Banjir Semarang
Pesisir Jateng Tenggelam, Solusi Pemerintah Dianggap Salah Kaprah
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut pesisir Jawa Tengah (Jateng) sudah berada di titik kritis.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut pesisir Jawa Tengah (Jateng) sudah berada di titik kritis.
Ancaman pesisir Jateng tenggelam bukan lagi sekadar kemungkinan, melainkan kepastian.
Setidaknya hal itu sudah terjadi di beberapa wilayah meliputi Timbulsloko, Bedono, dan Sriwulan di di Kabupaten Demak kini berubah menjadi rawa atau lautan.
Di Pekalongan, Desa Tirto dan Wonokerto tenggelam akibat abrasi yang semakin parah. Sementara di Brebes, Desa Pandan Sari menghadapi nasib serupa.
Tenggelamnya desa-desa ini sering kali mengambinghitamkan perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menilai dalam menghadapi persoalan tersebut sikap pemerintah malah menyodorkan solusi “maladaptasi,” yakni kebijakan yang tidak hanya gagal mengatasi masalah tetapi juga menciptakan masalah baru.
“Banjir rob kok solusinya tanggul laut, bukan mangrove? Solusi ini bukan hanya tidak
berbasis pengetahuan lokal, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat pesisir,”
katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribun, Sabtu (14/12/2024).
Pemerintah dalam menghadapi ancaman tenggelamnya pesisir dengan membangun tanggul laut tampak dilakukan di kota Semarang.
Tanggul ini berupa proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) yang disebut sebagai miniatur Giant Sea Wall di kawasan Pantai Pantura yang membabat hutan mangrove seluas 42,6 Ha.
Pembangunan tanggul tersebut dikhawatirkan akan memperparah kondisi di Demak dan daerah pesisir sekitarnya.
Air yang terhalang tanggul mengalir ke wilayah yang lebih rendah, menenggelamkan desa-desa tanpa pertimbangan dampak sosial dan ekologis.
"Selain itu proyek-proyek tersebut juga telah mengubah pola aliran air dan memusnahkan ekosistem mangrove yang sebelumnya melindungi pesisir," terangnya.
Ironisnya, proyek-proyek besar ini sering diklaim sebagai bentuk adaptasi perubahan
iklim. Padahal, proyek-proyek tersebut justru melayani kepentingan investasi, seperti
kawasan industri dan pelabuhan internasional.
“Menyelamatkan warga kota dengan mengorbankan desa-desa pesisir adalah kebijakan diskriminatif,” ungkap Pengacara publik di Bidang Lingkungan Agraria dan Pesisir dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Cornelius Gea, Sabtu (14/12/2024).
Kornel menyebut kerusakan pesisir di Jawa Tengah bukan semata-mata karena krisis iklim melainkan ada penyebab lokalnya.
Kisah Warga Semarang Kini Gunakan Perahu untuk Transportasi, Motor, TV, Kulkas Tergenang Banjir |
![]() |
---|
Wali Kota Agustina Ungkap Penyebab Banjir di Wilayah Timur, Penanganan Jadi Program 100 Hari Kerja |
![]() |
---|
Kembali Hujan, Dewan Minta Pompa Disiagakan Antisipasi Banjir Lagi di Tlogosari Kulon Semarang |
![]() |
---|
Tanggul Sungai Plumbon Jebol 3 Kali Dalam Sepekan Februari, Dewan Desak Segera Dinormalisasi |
![]() |
---|
BPBD Kota Semarang Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Kudu Genuk |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.