Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Pendidikan

Soroti Pendidikan Islam di Belanda, Prof Muslih Jadi Guru Besar UIN Walisongo

Prof Muslih dikukuhkan sebagai guru besar Pendidikan Agama Islam dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang.

Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: moh anhar
Dokumentasi Pribadi Narasumber
Prof Muslih (tengah) bersama kolega 

SEMARANG,TRIBUN - Prof Muslih dikukuhkan sebagai guru besar Pendidikan Agama Islam dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang.

Pengukuhan dilaksanakan di Gedung Rektorat UIN Walisongo pada Rabu (26/1).

Pada pidato pengukuhan atau orasi ilmiah, ia akan membawakan hasil penelitiannya tentang pendidikan Islam di tengah masyarakat sekuler barat, khususnya di Belanda.

Baca juga: Alat Produksi Bensin Sawit, Sumbangsih Inovasi dari Kudus untuk Indonesia

Baca juga: Heboh Kasus Banyak Mahasiswi Bidik Misi Sebuah Kampus di Jawa Tengah Jadi Korban Pelecehan Seksual

Baca juga: Bupati Banjarnegara Nonaktif Budhi Sarwono Kena Dakwaan Korupsi Rp 26 Miliar

Merampungkan studi master dan doktor di Leiden University Belanda membuat dirinya tertarik untuk meneliti pembelajaran Islam pada lembaga pendidikan di Belanda.

"Saya punya sejarah pernah tinggal cukup lama di Belanda selama kurang lebih 7 tahun. 2 tahun menempuh program master dan 5 tahun menempuh program doktor.

Selain itu, Saya ingin memberikan apresiasi terhadap perjuangan kaum minoritas Muslim di Belanda yang telah dengan gigih memperjuangkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dalam memperoleh atau mendapatkan Pendidikan Agama Islam bagi anak-anak Muslim di sana," kata Prof Muslih ketika berbincang dengan TribunJateng.com, Senin (24/1).

Menurutnya, warga muslim sebagai minoritas di Belanda pada awalnya kesulitan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, terutama tentang agama.

Ia pun bercerita awal mula munculnya komunitas Muslim di Belanda.

Pada awalnya, mayoritas penduduk Belanda memeluk Protestan.

Berjalannya waktu Katolik masuk dan mereposisi mayoritas agama di Belanda.

Hasil itu diupayakan dengan 'pertarungan keras'.

Saat itu muncul istilah pilarisation (pilarisasi).

Pemisahan masyarakat menjadi kelompok oleh agama atau keyakinan.

Sehingga, masing-masing Katolik dan Protestan memiliki pilar sendiri.

Protestan memiliki bank sendiri, sekolah, tim sepakbola.

Begitu juga dengan Katolik yang memiliki bank sendiri, lembaga penyiaran, klub sepak bola sendiri, termasuk pendidikan.

Pada saat Perang Dunia II, negara di Eropa hancur termasuk Belanda.

Jerman menjajah Belanda dengan meluluhlantakan sejumlah daerah.

Setelah Perang Dunia II, orang-orang Muslim datang ke Belanda dalam skala besar pada periode 1960-an dan 1970-an.

"Pada saat itu, pemerintah Belanda membutuhkan tenaga kerja manual untuk membangun kembali negara. Sebagian besar orang Belanda tidak mau melakukan pekerjaan kasar. Karena itu pemerintah Belanda mengundang para pekerja dari luar negeri, terutama dari wilayah Eropa Mediterania untuk datang ke Belanda untuk melakukan pekerjaan tersebut. Para pekerja itu disebut pekerja tamu atau guest worker," kata Prof Muslih.

Selama periode ini Pemerintah Belanda menyelesaikan perjanjian rekrutmen dengan beberapa negara Eropa Selatan, dan dengan Turki dan Maroko.

Para imigran dari Turki dan Maroko adalah kaum Muslim.

Ini dapat dianggap sebagai tengara bagi kedatangan umat Muslim di Belanda.

Pemerintah Belanda memilih pekerja dari Turki dan Maroko kala itu lantaran murah.

Rata-rata merupakan pekerja kasar dari masyarakat tidak berpendidikan (uneducated) dan tidak memiliki keterampilan.

Pemerintah pun merayu para pekerja tersebut agar tidak pulang ke negara mereka, lantaran nantinya tidak ada yang mengerjakan pekerjaan kasar di Belanda.

Pada 1970 pemerintah Belanda melaksanakan program reunifikasi, yang mana pekerja dari Turki dan Maroko didatangkan secara besar-besaran.

Pekerja yang didatangkan merupakan keluarga muda sehingga memiliki istri dan anak di negara asal mereka.

Pemerintah pun meminta agar keluarga para pekerja tersebut dibawa turut serta pindah ke Belanda.

"Mereka kangen anak istrinya. Pemerintah Belanda memperbolehkan keluarga pekerja datang tanpa di-screening. Setelah itu di Belanda, mereka beranak pinak. Meskipun pendatang, mereka diperlakukan spesial. Mereka memegang Netherland paspor, Dutch Nationality. Generasi kedua pun lahir di Netherland," jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, para pemimpin komunitas Muslim pun merasa prihatin lantaran anak-anak harus mengenyam pendidikan sesuai dengan keyakinan yakni Islam.

Masyarakat Muslim pun menuntut kepada pemerintah Belanda agar ada lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam seperti halnya pesantren atau madrasah.

"Kita di Indonesia Muslim mayoritas, menuntut adanya Madrasah, no problem at all. Mereka (warga Muslim) posisinya warga minoritas. Mereka ingin anak-anaknya mendapatkan ajaran agama sebagai budaya dan tradisi yakni Islam, meskipun hidup di negara sekuler," ucapnya.

Sebetulnya, ada pendidikan agama yang disampaikan di sekolah umum di sana.

Namun, para orangtua warga Islam ingin agar materi agama disampaikan tidak hanya sebagai formalitas.

Mereka ingin agar pembelajaran Islam disampaikan secara mendalam dan komprehensif.

Namun, berjalannya waktu, pemerintah setempat memperbolehkan adanya pendirian lembaga pendidikan Islam.

Orangtua Muslim ingin anaknya belajar Islam tidak hanya sebatas ilmu atau kesarjanaan saja, tetapi menilai merawat dan memelihara anak-anak dengan cara yang diperintahkan oleh agama Islam sangat penting.

Ini dalam rangka menanamkan nilai-nilai dan norma-norma Islam serta untuk mengkonfirmasi identitas mereka sebagai Muslim.

Sekolah pertama yang dibangun komunitas Muslim adalah sekolah dasar Islam Al-Ghazali di Rotterdam pada tahun 1987.

Mengenai jumlah sekolah Islam di Belanda, angkanya bervariasi.

Ada yang menyebutkan sebanyak 43 sekolah dasar Islam dan satu sekolah menengah Islam di Belanda yang sepenuhnya didanai negara.

Menurutnya, tuntutan agar pemerintah memperbolehkan pendirian sekolah menguat setelah masyarakat Muslim merasa bahwa sudah berjasa terhadap pembangunan di Negeri Kincir Angin tersebut.

Selain itu, jumlah warga Muslih semakin bertambah. Saat ini ada sekitar 400 ribu.

Prof Muslih menuturkan, penyampaian agama Islam ada tiga macam.

Pertama, yang disampaikan secara informal di sekolah seperti madrasah diniyah.

Kedua, agama Islam yang disampaikan di sekolah publik.

Misalnya disampaikan di sekolah Katolik. Namun demikian, hanya sebatas kesarjanaan saja, bukan lebih pada agama yang dijalankan untuk panutan hidup.

"Yang ketiga sekolah berbasis Islam. Ini yang diperjuangkan," tegasnya.

Beruntungnya, warga Muslim yang bersekolah di sekolah Islam tersebut disubsidi negara 100 persen.

Lantaran mereka rata-rata memiliki penghasilan menengah ke bawah, sehingga rata-rata mendapatkan subsidi dua kali lipat lebih besar ketimbang yang diterima anak-anak asli kelahiran Belanda.

"Dapat dikatakan bahwa secara umum sekolah Islam masih tertinggal di belakang sekolah publik Belanda dalam hal prestasi kinerja.

Baca juga: Alat Pengolah CPO dari Kudus Hasilkan Bensin Berkualitas Tinggi

Baca juga: Jadwal Timnas Putri Indonesia Vs Filipina Piala Asia Wanita, Garuda Pertiwi Dipastikan Gugur

Baca juga: Miliki Aset Rp 10 Miliar, Bupati Wihaji Minta UPK DAPM Mukti Reban Kembangkan Usaha

Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektorat Pendidikan membuktikan bahwa sekolah dasar Islam memiliki kekurangan yang cukup serius, di antaranya kualitas pendidikan yang tidak memadai dan salah urus keuangan," katanya.

Namun demikian, Prof Muslih menuturkan, sekolah dasar Islam di Belanda telah belajar dari penilaian negatif Inspektorat Pendidikan.

Seiring berjalannya waktu, mereka meningkatkan diri untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dan beberapa sekolah sekarang telah melakukannya dengan baik.

Bukan sekadar formalitas

Prof Muslih menegaskan, warga muslim sebagai minoritas di Belanda pada awalnya kesulitan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, terutama tentang agama.

Sebetulnya, ada pendidikan agama yang disampaikan di sekolah umum di sana. Namun, para orangtua warga Islam ingin agar materi agama disampaikan tidak hanya sebagai formalitas.

Mereka ingin agar pembelajaran Islam disampaikan secara mendalam dan komprehensif.

Namun, berjalannya waktu, pemerintah setempat memperbolehkan adanya pendirian lembaga pendidikan Islam.

"Mereka (warga Muslim) posisinya warga minoritas. Mereka ingin anak-anaknya mendapatkan ajaran agama sebagai budaya dan tradisi yakni Islam, meskipun hidup di negara sekuler," kata Prof Muslih, Senin (24/1/2022).

Menurutnya, tuntutan agar pemerintah memperbolehkan pendirian sekolah menguat setelah masyarakat Muslim merasa bahwa sudah berjasa terhadap pembangunan di Negeri Kincir Angin tersebut.

Selain itu, jumlah warga Muslih semakin bertambah. Saat ini ada sekitar 400 ribu.

Prof Muslih menuturkan, penyampaian agama Islam ada tiga macam.

Pertama, yang disampaikan secara informal di sekolah seperti madrasah diniyah.

Kedua, agama Islam yang disampaikan di sekolah publik.

Misalnya disampaikan di sekolah Katolik.

Namun demikian, hanya sebatas kesarjanaan saja, bukan lebih pada agama yang dijalankan untuk panutan hidup.

"Yang ketiga sekolah berbasis Islam. Ini yang diperjuangkan," tegasnya.

Prof Muslih mengatakan berdasarkan data terakhir, saat ini sekolah dasar Islam di Belanda sudah ada sebanyak 45.

Jika dibandingkan dengan jumlah sekolah yang ada di negeri ini, yakni 6.000 persentasenya sangat kecil.

Baca juga: Matt White Artis Cilik Meninggal, Dokter Sebut Anak Derita Diabetes Lebih Berbahaya Dibanding Dewasa

Baca juga: Isi Audiensi Pengusaha Kereta Kelinci dan Polisi di Pati

Beruntungnya, warga Muslim yang bersekolah di sekolah Islam tersebut disubsidi negara 100 persen.

Lantaran mereka rata-rata memiliki penghasilan menengah ke bawah, sehingga rata-rata mendapatkan subsidi dua kali lipat lebih besar ketimbang yang diterima anak-anak asli kelahiran Belanda.

Masyarakat Muslim di Belanda rata-rata dari Turki dan Maroko.

Mereka pindah ke Belanda sudah bertahun-tahun lamanya. (*)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved