Horizzon
Menyoal Psikotes di Pengurusan SIM
Memiliki SIM merupakan pengakuan dari negara bahwa pemegangnya memiliki kompetensi atau kemampuan untuk mengemudi kendaraan sesuai dengan golongan SIM
Penulis: Ibnu Taufik Juwariyanto | Editor: abduh imanulhaq
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng
SENIN, 10 November 2025 lalu, saya menyempatkan diri mengurus perpanjangan SIM A di Polres Bantul. Kebetulan, SIM A milik saya yang diterbitkan oleh Polresta Pangkalpinang, habis masa berlakunya, pada 19 November 2025.
Tanggal habis masa berlaku SIM A saya memang tak sama dengan tanggal kelahiran saya. Tidak hanya SIM A, masa berlaku SIM C saya juga tertera tanggal 24 November 2027, terpaut beberapa hari dari tanggal lahir saya.
Saya ingat betul, meski tahunnya berbeda, namun SIM A dan SIM C saya sama-sma terlambat saat urus perpanjangan. Dengan demikian, untuk kedua lisensi mengemudi itu, saya harus melakukan proses administrasi berikut serangkaian ujian terori dan praktik dari awal.
Proses memperoleh dengan cara yang benar ini saya lakukan agar saya tidak terjebak pada salah kaprah yang dipahami secara umum bahwa SIM semata-mata adalah salah satu prasyarat lolos dari Tilang Polisi. Saya memaknai, memiliki SIM merupakan pengakuan dari negara bahwa pemegangnya memiliki kompetensi atau kemampuan untuk mengemudi kendaraan sesuai dengan golongan SIM yang dipegang.
Setidaknya itulah yang dimaksud di Pasal 86 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebut bahwa fungsi SIM ada dua, sebagai bukti kompetensi pengemudi dan sebagai registrasi pengemudi.
Sayang, lantaran sudah salah kaprah sejak awal, maka fungsi SIM dalam makna umum saat ini tak lebih sebagai salah satu prasyarat seorang pengemudi lolos dari razia kendaran bermotor. “Tenang aku sudah punya SIM, jadi aman kalau ada razia,” begitu kira-kira makna umum yang terjadi saat ini terkait dengan SIM. Lantaran salah kaprah inilah, maka proses mencari sekaligus proses penerbitan Surat Izin Mengemudi di negeri ini juga akhirnya keluar dari esensinya.
Kamulflase percaloan
Masih ingat era ketika calo SIM sering beroperasi di loket-loket pelayanan SIM? Dengan kita menambah sejumlah uang, calo menjanjikan proses pembuatan SIM bisa melalui jalur by pass, tak perlu antre, tak perlu ujian, pokoknya datang langsung foto dan jadilah SIM yang diinginkan pemohon.
Namun era itu kini sudah berubah, dengan label zona bebas pungli dan zona antikorupsi, percaloan SIM rasanya memang sudah sangat sulit untuk kita temukan. Sayangnya, kenyataan di lapangan tak seindah narasi itu. Yang terjadi adalah bentuk-bentuk penghalusan yang, menurut saya, justru harus dimaknai sebagai bentuk percaloan yang dilegalkan.
Contohnya sederhana, mulai dari pengurusan SIM massal yang dilakukan oleh lembaga keterampilan mengemudi, yang brosurnya sering nyasar ke grup WA kampung atau ke sekolah-sekolah. Meski terkesan resmi, proses pengurusan SIM model begini sejatinya merupakan percaloan yang berkamulflase menjadi lembaga tertentu. Terkesan lebih rapi, namun bagi yang paham, ini justru bisa dimaknai sebagai percaloan yang terstruktur, sistematis, dan massif.
Percaloan model lain dari pengurusan SIM ini juga berlaku untuk pengurusan SIM perorangan yang berlaku regular. Kali ini, prosesnya melalui lembaga yang seolah-olah legal dan sah.
Dalam proses yang saya lalui kemarin, ada dua proses yang harus saya lewati, yaitu tes kesehatan dan juga psikotes. Untuk tes kesehatan, sebenarnya bisa diabaikan, sebab meski prosesnya juga terkesan basa-basi dan berbiaya Rp 25 ribu, namun proses ini bisa diganti dengan surat keterangan dari pusat layanan kesehatan pemerintah lainnya, seperti Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah.
Psikotes
Namun untuk psikotes yang berbiaya Rp 100 ribu, rasanya prosedur ini tak lebih dari proses konyol yang menggelikan sekaligus memalukan. Sebagai alumnus S1 Psikologi dan pernah mencoba jenjang Magister Profesi Psikolog meski tak sempat tamat, rasanya psikotes saat saya ngurus perpanjangan SIM kemarin terasa aneh dan wagu. Saya menunggu kawan-kawan psikolog yang lebih memiliki hak daripada saya yang bukan psikolog untuk menggugat praktik-praktik yang melecehkan profesi psikolog di proses pengurusan SIM ini.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/Ibnu-Taufik.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.