Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Tribunjateng Hari ini

Satu Hari Dua Deklarasi, Konflik Internal Keraton Solo setelah PB XIII Wafat

Riak-riak konflik internal Keraton Solo kembali muncul, ada dua deklarasi 'Raja' setelah wafatnya PB XIII.

Penulis: Yayan | Editor: M Syofri Kurniawan
Tribunjateng/bramkusuma
Jateng Hari Ini Jumat 7 November 2025 

TRIBUNJATENG.COM, SOLO  - Potensi terjadinya konflik internal di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali mencuat setelah wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada Minggu (2/11). Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menyebut gejala konflik itu muncul setelah adanya dua deklarasi dalam satu hari, pascawafatnya PB XIII.

Di tengah suasana duka keluarga besar keraton, Putra Mahkota KGPAA Hamangkunegoro, atau Gusti Purboyo, mendeklarasikan diri sebagai Pakubuwono XIV, menggantikan ayahandanya. Deklarasi Gusti Purboyo dilakukan pada Rabu (5/11), beberapa jam sebelum jenazah PB XIII diberangkatkan ke Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Atas perintah dan titah Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, saya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro, pada hari ini, Rabu Legi, 14 Jumadilawal Tahun Dal 1959 atau 5 November 2025, naik tahta menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIV.”

Baca juga: Alasan KGPA Tedjowulan Nyatakan Diri sebagai Plt Raja Keraton Surakarta, Ketegangan Lama Muncul?

Baca juga: Sosok KGPPA Hamangkunegoro Sudibya Mahasiswa Undip Semarang, Calon Raja Keraton Solo?

IKRAR SEBAGAI RAJA: Putra Paku Buwono XIIII, KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram alias Purboyo membacakan ikrar sebagai raja keraton surakarta Paku Buwono XIV.
IKRAR SEBAGAI RAJA: Putra Paku Buwono XIIII, KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram alias Purboyo membacakan ikrar sebagai raja keraton surakarta Paku Buwono XIV. (Tribun Jateng/Woro Seto)

Langkah Purboyo ini didukung oleh kakak tertuanya, GKR Timoer Rumbaikusuma Dewayani, yang menegaskan bahwa deklarasi tersebut tidak melanggar adat Kasunanan. “Sumpah di hadapan jenazah ayahanda adalah simbol kesetiaan, bukan pelanggaran adat. Apa yang dilakukan Adipati Anom sesuai tradisi Kasunanan dan pernah terjadi pada era para leluhur,” ujarnya.

Namun, pada hari yang sama, Kanjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, yang menjabat sebagai Maha Menteri, juga menyatakan diri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Raja Keraton Solo. Tedjowulan melalui juru bicaranya, KP Bambang Pradotonagoro, menegaskan bahwa dirinya bertindak sebagai caretaker atau Pelaksana Tugas menggantikan PB XIII, sesuai Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 430-2933 Tahun 2017.

“Beliau sebagai caretaker, bukan sebagai raja. Panembahan Agung Tedjowulan hanya menjalankan tugas berdasarkan SK Mendagri,” jelas Bambang.

Menurut Bambang, posisi Pelaksana Tugas Raja bukan hal baru dalam sejarah Kasunanan. Ia mencontohkan masa pemerintahan Pakubuwono VI, ketika raja dibuang ke Ambon oleh Belanda, dan posisinya digantikan sementara oleh Pakubuwono VII dan VIII, pamannya. Langkah Tedjowulan diambil untuk menjaga kesinambungan pemerintahan keraton sambil menunggu keputusan resmi keluarga besar Kasunanan.

Bambang menilai deklarasi Gusti Purboyo terlalu tergesa-gesa. “Belum ada pembicaraan dengan keluarga besar lain. Seperti pada 2004, peralihan takhta baru dibahas 50 hari kemudian. Belum pernah terjadi dalam sejarah Kasunanan peralihan langsung setelah raja wafat,” katanya.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menilai deklarasi Gusti Purboyo di depan jenazah ayahnya sebagai strategi simbolik yang cerdas, tetapi berpotensi menimbulkan ketegangan di dalam keraton. “Dia memanfaatkan momentum emosional dan sorotan publik untuk membangun citra utama,” jelas Heri.

Menurut Heri, situasi ini menunjukkan dua kekuatan besar di dalam keraton yang bersaing: satu mengusung legitimasi pewaris darah langsung, dan satu lagi mengandalkan legalitas administratif dari pemerintah pusat.

Dalam tradisi Mataram Islam, suksesi biasanya diatur dalam Angger-Angger atau hukum leluhur yang menekankan garis keturunan laki-laki dari permaisuri atau selir tertua. Dalam kasus PB XIII, yang tidak memiliki permaisuri, Purboyo sebagai anak dari Garwa Ampil (selir) sah menjadi pewaris.

Heri menekankan, legitimasi raja baru sebaiknya dikuatkan dengan restu para sesepuh keraton, bukan hanya deklarasi publik. “Kalau didukung para sesepuh, itu menguatkan posisi raja muda. Tanpa restu mereka, penubatan bisa dipersoalkan,” ujarnya.

Pemkot tak ikut campur

Wali Kota Solo Respati Ardi menyatakan tidak ingin mencampuri proses suksesi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurut Respati, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini tengah menyelesaikan administrasi akta kematian PB XIII untuk diserahkan kepada pihak keluarga Keraton. 

"Hari ini kami cuma ingin menyelesaikan administrasi mengantarkan akta kematian beliau (almarhum PB XIII) dan sudah selesai akan kita kirimkan ke keluarga," kata Respati, Kamis (6/11). 

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved