Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

PPDS Undip

"Jaga IGD 24 Jam Satu Orang" Kisah Dokter Deslia Ungkap Pola Kerja Tak Manusiawi di PPDS Undip

Kisah itu muncul saat para dokter yang pernah mengikuti program PPDS Undip dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Semarang.

|
Penulis: Val | Editor: rival al manaf
TRIBUN JATENG/RAHDYAN TRIJOKO PAMUNGKAS
PELIMPAHAN - Tiga tersangka kasus bullying dan pemerasan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip dilimpahkan ke Kejari Kota Semarang, Kamis (15/5/2025). Mereka pun terancam hukuman selama 9 tahun penjara. 

TRIBUNJATENG.COM - Sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan di program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap kisah tak manusiawi dalam pembagian jam kerja.

Kisah itu muncul saat para dokter yang pernah mengikuti program PPDS Undip dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu (18/6/2025). 

Salah satunya adalah Dokter Deslia, yang kini bertugas di sebuah rumah sakit di Surabaya, Jawa Timur, dihadirkan sebagai saksi karena pernah menjabat sebagai bendahara residen angkatan 72 di PPDS Undip. 

Baca juga: Peran Taufik Eko Nugroho Perintahkan Mahasiswa PPDS Sembunyikan Barang Bukti Dari Kemenkes

Baca juga: Sidang Kasus PPDS Anestesi Undip Perkuat Pungli Turun-Temurun Berkedok Biaya Operasional Pendidikan

Dalam persidangan, Deslia mengungkapkan mengenai hukuman berat yang diterima mahasiswa PPDS Undip ketika melakukan kesalahan.

"Di weekend ikut tim jaga," ujarnya. 

Dia menjelaskan bahwa fungsi tim jaga adalah untuk melakukan operasi darurat ketika ada pasien yang membutuhkan.

"Ada juga jaga IGD. Shift 24 jam satu orang. Semuanya 24 jam," tambahnya.

Saksi lainnya, dokter Herdaru, yang merupakan residen angkatan 77 dan rekan satu angkatan almarhumah dr. Aulia Risma, juga mengungkapkan keluhan serupa.

Ia mengaku frustrasi dengan pola jam kerja di PPDS Undip, khususnya di RSUP Kariadi.

"Waktu 24 jam terasa tak cukup. Membuat saya tertekan," ungkapnya.

Akibat padatnya jam kerja, Herdaru didiagnosa mengalami depresi oleh dokter.

Ia terpaksa mengambil cuti karena tidak mampu mengikuti jam kerja di PPDS Undip.

"Waktu semester satu, saya berangkat untuk mengikuti PPDS di RSUP Kariadi pukul 03.00 WIB dan pulang pukul 01.00 WIB.

Yang saya rasa karena kelelahan," lanjutnya.

Kasus ini mencuat setelah meninggalnya dokter Aulia Risma Lestari, yang memicu perhatian publik terhadap dugaan praktik perundungan dan pemerasan di lingkungan PPDS FK Undip.

Setelah insiden tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menghentikan sementara kegiatan praktik PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi, Semarang.

Baik FK Undip maupun pihak RSUP Kariadi telah mengakui adanya perundungan yang dialami oleh korban selama menjalani pendidikan.

Ibunda korban, Nuzmatun Malinah, telah melaporkan sejumlah senior ke Polda Jawa Tengah.

Dalam proses hukum yang berjalan, penyidik telah menetapkan tiga tersangka: Taufik Eko Nugroho (TEN), mantan Kaprodi PPDS Anestesiologi, Sri Maryani (SM), staf administrasi PPDS, dan Zara Yupita Azra (ZYA), dokter senior, yang akan dihadirkan sebagai terdakwa dalam sidang perdana.

Peran Taufik Eko Nugroho

SAKSI KASUS BOP - Saksi  Andriani, bendahara residen sekaligus rekan kerja dari Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang PPDS Undip di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (11/6/2025).
SAKSI KASUS BOP - Saksi Andriani, bendahara residen sekaligus rekan kerja dari Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang PPDS Undip di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (11/6/2025). (IST)

Sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan di program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap soal peran terdakwa Taufik Eko Nugroho dalam memerintahkan mahasiswa untuk menyembunyikan barang bukti.

Perintah itu dilontarkan Taufik selepas kasus kematian Aulia Risma Lestari mahasiswi PPDS Anestesi Undip angkatan 77 viral sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) turun tangan.

Fakta itu terungkap saat  saksi Herdaru menyatakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (18/6/2025). 

Herdaru merupakan teman satu angkatan Risma dalam program PPDS Undip yang masuk angkatan 77. 

"Ada perkataan itu dari Pak Taufik (memberikan alasan handphone hilang atau ganti) kalau ditanya dari tim Kemenkes," ujar Herdaru. 

Taufik saat memberikan intruksi tersebut berkapasitas sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip. 

Intruksi tersebut muncul karena ada beberapa mahasiswa PPDS Anestesi Undip ada yang sudah dimintai keterangan Kemenkes soal dugaan bullying yang menimpa Risma selama menjalani program PPDS Undip

"Seingat saya ada beberapa mahasiswa PPDS sudah dipanggil tapi belum semua. Intruksi (dari Taufik) itu keluar," beber Herdaru. 

Selain Herdaru, dalam sidang tersebut menghadirkan tiga teman satu angkatan lainnya dari Aulia Risma. Ketiganya meliputi Rian, Edo dan Sunu.

Dua dari tiga saksi tersebut juga membenarkan kondisi yang dialami oleh Herdaru.

"Iya, kami ketika itu dikumpulkan dokter Taufik, semua residen tempatnya di Fakultas kesehatan Undip, Tembalang, saya lupa tanggal dan bulannya tapi selepas surat keputusan Kemenkes (soal kasus Risma) keluar," terangnya.

Kendati ikut pertemuan itu, Edo tidak terlalu memahami intruksi dari Taufik.

Dia berdalih tidak terlalu memperhatikan.

Jaksa penuntut umum kemudian mengejar keterangan dari saksi Rian untuk memperjelas peran Taufik dalam rapat persiapan klarifikasi dari Kemenkes.

Rian membenarkan adanya arahan itu.

Namun, perintah detailnya tidak terlalu paham.

"Kalau adanya intruksi iya benar. Detailnya saya tidak terlalu paham," ungkap Rian.

Selepas keterangan dari para saksi, Majelis Hakim lantas mempertanyakan kepada Taufik menerima keterangan tersebut atau tidak.

"Saya tidak (keberatan) yang mulia," ucapnya ketika ditanyakan soal keberatan atau tidak soal keterangan itu.

Sidang menghadirkan pula dua terdakwa lainnya meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.  

Dalam sidang kali ini, para kolega dari ketiga terdakwa tampak banyak yang hadir.

Mereka tampak mengobrol dengan ketiga terdakwa.

Sebaliknya, dari pihak korban mendiang Aulia Risma hanya dihadiri oleh Ibunda Risma, Nuzmatun Malinah yang datang sendirian dari Tegal.

Dia tampak mencatat beberapa keterangan dari para saksi.

"Kalau statemen nanti ke pengacara kami ya," katanya seusai sidang. (Iwn)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved