Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Opini Yudha Priyono: Merdeka Belajar untuk Merdeka Berbudaya

KATA merdeka sangat familiar di kalangan dunia pendidikan saat ini karena merupakan inti dari Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar dan merdeka berbudaya

Editor: m nur huda
bram
Yudha Priyono 

Opini Ditulis Oleh Yudha Priyono, S.Pd.,M.Pd 9 (Guru SMK Negeri 1 Warungasem Batang)

TRIBUNJATENG.COM - KATA merdeka sangat familiar di kalangan dunia pendidikan saat ini karena merupakan inti dari Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar dan merdeka berbudaya menjadi suatu pencapaian yang diharapkan dari pelaksanaan kurikulum tersebut. Namun apa sebenarnya makna merdeka dalam kurikulum tersebut? Apakah diartikan dapat berbuat sekehendaknya sendiri? Dan sejauh mana manfaat dari pelaksanaan merdeka belajar dan merdeka berbudaya baik bagi murid maupun lingkunganya sendiri?

Penulis sangat beruntung dapat mengikuti pelatihan Pendidikan Calon Guru Penggerak Angkatan 6, selain belajar pada Platform Merdeka Mengajar. Dari pelatihan tersebut, penulis dapat lebih memahami apa hakikat merdeka dalam kurikulum tersebut. Bapak Pendidikan bangsa, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pada kita tentang konsep manusia merdeka. Manusia merdeka adalah mereka yang tidak terperintah, mereka dapat menegakan dirinya, tertib mengatur perikehidupanya, sekaligus tertib mengatur perhubungan mereka dengan kemerdekaan orang lain.

Dari penjelasan diatas, dapat diartikan bahwa merdeka adalah melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh tanpa paksaan, perintah atau tekanan pihak luar. Diharapkan kemerdekaan tersebut adalah melakukan segala hal yang tidak bertentangan norma norma agama dan nilai nilai kebajikan universal. Nilai nilai kebajikan universal tersebut adalah keadilan, tanggung jawab, kejujuran, bersyukur, lurus hati, berprinsip, integritas, kasih sayang, rajin, komitmen, percaya diri dan kesabaran. Begitu juga dalam belajar, murid belajar karena kesadaran dari dalam tanpa adanya tekanan.

Makna merdeka tersebut yang membedakan Kurikulum Merdeka dengan kurikulum kurikulum sebelumnya. Pada kurikulum sebelumnya murid belum bisa belajar sesuai dengan kesiapan belajar, minat dan profil belajar mereka. Murid belajar tidak dengan sepenuh hati, tapi karena tuntutan nilai. Begitupun dengan guru, dalam mengajar lebih menitikberatkan pada ketercapaian materi, daripada pencapaian pemahaman setiap murid.

Begitu juga dengan pembelajaran non kognitif murid seperti kompetensi sosial dan emosional. Murid melaksanakan tata krama dan tata tertib karena takut dengan hukuman yang akan diterima jika melanggar, bukan karena kesadaran diri.

Kondisi tersebut diatas yang membuat banyak murid seperti mendapatkan kebebasan ketika lulus. Mereka lepas dari kungkungan sekolah dan dapat berbuat sekehendak hati. Materi materi di sekolah, tata krama dan tata tertib yang sebenarnya sangat baik bagi mereka, tidak membumi pada jiwa murid karena dilakukan tidak dengan sepenuh hati. Sehingga apa yang mereka lakukan tidak menjadi budaya keseharian setelah mereka lulus.

Oleh karena itu, Kurikulum Merdeka hadir untuk menjawab masalah tersebut dengan filosofi pendidikan berpihak pada murid. Dalam dunia pendidikan, adalah fakta bahwa tidak semua murid serta merta dapat belajar dan perilaku mulia dengan kesadaran diri. Perbedaaan latar belakang keluarga dan lingkungan menjadi penyebab.

Konsep “menuntun” atau membimbing ditegaskan dalam mengatasi masalah tersebut.. Menuntun atau membimbing murid supaya tetap berada di jalur yang seharusnya, sesuai dengan kodrat keadaan (lingkungan murid ), dan kodrat zaman (era teknologi terkini). Ditambahkan lagi oleh Ki Hadjar, jika manusia belum merdeka untuk berbuat sesuai nilai nilai yang diharapkan, maka butuh institusi luar untuk membantunya, dalam hal ini adalah guru atau sekolah.

Salah satu cara dalam membimbing murid untuk berperilaku sesuai yang diharapkan dalah dengan membuat keyakinan kelas. Keyakinan kelas adalah suatu kesepakatan bersama dalam lingkup kelas yang digali dari ide ide semua murid dan disepakati bersama. Keyakinan kelas bukanlah peraturan satu arah yang dipaksakan, namun disepakati bersama antara murid dan guru.

Kesepakatan membuat murid melaksanakan aturan dengan sepenuh hati dan memahami sepenuhnya konsekuensinya jika melanggarnya. Dalam konteks “menuntun” atau membimbing, aturan aturan sekolah yang umunya sudah ada, dipahamkan kepada murid mengapa ada aturan tersebut dan kenapa murid harus melakukan dan menjauhinya.

Bentuk keyakinan kelas dapat beragam sesuai kesepakatan bersama. Keyakinan tersebut misalnya saling menghargai, masuk keluar kelas tepat waktu, menunjukan jari telunjuk saat bertanya, berkata sopan dalam kelas, belajar dengan sepenuh hati dan besungguh sungguh dan lainya. Belajar dan berperilaku sesuai dengan norma yang diharapkan, jika dilakukan dengan kesadaran diri dan sepenuh hati, merupakan esensi dari kemerdekaan belajar.

Semakin teratur dan sering murid berperilaku sesuai norma yang diharapkan, akan menimbulkan kebiasaan yang baik, dan kebiasaan baik tersebut akan menjadi budaya yang baik. Budaya baik yang dilakukan dengan sepenuh hati adalah merdeka budaya. William Glasser (1998) menyatakan dalam teori pilihan bahwa perilaku seorang manusia adalah buah dari pilihan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Pilihan yang diharapkan adalah pilihan yang baik. Jika tidak baik, maka perlu dibimbing supaya tidak keluar dari jalur yang diharapkan.

Merdeka belajar akan menciptakan merdeka berbudaya. Kebiasaan dan perilaku positif yang dilakukan secara teratur akan menciptakan budaya positif. Merdeka berbudaya diartikan sebagai kesadaran diri untuk secara teratur melakukan sesuatu tanpa adanya unsur paksaan dari pihak luar. Sebagai contoh, murid yang sebelumnya dibimbing untuk melakukan kebersihan kelas sebelum dan sesudah pelajaran, kemudian muncul perasaan merdeka untuk melakukanya, lama kelamaan akan menjadi budaya yang tidak dipaksakan.

Merdeka belajar untuk menciptakan merdeka berbudaya harus banyak dipaktikan, terutama di sekolah sekolah sebagai pusat pembelajaran. Manfaatnya banyak sekali dirasakan. Budaya tersebut diharapkan tidak hanya dilakukan di sekolah saja, tapi merambah di keluarga dan lingkungan murid.

Banyak kegiatan di sekolah yang bisa dilakukan untuk membentuk merdeka belajar dari aspek kognitif dan sosial emosional. Contohnya adalah kegiatan senyum, salam, sapa saat masuk sekolah dan disambut dengan Bapak/Ibu Guru yang bertugas, dilanjutkan denga berdoa secara serempak. Setelah itu berdiri dengan sikap sempurna untuk mendengarkan lagu Indonesia Indonesia Raya yang diputar secara tepusat. Manfaat dari budaya tersebut akan membentuk murid yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia dan nasionalisme.

Dalam pembelajaran murid dibimbing untuk merdeka belajar karena adanya pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan oleh semua guru. Pembelajaran tersebut menitikberatkan pada kebutuhan belajar, minat dan profil belajar murid. Semua murid mendapatkan hak belajar sesuai dengan tiga aspek belajar pada dirinya. Dengan begitu murid belajar dengan bahagia dan sepenuh hati yang merupakan esensi dari merdeka belajar.

Dalam menciptakan merdeka belajar, sekolah dapat membuat dan melaksanakan program program yang menumbuhkan kepemimpinan murid (student agency). Kepemimpinan murid tersebut melibatkan tiga aspek; aspirasi murid, pilihan murid dan keterlibatan murid. Posisi guru hanya sebagai fasilitator yang memberikan panduan secara garis besar dan membimbing murid jika ada kesulitan.

Beberapa program telah dilaksanakan sekolah dalam membumikan merdeka belajar tersebut. Yang pertama adalah peringatan hari besar agama berbasis proyek setiap kelas. Dalam kegiatan tersebut murid bebas memberikan aspirasi bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan, memilih kepanitiaan, setting tempat dan lain lain. Pada saat kegiatan, semua murid terlibat sehingga ada rasa memiliki. Dia akhiri dengan kegiatan refleksi.

Yang kedua adalah kegiatan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5). Program P5 yang telah dilakukan adalah pemanfaatan limbah plastik di lingkungan sekitar menjadi ecobrick. Pembelajaran lebih banyak ke praktik daripada teori.Murid menjadi merdeka dalam belajar karena mereka menjadi aktor utama yang beraspirasi, memilih dan terlibat langsung dalam kegiatan. (*tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved