Penanganan Corona
WHO Sarankan Interleukin 6 Obat Pasien Covid-19 Gejala Berat, Kurangi Risiko Kematian 13 Persen
Interleukin 6 menjadi obat yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam daftar obat perawatan yang diharapkan dapat menyelamatkan.
TRIBUNJATENG.COM - Interleukin 6 menjadi obat yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam daftar obat perawatan yang diharapkan dapat menyelamatkan pasien Covid-19.
WHO mengatakan uji coba menunjukkan bahwa pemberian obat ini mengurangi kemungkinan kematian sebesar 13 persen, dibandingkan dengan perawatan standar.
Artinya, dengan penggunaan Interleukin 6 diharap akan ada 15 kematian lebih sedikit per seribu pasien, atau sekitar 28 kematian lebih sedikit untuk setiap seribu pasien sakit kritis.
Interleukin 6 merupakan obat kedua yang direkomendasikan WHO efektif melawan penyakit ini, saat pandemi terus meningkat di seluruh dunia.
Baca juga: Tak Perlu Blokir Kontak, Kini Kamu Bisa Sembunyikan Notifikasi dan Pesan Nomer Tertentu di Whatsapp
Baca juga: Peruntungan Shio Hari Ini Kamis 8 Juli 2021
Baca juga: Penalti Tak Sempurna Harry Kane Antar Inggris Jumpa Italia di Final Euro 2020
Baca juga: Kejari Kota Semarang Bersinergi dengan Pemkot Gelar Vaksinasi Bagi Warga Mijen
WHO mengatakan obat-obatan bekerja sangat baik bila digunakan bersama corticosteroids, yang direkomendasikan oleh WHO pada September 2020.
"Obat-obatan ini menawarkan harapan bagi pasien dan keluarga yang menderita dampak buruk dari Covid-19 yang parah dan kritis," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan melansir Al Jazeera pada Rabu (7/7/2021).
Pasien dengan kasus Covid-19 yang parah sering menderita reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, dan obat Interleukin 6 (tocilizumab dan sarilumab) bertindak untuk menekan reaksi berlebihan tersebut.
Dengan obat ini, kemungkinan pasien yang sakit parah dan kritis yang memakai ventilator berkurang 28 persen, dibandingkan dengan perawatan standar.
Rekomendasi itu muncul ketika negara-negara di seluruh dunia termasuk Afrika Selatan, Indonesia, dan Bangladesh memerangi gelombang baru virus yang menghancurkan, dipicu oleh varian Delta yang pertama kali muncul di India.
WHO masih berupaya untuk menghapus perlindungan paten pada vaksin Covid-19 untuk meningkatkan akses bagi negara-negara miskin.
Ada juga seruan untuk menghilangkan hambatan “hak kekayaan intelektual” tersebut pada obat-obatan yang penting untuk pengobatan efektif virus corona yang parah.
Tocilizumab termasuk dalam kelas obat yang disebut antibodi monoklonal (mAbs). Obat ini digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit termasuk radang sendi dan kanker, dan diproduksi oleh raksasa farmasi Swiss, Roche. Obat itu dijual di bawah nama merek Actemra.
Mengikuti rekomendasi WHO, Doctors without Borders (dikenal dengan inisial bahasa Perancisnya, MSF) mendesak Roche untuk menurunkan harga obat agar terjangkau dan dapat diakses.
Perusahaan itu juga diminta untuk berbagi pengetahuan, lini sel induk, dan teknologi dari obat itu, sehingga memungkinkan obat itu diproduksi oleh produsen lain lintas dunia.
“Obat ini dapat menjadi penting untuk merawat orang dengan kasus Covid-19 yang kritis dan parah serta mengurangi kebutuhan akan ventilator dan oksigen medis yang langka di banyak tempat,” kata Julien Potet, Penasihat Kebijakan Penyakit Tropis yang Terabaikan di Kampanye Akses MSF dalam sebuah pernyataan.
Menurutnya, Roche harus berhenti mengikuti pendekatan bisnis seperti biasa dan mengambil langkah-langkah mendesak. Jadi, obat tersebut dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang yang membutuhkannya.
“Terlalu banyak nyawa yang dipertaruhkan,” ujat Potet.
Sebagian besar obat antibodi monoklonal (mAbs) yang ada mahal. Jadi obat itu dikhawatirkan tidak terjangkau oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
MSF mengatakan sementara tocilizumab telah ada di pasaran sejak 2009, harganya tetap sangat tinggi di sebagian besar negara.
Dalam dosis 600 mg yang dibutuhkan untuk Covid-19, harga kisarannya dari 410 dollar AS (Rp 5,9 juta) di Australia, 646 dollar AS (Rp 9,3 juta) di India, dan 3.625 dollar AS (Rp 52.5 juta) di Amerika Serikat.
Sementara “Biaya untuk memproduksi tocilizumab diperkirakan setidaknya 40 dollar AS (Rp 579.894) per 400 mg dosis,” terang Potet.
Sarilumab, obat antibodi monoklonal (mAbs) kedua yang direkomendasikan oleh WHO, dibuat oleh perusahaan farmasi AS Regeneron dan pembuat obat Perancis Sanofi. Produk tersebut dipasarkan dengan merek Kevzara.
Regeneron telah mengajukan dan mendapat paten atas sarilumab dan formulasinya, di setidaknya 50 negara berpenghasilan rendah dan menengah, menurut MSF.
Baca juga: Di Tengah Varian Delta Merebak, WHO Peringatkan Tetap Pakai Masker Setelah Divaksin
WHO juga meminta produsen untuk mengurangi harga obat, menerima perjanjian lisensi non-eksklusif yang transparan atau mengabaikan hak eksklusivitas.
Baca juga: Arti Mimpi Tentang Perampokan, Tak Semuanya Bermakna Buruk
Baca juga: Kode Redeem FF Kamis 8 Juli 2021, Terbaru dan Belum Digunakan Hari Ini
Baca juga: Video Menilik Industri Genteng Sokka yang Melegenda di Kebumen
“Pemblokir reseptor IL-6 (interleukin-6) tetap tidak dapat diakses dan tidak terjangkau untuk sebagian besar dunia,” kata Ghebreyesus.
Menurutnya, distribusi vaksin yang tidak merata membuat orang-orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah paling rentan terhadap infeksi parah Covid-19.
“Jadi, kebutuhan terbesar obat-obatan ini adalah di negara-negara yang saat ini memiliki akses paling sedikit. Kita harus segera mengubah ini (harga yang mahal).”
Obat covid-19 rekomendasi WHO tersebut berdasarkan analisis data dari lebih dari 10.000 pasien yang terlibat dalam 27 uji klinis. (*)
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul WHO Umumkan Obat Kedua untuk Perawatan Pasien Covid-19 yang Sakit Parah