Inspirasi
Tebar Kepedulian ke Penjuru Negeri, Kisah Semangat Hanna Penyintas Alopesia yang Tak Pernah Rontok
Prognosis dokter pada 17 tahun silam itu, masih teringat jelas dalam benak Hanna Nugrahani Setiyabudi (34).
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA - "Penyakit ini tidak bisa sembuh dan harus operasi tanam rambut."
Prognosis dokter pada 17 tahun silam itu, masih teringat jelas dalam benak Hanna Nugrahani Setiyabudi (34), penyintas alopesia asal Salatiga, Jawa Tengah.
Hanna ketika itu masih berusia 17 tahun dan duduk di kelas 11 SMA, pada 2008.
Hari demi hari, rambutnya helai demi helai rontok.
Baca juga: 3 Jasad Korban Longsor Cilacap Ditemukan Hari Ini, Pencarian 7 Korban Lainnya Terhenti Hujan Deras
Baca juga: Gempa Terkini Senin 17 November 2025 Sore Ini, Baru Terjadi, Info Lengkap BMKG Klik di Sini
Bermula dari kebotakan kecil sebesar koin di dekat pusar kepala, lalu bermunculan beberapa lingkaran kebotakan di bagian depan dan samping kepala.
Dari rambut kepala, kerontokan meluas ke alis, bulu mata, bulu tangan, hidung, ketiak hingga kelamin.
"Tidak ada satu tahun, semua rambut rontok. Saya belum naik kelas 12 SMA, saya sudah pakai wig," ungkap Hanna kepada tribunjateng.com, Sabtu (15/11/2025).
Hanna sempat berpikir penyakit yang tiba-tiba dideritanya itu tidak akan menetap lama dan hanya kerontokan biasa.
Tetapi tiga bulan pengobatan, dokter memberikan prognosis bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh dan harus operasi tanam rambut.
Saat itu dokter belum memberikan informasi detail tentang penyakitnya.
Dia mengetahui penyakit yang dideritanya bernama Alopecia Areata saat sudah bekerja di Surabaya pada 2015, yaitu penyakit autoimun yang menyebabkan kerontokan rambut hingga kebotakan.
"Otomatis dalam kondisi itu sangat berat, karena saya perempuan dan harus menggunakan wig di umur 17 tahun. Saat itu belum menikah dan sempat putus pacaran," katanya.
Di tengah perasaan yang sedang berkecamuk, Hanna bersama orang tuanya berusaha optimis dengan mencari second opinion ke dokter lain.
Tetapi semuanya sama, hanya datang dan pergi.
Pernah suatu ketika dia mencoba pengobatan alami, rambutnya tumbuh tetapi kemudian rontok lagi.
Siklus tumbuh dan rontoknya rambut beberapa kali itu baginya cukup berat dan menguras tenaga serta psikisnya.
"Ketika mulai pengobatan ada semangat, ada harapan, ada progres bagus. Itu pastinya bahagia banget. Tapi faktanya rontok lagi. Itu fase jatuh yang lebih dalam daripada yang pertama," ingat Hana menceritakan lima tahun awal mengalami alopesia.
Bentuk Komunitas untuk Saling Peduli
Rambutnya memang habis, tetapi semangatnya tak pernah pupus, helai demi helai semangat terus tumbuh dalam diri Hanna.
Hari-harinya banyak diisi dengan refleksi dan pengenalan akan Tuhan.
Hanna kemudian kuliah S1 jurusan psikologi yang membuatnya belajar banyak tentang diri sendiri, meningkatkan tingkat percaya diri, dan self image.
Dia banyak membaca jurnal kesehatan yang membahas tentang penyakit alopesia.
"Syukurlah, ini bagian dari autoimun tapi tidak memicu kondisi kesehatan yang lain. Namun yang menjadi dampak signifikan adalah psikologis dan mental, itu berpengaruh besar," ungkap Hanna yang kini menjadi ibu dengan satu anak.
Hanna di tahun 2017, kemudian berusaha mendirikan Komunitas Alopecia Friends for Indonesia (AFFI), wadah bagi penyintas alopesia untuk saling berbagi edukasi dan dukungan.
Dia mengumpulkan sesama penyintas agar bisa saling berbagi edukasi dan dukungan.
Komunitas yang telah menebarkan dampak positif itu lalu membawanya meraih penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards, pada 2022.
"Saya membentuk komunitas AFFI di tahun 2017. Awalnya berangkat dari rasa frustrasi dan putus asa karena saya terus berpikir, saya satu-satunya orang penyintas alopesia di Indonesia," katanya.
Usaha membentuk Komunitas AFFI tidak mudah, Hanna memulai dengan menghubungi 20 penyintas alopesia yang diikutinya di Instagram, semua orang luar negeri.
Ada tiga orang yang merespon baik, satu di antaranya Caroline, asal Chicago, Amerika Serikat.
Caroline merupakan penggagas kelompok alopesia di Chicago.
"Dia mensupport saya, Hanna kamu keluar rumah saja tidak usah pakai wig. Nanti akan terbentuk komunitas, akan ada orang-orang yang reach up kamu dan menyampaikan mereka juga mengalami alopesia," kenang Hanna.
Saat itu, Hanna masih aktif sebagai guru di Surabaya, sehingga dia merasa tidak mungkin berinteraksi dengan murid dan wali murid tanpa wig.
Dia lalu memutuskan untuk memfoto diri tanpa wig dan mempublikasikan di sosial media Alopecia Friends dan fanpage Facebook.
Dari situlah beberapa penyintas alopesia di Indonesia mulai menghubungi, pertama empat orang lalu menjadi delapan orang.
"Kami lalu menjadi dekat. Akhirnya di tiap tahun di bulan september, saya bersama teman-teman melakukan kampanye dengan kegiatan Alopecia Awarennes Month. Kami berbagi semangat karena ada banyak orang yang belum berani speak up kondisi mereka," jelasnya.
Tebar Semangat dan Saling Menguatkan
Sesuai arti namanya, Hanna menjadi 'Anugerah' bagi teman-teman penyintas alopesia di berbagai penjuru Indonesia.
Komunitas AFFI merupakan yang pertama ada di Indonesia, saat ini telah memiliki sebanyak 93 anggota yang tergabung di dalam grup.
Mereka ada yang dari Medan, Jambi, Lampung, Jakarta, Semarang, Magelang, Jogja, Surabaya, Bali, Manado, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Di luar grup juga masih banyak sekali. Banyak yang sukanya langsung mengobrol dengan saya dan mendiskusikan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi," ungkap Hanna yang juga dosen tidak tetap di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.
Bagi Hanna, mengobrol dan bertemu dengan sesama penyintas alopesia merupakan momen paling berkesan.
Setelah dia mempublikasikan diri lalu ada penyintas yang menghubunginya, hal itu menjadi semangat baru.
Pikirannya yang menyebut dia satu-satunya penyintas ternyata salah.
"Satu demi satu orang bilang, Kak Hanna atau Mba Hanna, aku juga alopesia. Di situ saya punya semangat baru bahwa yang penting saya bisa berguna untuk orang lain," katanya.
Hanna bersyukur, komunitasnya mendapatkan dukungan dari dokter dan psikolog untuk dapat bertukar pandangan dan saling mengedukasi.
Berbagai kegiatan seperti webinar sering diadakan untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit alopesia.
Hal ini penting karena penyintas alopesia banyak yang tertekan dan kebingungan dengan penampilan yang tiba-tiba berubah.
"Inilah fungsi komunitas ini. Jadi kami bukan komunitas yang mencari anggota banyak, tidak. Kami membentuk komunitas sederhana untuk merangkul orang-orang dengan kondisi alopesia agar tidak merasa sendiri dan mau berjuang lagi untuk melakukan pengobatan," jelasnya.
Penyintas alopesia sekaligus anggota Komunitas AFFI dari Tangerang, Denny Agustina Munthe mengungkapkan, dia begitu bahagia bisa kenal dengan Hanna dan Komunitas AFFI.
Menurutnya, keberadaan Hanna sangat memotivasi bagi penyintas alopesia.
Sosoknya sering menyemangati agar tidak menyerah.
"Mom Hanna dia open banget. Sering ajak dokter-dokter untuk menjadi narasumber online, bikin live streaming Instagram supaya kita bisa tanya-tanya," katanya.
Semakin Eksis dengan SATU Indonesia Awards
Di tahun 2022, Hanna melalui kiprahnya yang menyebarkan dampak positif dalam Komunitas AFFI meraih penghargaan SATU Indonesia Awards dalam bidang kesehatan.
Penghargaan itu membuat Komunitas AFFI semakin dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia.
Komunitas AFFI semakin bersemangat untuk memberikan informasi dan edukasi medis dengan memberikan support secara emosional dan psikologis.
"SATU Indonesia Awards ini cukup baik. Ini satu bukti Komunitas AFFI sudah sukses dalam kampanye karena mendapat ekspos," ungkap Hanna.
Hanna menjelaskan, Komunitas AFFI saat ini tengah memperjuangkan agar penyintas alopesia bisa berobat dengan BPJS Kesehatan.
Selama ini menurutnya, kerontokan rambut yang diderita oleh para penyintas dianggap penyakit estetika.
Sehingga obat untuk autoimun yang bernama Baricinitib belum tercover oleh BPJS Kesehatan.
"Harapannya ketika kita melakukan kampanye seperti ini bersama tim dokter didukung dengan berbagai penelitian, kita bisa membantu penyintas alopesia yang ingin berobat mendapatkan pengobatan gratis dari BPJS Kesehatan," jelasnya.
Dukungan dari Dokter Spesialis
Dua tahun terakhir, Komunitas AFFI mendapatkan dukungan dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ada dua dokter spesialis kulit dan kelamin yang mendampingi Komunitas AFFI, yaitu dr Tuntas Rayinda dan dr Hafis Widakdo Sugiarto.
Dokter Tuntas Rayinda mengungkapkan, alopesia ini merupakan istilah medis yang secara umum digunakan untuk penyandang penyakit rambut yang rontok.
Penyebabnya beragam, bisa autoimun atau hormonal, tetapi untuk alopecia areata kondisinya disebabkan oleh autoimun yang menyerang perisikel rambut.
"Kerontokan rambut sehelai per hari bisa dikatakan normal. Namun ada kondisi tertentu yang harus dicek secara pasti di ahlinya, jika kerontokannya banyak sekali secara mendadak," ujarnya dalam sebuah diskusi online di live Instagram bersama Komunitas AFFI, pada September 2025, lalu.
Tuntas mengatakan, ada sebagian penyintas alopesia yang menjadi minder, stres dan mudah cemas akibat kerontokan yang terjadi secara tiba-tiba.
Menurutnya, yang paling penting adalah semua perlu menghapus stigma.
Masyarakat perlu mengetahui, jika penyakit alopesia ini merupakan kondisi kesehatan pada rambut dan berdampak pada psikologis pasien.
Penyakit ini tidak menular dan penyintasnya perlu dukungan.
"Kita perlu berikan empati dan dukungan, dari lingkungan keluarga, sekolah, dan tempat kerja, ini sangat penting untuk manajemen psikologis pasien alopesia," ungkapnya.
Tuntas juga berpesan, penyintas alopesia untuk tidak merasa sendiri dan menstigma diri sendiri.
Ada satu penelitian terbaru yang mengungkapkan kualitas hidup pasien alopesia bukan dari tingkat keparahannya, tetapi dari stigma yang menyalahkan diri sendiri.
"Jadi kita hentikan stigmatisasi, baik dari masyarakat ataupun pribadi. Hal ini perlu dilakukan agar penyintas alopesia bisa menumbuhkan semangat dan memperbaiki kualitas hidupnya," pesannya. (fba)
| Kisah Syahrial Berdayakan Ratusan Warga, Usaha Kerajinan Tas Anyaman Limbah Plastik Tembus Ekspor |
|
|---|
| Kisah Firman Setyaji Bawa Karya Perajin Eceng Gondok di Tuntang Dipamerkan di Eropa |
|
|---|
| Kisah Sukses Pedagang Bakso Gerobak yang Mampu Beli Rumah dan Mobil, Sehari Untung Rp 2 Juta |
|
|---|
| Kisah Inspiratif : Aron Biayai Kuliah dari Desain Logo dan Video Animasi |
|
|---|
| 5. Berawal dari Keisengan Pria Ini Raup Jutaan Rupiah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/BERKUMPUL-Hanna-Nugrahani-Setiyabudi-kaos-putih.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.