Banjir Semarang
Pesisir Jateng Tenggelam, Solusi Pemerintah Dianggap Salah Kaprah
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut pesisir Jawa Tengah (Jateng) sudah berada di titik kritis.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Catur waskito Edy
“Demak tenggelam karena ada sebab-sebab lokalnya yang bisa kita minta pertanggungjawabannya. Di sana ada Pelabuhan Tanjung Emas, reklamasi Pantai Marina, POJ City, pembangunan jalan tol Semarang-Demak, dan kawasan industri-industri. Merekalah yang harus kita tagih untuk bertanggung jawab,” bebernya.
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah mengungkapkan bencana rob tidak hanya menghancurkan desa-desa pesisir, tetapi juga mata pencaharian warga.
“Anak-anak sekarang tidak lagi bermimpi menjadi nelayan. Pergi melaut sudah tidak menjanjikan. Nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat reklamasi besar-besaran,” katanya.
Masnuah menambahkan, upaya masyarakat pesisir untuk bertahan sering kali
dianggap tidak penting oleh pemerintah. "Kebijakan yang dibuat untuk pesisir sering kali dihasilkan tanpa melibatkan masyarakat lokal," terangnya.
Aancam Sistem Pangan Pesisir
Ancaman pesisir tenggelam juga mengancam sistem pangan laut masyarakat pesisir Jawa Tengah.Pakar panganan laut dari Soegijapranata Catholic University (SCU),Budi Widianarko menjelaskan pencemaran di kawasan pesisir, seperti Bedono dan Sayung di Demak, Jawa Tengah, telah merusak habitat kerang.
Terutama kerang hijau memiliki kemampuan menyaring polutan, tapi kualitasnya
menurun seiring meningkatnya pencemaran.
Risetnya menemukan jenis kerang dara ukuran kecil dapat menyaring polutan sebanyak 7-14 liter/hari sedangkan kerang hijau 20-60 liter/perharinya.
Sayangnya, keberadaan kerang terancam oleh berbagai proyek pemerintah seperti jalan tol.
"Timbulsloko di Demak misalnya tertutup dengan jalan tol maka kerang tidak akan ada, sehingga budidaya kerang yang dilakukan oleh masyarakat pesisir akan berkurang,” kata Budi.
Sekretaris Deputi Jaringan dan Program KIARA, Erwin Suryana mengatakan, telah terjadi ketimpangan pangan laut yang didominasi oleh pasar dan korporasi besar.
"Pada Tahun 2008, sistem pangan kita runtuh akibat konflik kepentingan ini. Bahkan, hingga hari ini, nelayan kecil sering hanya menjadi objek politik, bukan aktor utama," katanya.
Ia menyebut, ada empat tantangan besar sistem pangan laut, seperti perebutan sumber daya laut oleh korporasi besar, praktik penangkapan ikan illegal dan tidak terlaporkan, perubahan iklim yang memicu hasil tangkapan dan kerusakan ekosistem, serta Ketidakadilan pasar yang berpihak pada eksportir besar, dan menekan nelayan tradisional.
Namun demikian, Erwin menekankan bahwa gerakan berbasis komunitas dapat menjadi solusi untuk memulihkan sistem pangan laut.
"Perempuan nelayan, misalnya, sering kali tidak diakui perannya. Padahal, mereka
memiliki kontribusi besar dalam pengolahan dan keberlanjutan sumber daya laut," ujarnya.
Kisah Warga Semarang Kini Gunakan Perahu untuk Transportasi, Motor, TV, Kulkas Tergenang Banjir |
![]() |
---|
Wali Kota Agustina Ungkap Penyebab Banjir di Wilayah Timur, Penanganan Jadi Program 100 Hari Kerja |
![]() |
---|
Kembali Hujan, Dewan Minta Pompa Disiagakan Antisipasi Banjir Lagi di Tlogosari Kulon Semarang |
![]() |
---|
Tanggul Sungai Plumbon Jebol 3 Kali Dalam Sepekan Februari, Dewan Desak Segera Dinormalisasi |
![]() |
---|
BPBD Kota Semarang Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Kudu Genuk |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.