Polisi Tembak Polisi
Kejagung Tanggapi Tuntutan 12 Tahun terhadap Bharada E, Sebut Pelaku Bukan Penguak Fakta Hukum
Kejaksaan Agung angkat suara soal tuntutan 12 tahun penjara Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dalam perkara pembunuhan berencana
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung angkat suara soal tuntutan 12 tahun penjara Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Fadil Zumhana menyebut dalam hal ini ada parameter dalam menentukan tuntutan tersebut.
Salah satu parameter yang memberatkan Richard, kata Fadil, dikarenakan yang bersangkutan memiliki keberanian untuk melakukan penembakan sehingga dikategorikan menjadi pelaku.
"Richard Eliezer memiliki keberanian dia, maka jaksa menyatakan bahwa Richard Eliezer sebagai dader sebagai pelaku. Pelaku yang menghabisi nyawa korban Yosua Hutabarat," ujarnya kepada wartawan, Kamis (19/1).
"Sehingga ketika kami menetapkan Richard Eliezer 12 tahun itu parameternya jelas. Dia itu sebagai pelaku, sebagai dader," sambungnya.
Meski aksi yang dilakukan Bharada E merupakan perintah dari Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual, namun Bharada E disebut tidak menolak seperti apa yang dilakukan Bripka Ricky Rizal.
Karenanya Fadil menilai, Richard tetap dinilai sebagai eksektor lantaran memiliki keberanian tersebut.
Selain itu, tuntutan tersebut juga dirasa sudah lebih ringan jika dibandingkan dengan Ferdy Sambo yang berperan memberikan perintah.
"Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal yang berada di lokasi itu, dia mengetahui ada rencana pembunuhan. Tapi dia tidak melakukan apa yang menyebabkan pembunuhan itu," jelasnya.
"Tapi ketika Richard Eliezer berani menghabisi nyawa orang lain dengan senjatanya atas perintah Ferdy Sambo, kami menganggap ini adalah suatu keberanian yang menimbulkan kematian bagi orang lain," tegasnya.
Jampidum juga mengklaim pihaknya telah mengurangi tuntutan terhadap Richard Eliezer karena pengajuan JC tersebut. "Justru kami sudah pertimbangan rekomendasi JC dari LPSK itu.
Kalau kami tidak pertimbangkan sikap LPSK, mungkin saja akan lebih tinggi, 12 tahun ini sudah kami ukur dengan parameter pidana yang jelas," ujarnya.
Meski begitu, Fadil menyebut sejatinya status JC tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kami ingin beri penjelasan, JC ini rekomendasi LPSK.
Tapi penetapan JC dari PN Jaksel belum ada. Kami sudah mempertimbangkan walaupun penetapan pengadilan belum ada. Kenapa, karena si Richard Eliezer inilah terungkap peristiwa pidana sesungguhnya. Itu kami hargai," tuturnya.
Fadil Zumhana juga menyebut tuntutan tersebut sudah benar adanya. "Masalah meninjau merevisi, kami tahu kapan akan merevisi. Ini sudah benar, ngapain direvisi," kata Fadil.
Fadil mengatakan revisi tuntutan itu dilakukan jika memang ada yang keliru dari jaksa penuntut umum. "Contoh yang pernah saya revisi itu kasus di Karawang. Itu keliru. Kalau udah benar ngapain di revisi itu jawabannya. Tidak akan ada pernah revisi," jelasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana mengatakan terdakwa Richard Eliezer bukanlah sebagai penguak fakta hukum.
Pengungkapan fakta hukum pertama kata Kejagung, justru datang dari pihak keluarga korban. "Delictum yang dilakukan tindak pidana Richard Eliezer sebagai eksekutor yakni pelaku utama, bukanlah sebagai penguak fakta hukum," kata Ketut.
"Jadi dia bukan penguak, pengungkapan fakta hukum yang pertama justru keluarga korban yang jadi bahan pertimbangan," lanjutnya.
Kejagung juga menyatakan bahwa Richard Eliezer adalah pelaku utama dan menjadi eksekutor yang menghilangkan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Sehingga menurut Kejagung tak dapat dipertimbangkan status justice collaborator yang ia dapatkan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menurut Ketut, hal ini selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. "Tapi beliau adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan justice collaborator," ungkapnya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu membantah kalau pihaknya telah melakukan intervensi atas tuntutan 12 tahun penjara yang dijatuhkan jaksa penuntut umum (JPU) kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
Bantahan ini sekaligus merespons soal pernyataan dari pihak Kejaksaan Agung RI yang menilai, LPSK sudah mengintervensi apa yang menjadi kewenangan jaksa di perkara Bharada E. Edwin menyatakan, apa yang menjadi pernyataan LPSK sejauh ini berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban karena mengingat Bharada E memiliki hak sebagai justice collaborator.
"Kami tidak akan intervensi. Kami hanya menyampaikan apa yang sudah diatur dalam UU," kata Edwin.
Dirinya merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 yang di dalamnya mengatur soal hak dan kewajiban seseorang yang menyandang status justice collaborator atau saksi pelaku. Di mana salah satunya yakni mendapati tuntutan pidana yang lebih rendah dibandingkan terdakwa lain dalam suatu perkara. "Iya baca saja pasal 10A dan pasal 28 ayat 2 UU 31/2014," tegas Edwin.
Kendati saat dinilai melakukan intervensi namun sejatinya pernyataan itu berlandaskan UU, Edwin menilai kalau setiap pihak berhak untuk memberikan keterangan. Dirinya tidak merespons secara detail soal penilaian intervensi yang dilontarkan Kejaksaan Agung RI dalam perkara ini.
"Kalau soal rasa siapa yang bisa kendalikan," tukas Edwin.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan Kejaksaan Agung tidak terpengaruh gerakan bawah tanah yang ingin mengintervensi putusan terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo. Mahfud memastikan Kejaksaan akan menjalankan tugasnya dengan independen.
"Saya pastikan Kejaksaan independen, tidak akan terpengaruh dengan gerakan-gerakan bawah tanah itu," kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat.
Mahfud sebelumnya mengatakan ia mendengar selentingan mengenai adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang ingin mengintervensi putusan terhadap Ferdy Sambo. Gerakan-gerakan bawah tanah tersebut, kata Mahfud, ada yang menginginkan agar Ferdy Sambo dijatuhi vonis bebas.
Namun demikian, kata dia, gerakan-gerakan bawah tanah tersebut juga ada yang menginginkan Ferdy Sambo dihukum. "Saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang minta, memesan, putusan Sambo itu agar dengan huruf, tapi ada juga yang meminta dengan angka," kata Mahfud.
"Ada yang bergerilya, ada yang ingin Sambo dibebaskan, ada yang ingin Sambo dihukum, kan begitu. Tapi kita bisa amankan itu di kejaksaan. Saya pastikan kejaksaan independen," sambung dia.
Ia juga mendengar selentingan yang mengatakan seorang berpangkat Brigjen mencoba mengintervensi pihak tertentu dalam perkara Sambo. Mahfud pun menanggapi selentingan tersebut dengan meminta agar nama Brigjen tersebut diungkap kepadanya.
"Karena ada yang bilang, ada katanya seorang Brigjen mendekati si A, si B. Saya bilang Brigjennya siapa? Suruh sebut ke saya, nanti di sini saya punya Mayjen banyak kok," kata Mahfud.
"Kalau anda bilang Mayjen yang mau menekan pengadilan atau kejaksaan, di sini saya punya Letjen. Jadi pokoknya independen saja," kata Mahfud.(Tribun Network/dan/gta/wly)
Baca juga: Yogyakarta Jadi Provinsi Termiskin, Budi: Punya Budaya Kuat Gemar Menabung Daripada Konsumsi
Baca juga: Bejat! Pria Cabuli Anak Tiri Selama 4 Tahun, Modusnya Beri Uang Jajan Lebih
Baca juga: Dukung Pemulihan Pascagempa Cianjur, PLN Alirkan Penyambungan Listrik Sementara di Huntara
Baca juga: Narapidana Dikhitan Usai Menjadi Mualaf di Lapas Kelas IIB Slawi, Hidayahnya Muncul Saat Magrib
Fakta Baru Kasus AKP Dadang Tembak Mati AKP Ulil, Kapolres Ternyata Juga Jadi Korban |
![]() |
---|
Richard Eliezer Bebas Bersyarat, Kemenkumham: Keluar Penjara Sejak 4 Agustus 2023 Lalu |
![]() |
---|
Inilah Sosok 5 Hakim MA Dibalik Keringanan Hukuman Ferdy Sambo CS, 2 Beda Pendapat |
![]() |
---|
Respons Keluarga Brigadir J Setelah MA Menyunat Hukuman Mati Ferdy Sambo: Dulu Adil Sekarang Kecewa |
![]() |
---|
Mahkamah Agung Anulir Vonis Mati Ferdy Sambo menjadi Hukuman Penjara Seumur Hidup |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.