Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

PPDS Undip

"Kami Kurang Puas" Keluarga Aulia Risma Kecewa Mantan Kaprodi PPDS Undip Dituntut 3 Tahun Penjara

Kuasa Hukum Keluarga Aulia Risma,Yulisman Alim menilai tuntutan jaksa terhadap tiga terdakwa kasus pemerasan dan perundungan.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
DOK KELUARGA KORBAN 
TIDAK PUAS - Kuasa Hukum Keluarga Aulia Risma,Yulisman Alim (baju biru) menilai tuntutan jaksa terhadap tiga terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi PPDS Anestesi Undip Aulia Risma Lestari terlalu ringan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025). 

TRIBUNJATENG.COM,  SEMARANG - Kuasa Hukum Keluarga Aulia Risma,Yulisman Alim menilai tuntutan jaksa terhadap tiga terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Aulia Risma Lestari teramat ringan.

Pihaknya mengaku kecewa dengan tuntutan dari jaksa tersebut.

"Ya tuntutan itu terlalu rendah, kami kurang puas," kata Yulisman sesuai persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).

Jaksa sebelumnya menuntut kepada Majelis Hakim agar menjatuhkan hukuman pidana penjara selama tiga tahun terhadap Taufik Eko Nugroho, mantan Kaprodi PPDS Undip. 

Baca juga: BREAKING NEWS: Sidang Tuntutan PPDS Undip, Zara Senior Aulia Risma Dituntut Penjara 1 Tahun 6 Bulan

Baca juga: Setelah Dokter Aulia Risma Meninggal, Taufik Perintahkan Mahasiswa PPDS Undip Ganti Handphone

Tuntutan lebih ringan diajukan jaksa terhadap dua terdakwa lainnya Sri Maryani mantan staf administrasi PPDS Undip dan Zara Yupita Azra senior korban dengan tuntutan masing-masing dituntut 1 tahun 6 bulan.

Menurut Yulisman, tuntunan jaksa sebenarnya bisa dimaksimalkan hingga 5 sampai 6 tahun sesuai dakwaan pasal. 

Dari keluarga juga memiliki titik minimal tuntutan tersebut yakni paling tidak separuh dari hukuman maksimal.

"Tuntutan terlalu ringan, kami bersama keluarga akan melakukan diskusi untuk menanggapi tuntutan itu terutama langkah-langkah yang bakal kita ambil," bebernya.

Ia menilai, tuntutan dari jaksa yang rendah tidak lepas dari kasus ini yang belum mengungkap seluruh fakta rekontruksi kejadian. 

Sebab, ada beberapa senior korban yang turut menjadi pelaku masih bebas berkeliaran di luar sana. 

"Terdakwa (Zara) tidak mungkin bertindak sendiri, seharusnya ada beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa ini tapi tidak terungkap dalam persidangan," jelasnya.

Dari tuntutan jaksa yang rendah, keluarga korban khawatir tidak ada efek jera bagi para pelaku lainnya. 

"Ya tidak ada efek jera karena tuntutan terlalu ringan," terangnya.

Sementara Ibunda Aulia Risma, Nuzmatun Malinah mengaku, sepakat dengan kuasa hukumnya terkait dengan tuntutan dari jaksa. Lebih dari itu, ia belum bisa menanggapi.

Diberitakan sebelumnya, jaksa menyatakan tuntunan berbeda terhadap Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani dua terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Aulia Risma Lestari.

Taufik Eko Nugroho mantan kepala Prodi PPDS Undip dituntut hukuman pidana selama 3 tahun penjara.

Tuntutan jaksa lebih rendah terhadap terdakwa Sri Maryani mantan staf administrasi di Prodi PPDS Anestesi Undip yang dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.

Jaksa menilai, perbedaan tuntutan tersebut karena Taufik berperan memberikan perintah kepada Sri Maryani.

Selain itu, tuntutan Taufik lebih berat lantaran tidak mengakui perbuatannya dan cenderung menyalahkan Sri Maryani.

"Terdakwa Taufik tidak mengakui perbuatannya bahkan cenderung menyalahkan terdakwa Sri Maryani karena pengumpulan uang di terdakwa Sri Maryani sudah berlangsung sejak terdakwa menjabat sebagai ketua program studi," ungkap jaksa Tommy Untung dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/8/2025).

Jaksa Tommy merinci hal-hal yang memberatkan perbuatan terdakwa Taufik lainnya yakni terdakwa sebagai dosen seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan.

Tindakan terdakwa Taufik juga menimbulkan rasa takut dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan.

Kemudian menciptakan suasana intimidatif dan represif sehingga menghilangkan kebebasan para residen.

"Hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan sehingga membuat tertib persidangan," katanya.

Sementara, jaksa Sulisyadi membeberkan terkait pertimbangan tuntutan terdakwa Sri Maryani lebih ringan karena mengakui perbuatannya dan menyesalinya.

Sri juga melakukan tindak pidana tersebut semata-mata karena mendapatkan instruksi dari Taufik.

"Namun, ada hal-hal yang memberatkan dari Sri Maryani di antaranya sebagai staf pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan," terang Sulis.

Dua terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani melakukan tindakan pemerasan secara ilegal melalui skema Biaya Operasional Pendidikan (BOP) terhadap para mahasiswa residen dari tahun 2018 hingga 2023.  Selama kurun waktu tersebut, mereka mampu mengumpulkan uang sebesar Rp2,49 miliar.

Pembayaran ini tidak menggunakan rekening kampus melainkan rekening atas nama Sri Mariyani. Pembayaran tersebut tercatat pula dalam buku  warna kuning berisi catatan tanda terima uang BOP yang berasal dari para residen.

"Kedua terdakwa melanggar pasal 368 ayat 2 junto pasal 64 ayat 1 KUHP," ucap Sulisyadi.

Selepas pembacaan tuntutan itu, Taufik dan Maryani mengungkap bakal melakukan pembelaan baik secara pribadi maupun melalui kuasa hukumnya.

Sementara satu terdakwa lainnya, Zara Yupita Azra dituntut oleh jaksa dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.

Jaksa menyakini Zara telah melakukan tindakan pemerasan dan melakukan pengancaman kepada korban sebagaimana dakwaan pasal  368 ayat 1 KUHP dan pasal 64 ayat 1 KUHP.

Perbuatan itu telah  dilakukan terdakwa selama rentang waktu Juni 2022 hingga Januari 2023.

"Terdakwa Zara dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dikurangi dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani," jelas Jaksa Penuntut Umum (JPU) Efrita dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).

Jaksa juga menyebut ada beberapa perbuatan terdakwa yang memberatkan yakni melakukan tindakan tersebut secara terstruktur dan masif.

Terdakwa selaku residen di lingkungan pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya informalitas kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan.

Akibat perbuatan terdakwa menyebabkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis ke lingkungan pendidikan.

Perbuatan terdakwa menciptakan suasana intimidatif dan refleksi sehingga menghilangkan kehendak bebas para residen.

"Sebaliknya, hal-hal yang meringankan terdakwa berlaku sopan sehingga membuat tertib persidangan terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesalinya," terang jaksa.

Selepas pembacaan tuntutan itu, Zara mengungkap bakal melakukan pembelaan baik secara pribadi maupun melalui kuasa hukumnya.

Pantauan Tribun selama persidangan, sidang tersebut dihadiri oleh Ibu kandung mendiang Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah. Ketiga terdakwa Zara, Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang dihadirkan dalam persidangan tampak mengenakan masker putih.

Selama persidangan itu, mereka lebih banyak menunduk. Ketika menjelang jaksa bacakan tuntutan, tangan Zara dan Sri Maryani saling menggenggam.

Sebaliknya, setelah jaksa membacakan tuntutan itu, tampak ada raut kecewa dari Ibunda Aulia Risma.

(Iwn) 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved