Readers Note
Strategi Mengelola Batasan Diri untuk Generasi Sandwich
Tekanan untuk memenuhi ekspektasi semua pihak, serta rasa bersalah jika tidak mampu, bisa memicu stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.
Mengelola Batasan Diri untuk Generasi Sandwich
oleh Bernadetta Wulan Suryandari, Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
GENERASI Sandwich menggambarkan fenomena di mana seseorang "terjepit" di tengah, harus menopang ekonomi generasi di atasnya, dan anak-anaknya dalam waktu bersamaan. Dipopulerkan oleh prof Dorothy A. Miller tahun 1981, untuk menggambarkan individu dewasa yang berada di posisi unik. Menanggung finansial serta emosional dua hingga tiga generasi sekaligus, yakni orang tua dan anak-anak atau saudara yang masih bergantung di sisi lain (Miller, 1981; IAIN Kediri, 2024).
Menurut Cambridge Dictionary (2022), "sandwich generation" adalah sebutan yang digunakan untuk sekelompok orang yang memiliki orang tua yang sudah berumur dan juga anak-anak, sehingga mereka harus merawat anak-anak dan orang tua mereka sekaligus. Fenomena ini sekarang makin banyak.
Berdasar hasil survei Litbang tahun 2022 mengungkap bahwa 67 persen responden merasa menjadi bagian dari generasi sandwich. Kira-kira 56 juta orang di Indonesia merasakan tanggung jawab finansial ganda ini. Ada 73 % gen Z yang menjadi generasi sandwich merasa bersalah saat tak mampu penuhi kebutuhan keluarga (DataIndonesia.id, 2023), sebab tekanan finansial yang mereka hadapi sungguh besar.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, fenomena sandwich generation semakin banyak bahkan menjadi tren, salah satunya disebabkan oleh peningkatan harapan hidup dan tren penundaan pernikahan. Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo kala itu, memprediksi bahwa remaja saat ini akan menjadi generasi sandwich pada tahun 2035. Fenomena ini akan meningkat karena peningkatan harapan hidup dan perubahan dinamika keluarga.
Impian pribadi, seperti perkawinan yang tertunda atau rencana masa depan yang sudah disusun rapi, seringkali harus direvisi. Realitasnya, planning dan realisasi hidup tak sesuai ekspektasi yang pernah diangan-angankan, menciptakan dilema batin yang kompleks.
Beban Bertumpuk
Beban Generasi Sandwich jauh melampaui urusan materi. Mereka menghadapi beban psikologis dan mental yang bertumpuk. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi semua pihak, serta rasa bersalah jika tidak mampu, bisa memicu stres kronis, kecemasan, bahkan depresi. Mereka berjuang menyeimbangkan kebutuhan diri dengan tuntutan keluarga, seringkali dengan mengabaikan kesehatan mental sendiri.
Kondisi ini juga membuat tahapan kehidupan terasa tak sesuai dengan norma umum. Saat teman sebaya menikmati fase membangun keluarga atau meniti karier puncak, Generasi Sandwich mungkin masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar keluarga besar. Perasaan tertinggal, frustrasi, atau bahkan putus asa bisa menyelimuti mereka.
Mengapa fenomena Generasi Sandwich ini begitu membebani? Salah satu faktor utamanya adalah budaya kolektivisme dan nilai kekeluargaan yang begitu kuat di Indonesia. Membantu keluarga sering dianggap sebagai wujud bakti dan kasih sayang tak terbatas. Sayangnya, tanpa batasan yang jelas, kebaikan ini bisa berbalik menjadi beban. Harapan bahwa anak yang dianggap "mampu" harus menopang seluruh keluarga seringkali menjadi norma tak tertulis yang sulit ditolak.
Selain itu, minimnya literasi finansial dan perencanaan masa depan yang kurang optimal di generasi sebelumnya turut berperan besar. Banyak orang tua yang tidak memiliki persiapan pensiun yang memadai, sehingga tanggung jawab finansial otomatis beralih ke pundak anak-anak. Ditambah lagi, biaya hidup yang terus melonjak dan inflasi yang menggerogoti daya beli, membuat tekanan ekonomi semakin mencekik.
Kurang Terbuka
Faktor lain adalah kurangnya komunikasi terbuka dan penetapan batasan yang sehat dalam keluarga. Seringkali, Generasi Sandwich merasa sungkan atau takut untuk menolak permintaan, khawatir dicap durhaka atau tidak berbakti. Sikap ini justru memperparah beban yang mereka pikul sendirian, karena ekspektasi keluarga tidak pernah dikelola.
Lalu, bagaimana Generasi Sandwich bisa tetap aman secara mental di tengah "jebakan kasih sayang" ini? Jawabannya terletak pada kemampuan untuk mengelola batasan diri (boundaries) secara sehat dan bijaksana. Ini bukan berarti Anda menjadi egois, melainkan menjaga diri agar bisa terus memberi tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan masa depan pribadi.
Pertama, identifikasi batasan personal Anda dengan jujur. Kenali kapasitas finansial, energi, dan emosional Anda. Sampai batas mana Anda bisa membantu tanpa merasa terkuras habis. Di mana garis merah yang tidak boleh dilewati. Jujur pada diri sendiri adalah langkah awal yang krusial.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.