SPMB 2025
Sejumlah Siswa Difabel Mundur dari Jalur Afirmasi SPMB 2025, Pengamat: Orang Tua Khawatir
Sejumlah siswa penyandang disabilitas di Kota Semarang mundur dari Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 jalur afirmasi.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sejumlah siswa penyandang disabilitas di Kota Semarang mundur dari Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 jalur afirmasi.
Berdasarkan data ULD Pendidikan Dinas Pendidikan Kota Semarang, ada sebanyak 20 siswa penyandang disabilitas mengundurkan diri, terdiri atas 17 siswa SMP dan 3 siswa SD.
Pakar Pendidikan sekaligus Akademisi Universitas PGRI Semarang (Upgris), Dr Ngasbun Egar, S Pd, M Pd mengamati, masih banyak orang tua siswa penyandang disabilitas yang ragu untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah negeri.
Keraguan ini muncul karena mereka masih skeptis terhadap sejauh mana layanan yang diberikan oleh sekolah dianggap benar-benar inklusif.
"Mundurnya anak-anak itu karena kekhawatiran orang tuanya apakah nanti anak-anaknya di sekolah umum itu benar-benar sekolah inklusi. Dalam hal ini, (apakah) benar-benar mendapatkan layanan yang semestinya atau tidak,” jelasnya saat dihubungi Tribun Jateng, Senin (16/6/2025).
Lebih jauh, ia menjelaskan, permasalahan yang ada tidak hanya terfokus pada kesiapan fasilitas yang belum ramah bagi penyandang disabilitas, tetapi juga pada kompetensi para pendidik dalam memberikan pengajaran yang terbaik untuk siswa difabel.
Menurutnya, perlu ada jaminan di sekolah bahwa akan ada guru tertentu atau pihak tertentu yang memang memiliki keahlian yang berkaitan dengan merawat anak-anak penyandang disabilitas sesuai dengan bidangnya.
"Artinya apakah anak-anak itu difabelnya berkaitan dengan pendengaran atau penglihatan,” terangnya.
Di samping itu, keraguan yang dirasakan oleh orang tua siswa difabel juga dipengaruhi oleh suasana di sekolah, termasuk bagaimana sikap warga sekolah dalam menerima siswa difabel di lingkungan sekolah negeri.
"Kesiapan mereka untuk menerima, menghargai, dan memperlakukan siswa difabel dengan sewajarnya sangat penting. Namun, hal ini menunjukkan bahwa masih ada keraguan yang perlu diatasi," jelas Ngasbun.
Ngasbun lebih lanjut menekankan pentingnya sekolah yang berbasis inklusi untuk bersiap menerima anak-anak difabel dalam SPMB berikutnya.
Hal itu baik dari sisi peningkatan kualitas SDM; sarana dan prasarana; serta penciptaan suasana sekolah yang ramah difabel.
“Budaya yang bisa menghargai keberagaman, menghargai perbedaan. Kalau keyakinan saya dari sisi institusi sekolah dalam hal ini, kepala sekolah, para guru, para tenaga kependidikan,” ungkapnya.
Menurutnya, sebagian besar sekolah kini telah ditugasi untuk menjadi sekolah inklusi. Namun, tantangan yang dihadapi seringkali berasal dari keberagaman latar belakang siswa difabel, termasuk perbedaan dalam tingkat tumbuh kembang mereka.
"Misalnya, anak-anak di tingkat SD memiliki rentang usia yang cukup bervariasi, mulai dari sekitar 7-8 tahun di kelas 1 hingga mencapai 11 atau 12 tahun di kelas 6. Tentu saja, cara mereka bersikap akan berbeda-beda," jelasnya.
SDN Kranggan 1 Batang Tak Punya Siswa, Menunggu Merger Resmi dengan SDN Kranggan 2 |
![]() |
---|
94,1 Persen Siswa Miskin di Jateng Diterima SMA/SMK Negeri Maupun Kemitraan |
![]() |
---|
SPMB Telah Usai, 30 Sekolah di Kabupaten Purbalingga Masih Kekurangan Murid |
![]() |
---|
Kawal Ketat SPMB SMA/SMK Tahap Dua, Ombudsman Jateng: Pastikan Transparansi |
![]() |
---|
Kecanduan Game! 2 Siswa SMPN 1 Semarang Tak Naik Kelas Gara-gara Absen Ekstrem |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.