerasi |
|
|---|
| Memantabkan Lir Ilir Sebagai Warisan UNESCO |
|
|---|
| Kampus: Wahana Kaderisasi Pemimpin Bangsa |
|
|---|
| Bukan Lagi Sembako, Tapi Bahan Nasi Goreng yang Pengaruhi Ekonomi Indonesia |
|
|---|
| Janji Manis Makan Bergizi Gratis: Antara Populisme dan Realita Pahit |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251107_Wahidin-Hasan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.