Semarang
Menyelami Jejak Visual sebagai Penanda Zaman dalam Semarang Punya Cerita
Pewarta Foto Indonesia Semarang menggelar Semarang Punya Cerita #Kelas 1 dengan berdiskusi tentang “Jejak Visual Penanda Zaman.
TRIBUNJATENG.COM - Pewarta Foto Indonesia Semarang menggelar Semarang Punya Cerita #Kelas 1 dengan berdiskusi tentang “Jejak Visual Penanda Zaman” di Rumah Pohan, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (12/9/2025).
Diskusi yang dipandu oleh moderator, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang Aris Mulyawan itu menghadirkan narasumber seorang fotografer senior, Beawiharta.
Diskusi yang terselenggara berkat dukungan Rumah Pohan, AJI Semarang, Pertamina Patra Niaga, PT Perkebunan Nusantara 1, Telkomsel, dan Draft Beer ini mengajak peserta menelaah bagaimana karya foto jurnalistik tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi semata, tetapi juga menjadi penanda zaman yang merekam dinamika sosial, budaya, dan sejarah kota.
• Petani Bawang Brebes Lawan Ulat Grayak dengan Lampu Pintar Karya Dosen Telkom University Purwokerto
• Tangisan Anak 4 Tahun Bongkar Kematian Mugiono sang Ayah, Ditemukan Membujur Kaku di Ranjang
Menurut Beawiharta, foto kini memiliki posisi yang semakin penting di tengah arus informasi digital yang serba cepat. “Visual hari ini sudah menjadi bahasa yang lebih kuat dibanding tulisan.
Kalau dulu orang butuh narasi panjang, sekarang yang dibutuhkan justru poin-poin singkat berisi informasi mengenai kapan, dimana, siapa, dan apa yang terjadi. Itu saja sudah cukup, selebihnya gambar yang berbicara," kata Beawiharta.
Beawiharta yang pernah bekerja untuk Reuters dan kini aktif dalam proyek-proyek independen itu mencontohkan bagaimana dalam peristiwa kerusuhan, foto atau video yang tersebar di publik mampu menyampaikan makna dengan kuat meski hanya dilengkapi keterangan sederhana.
“Narasi atau caption itu fungsinya pembatas. Sekadar memberi tahu lokasi, subjek, waktu, dan peristiwa. Sisanya disampaikan langsung lewat visual,” tuturnya.
Lebih jauh, Beawiharta menekankan bahwa foto jurnalistik merupakan bagian penting dari dokumentasi publik.
Berbeda dengan dokumenter yang bisa bersifat personal, karya jurnalistik menurutnya hadir demi kepentingan orang banyak.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa setiap jurnalis foto harus memiliki kesadaran terhadap risiko di lapangan.
“Tidak semua rusuh harus kita datangi. Tidak semua peristiwa harus kita potret. Karena ada bahaya yang mesti diukur.
Kita perlu yang namanya mapping, menghitung mana yang layak diliput dan mana yang lebih baik dilepas. Dengan begitu, kita tetap bisa menghadirkan penanda zaman tanpa mengorbankan keselamatan,” ucap pria yang menerbitkan buku berjudul UNBREAKABLE pada 2023 tersebut.
Beawiharta menambahkan, foto bisa menjadi arsip visual yang signifikan bila dikerjakan dengan perencanaan jangka panjang. Ia mencontohkan pentingnya konsistensi memotret objek yang sama dalam rentang waktu berbeda.
“Kalau kamu punya visual penanda zaman, itu akan jadi sangat penting. Misalnya memotret kereta hari ini, lalu mengulang 10 atau 20 tahun mendatang. Dulu orang naik kereta berdesakan, panas, penuh pedagang asongan.
Sekarang kereta lebih wangi, nyaman, dan berkelas. Perubahan itulah yang bisa terekam. Tapi kita harus mapping dari awal: apakah perlu motret bagian luar, bagian dalam, penumpangnya, atau detail lain yang bisa dibandingkan di masa depan,” ujarnya.
Anton Ajari Anaknya Cintai Produk UMKM Jateng di Gedung Oudetrap Kota Lama Semarang |
![]() |
---|
Anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana Kota Semarang Dikukuhkan Untuk Mitigasi Bencana |
![]() |
---|
Ini Upaya Pemkot Semarang Dalam Mengantisipasi Banjir dan Longsor |
![]() |
---|
Kisah Tukang Bangunan Bisa Berangkat Umroh, Bermula Ikut Program Hadiah |
![]() |
---|
Hingga September 2025, Kunjungan Wisatawan ke Kota Lama Semarang Tembus 2,3 Juta Orang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.