UIN SAIZU Purwokerto
Tambang dan Ekonomi Syariah: Membedah Kutukan atau Berkah?
Isu tambang tak pernah sederhana. Di satu sisi, bumi Indonesia diberkahi cadangan nikel, batubara, emas, dan migas yang melimpah
Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E.
UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
Isu tambang tak pernah sederhana. Di satu sisi, bumi Indonesia diberkahi cadangan nikel, batubara, emas, dan migas yang melimpah. Namun, apakah kekayaan ini benar-benar membuat negeri ini kaya? Atau justru menjadi sumber malapetaka sosial, lingkungan, dan ekonomi?
Ada dua kutub dalam literatur ekonomi pembangunan. Pertama, kutub pesimistik yang memandang tambang sebagai kutukan sumber daya (resource curse). Ini didukung oleh riset-riset serius dari Nankani (1979), Corden & Neary (1982), Gelb (1988), hingga Sachs & Warner (1995–2001).
Mereka menyebutkan tiga saluran kutukan: ekonomi yang malas dan konsumtif, politik yang korup dan otoriter, serta sosial yang lumpuh karena rendahnya investasi pada modal manusia.
Sebaliknya, kutub optimistik menunjukkan bahwa tambang bisa menjadi berkah jika tata kelolanya benar. Norwegia, Chile, Botswana, dan Kanada adalah contoh keberhasilan. Mereka membuktikan bahwa institusi yang kuat adalah kunci. Inilah pesan utama dari Daron Acemoglu dan James Robinson: "Institutions matter."
Kritik Syariah terhadap Ekonomi Tambang
Dalam perspektif ekonomi syariah, keberadaan sumber daya alam (al-ma’adin) bukan sekadar komoditas pasar. Ia adalah amanah Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hadid [57]:7:
"Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya (sebagai khalifah)...”
Sumber daya alam bukan milik individu, bukan pula milik swasta, tetapi milik kolektif umat (milkiyyah 'ammah).
Maka, eksploitasi tambang harus memenuhi prinsip:
• Maslahah ‘ammah (kepentingan umum),
• ‘Adalah (keadilan distribusi),
• Tawazun (keseimbangan ekologis),
• Amanah (tata kelola yang akuntabel),
• Ihsan (etika sosial).
Sayangnya, banyak praktik tambang minerba (mineral dan batubara) di Indonesia justru bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Kawasan hutan rusak, warga tergusur, desa kehilangan sumber air, sementara yang kaya adalah elit tambang dan pemodal besar.
Apalagi ketika tambang menjadi instrumen oligarki, di mana pemilik tambang membiayai politik lalu mengatur kebijakan. Ini menimbulkan apa yang disebut dalam maqashid syariah sebagai mafāsid (kerusakan besar).
Model Syariah: Transformasi dari Ekstraktif ke Produktif
Ekonomi syariah bukan anti-tambang. Namun, ekonomi syariah menolak model keruk-jual yang rakus dan merusak. Apa yang ditawarkan ekonomi syariah?
a. Kepemilikan Negara dan Pengelolaan Publik
Menurut Imam Abu Ubaid dan juga Ibnu Taimiyah, tambang berskala besar adalah milik negara yang tidak boleh diprivatisasi. Maka, model seperti Freeport, yang dikuasai asing selama puluhan tahun, bertentangan dengan maqashid syariah. Negara harus menjadi pemegang kendali penuh. Dalam konteks modern, ini berarti BUMN atau lembaga publik yang profesional dan bebas korupsi.
| Rakor Humas PTKIN 2025 Digelar di Tengah AICIS: Momentum Penguatan Citra Kampus Islam |
|
|---|
| Dosen FEBI UIN Saizu Angkat Isu Krisis Lingkungan di Forum ICNARA 2025 |
|
|---|
| Perkuat Semangat Intelektual dan Pelestarian Sejarah, HMPS SPI UIN Saizu gelar Pekan Sejarah 2025 |
|
|---|
| Dosen UIN Saizu Tampil di AICIS 2025, Usung Konsep Parenting Ekoteologis |
|
|---|
| Rektor UIN Saizu Teken Kerjasama Sinergis terkait Bahasa dan Kebudayaan Nasional |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.