TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di Kota Semarang, pada sepekan ini mencuat dua kasus kekerasan terhadap anak yang berujung kematian.
Kasus pertama menimpa anak usia 5 tahun dibunuh oleh pacar ibunya, lalu mayatnya dibuang di bawah jembatan jembatan Tol Semarang – Ungaran KM 425, Pudak Payung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.
Kedua, bocah 8 tahun berinisial NPK yang tewas diperkosa ayah kandungnya saat sedang sakit demam.
Baca juga: Event Seni Budaya Bisa Digelar di Semarang, Syarat 30 Persen Peserta Sudah Vaksin Booster
Baca juga: Kado Dies Natalis UIN Walisongo Semarang, Jurnal Psikohumaniora Terindeks Scopus
Baca juga: USM Semarang Gandeng RS Bhayangkara Adakan Vaksinasi Booster
Baca juga: DPRD Kota Semarang Soroti Masih Banyaknya Kursi Kosong di Pemkot, Liluk: Tolong Segera Diisi
Dua kasus tragis itu memantik perhatian masyarakat.
Tak sedikit yang bertanya bagaimana psikologi para pelaku hingga tega berbuat sebejat itu.
"Dua pelaku itu memiliki pribadi menyimpang, pribadi yang sakit," tegas Psikolog Semarang, Probowatie Tjondronegoro kepada Tribunjateng.com, Selasa (22/3/2022).
Psikolog yang biasa disapa Bu Probo itu menegaskan, jangan sampai alasan psikologi pelaku jadi memperingan hukum.
Artinya, apapun alasan pelaku baik khilaf atau entah apa itu, hukum harus ditegakkan.
"Jangan sampai hukum lemah terhadap para pelaku kekerasan terutama terhadap anak," paparnya.
Para korban kekerasan anak akan mengalami trauma panjang.
Probo menyebut, telah menerima banyak kasus korban kekerasan, baik fisik maupun seksual yang konsultasi kepadanya.
Ia tak menyebut secara rinci berapa pasiennya, hanya saja dampak para korban sangat luar biasa.
Dosen Psikologi di Universitas Semarang (USM) ini mencontohkan, belum lama ini menerima pasien yang berkonsultasi tentang trauma masa kecilnya.
Pasien itu diperkosa kakeknya pada waktu SMP.
Namun kala itu dia tak sadar bahwa apa yang dilakukan kakeknya adalah pemerkosaan.
Waktu itu, korban tak berani bercerita.
Korban juga mempertanyakan peran orangtua.
"Korban saat ini berusia 40 tahun, ia trauma sekali," jelasnya.
Kini trauma yang dialami korban seperti akan mengalami emosi yang tak stabil meskipun hanya disentuh.
"Secara alam bawah sadar, korban marah, mengapa saat kecil tak ada orang yang melindunginya termasuk orangtuanya," paparnya.
Probo menambahkan, peran orangtua sangat diperlukan dalam pencegahan kekerasan terhadap anak.
Orangtua harus waspada sekaligus memberikan edukasi terhadap anak.
"Ibu juga harus memberikan edukasi seksual kepada anaknya."
"Diberikan pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik, tapi jangan menakuti," tuturnya.
Sementara itu, berdasarkan data DP3A Kota Semarang, Januari hingga Maret 2022 ini korban kekerasan berdasarkan kelompok usia didominasi oleh usia anak-anak.
Dari total 42 kasus, ada 12 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 6–12 tahun dan 15 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 13–18 tahun.
Berdasarkan pendidikan, dari total 42 kasus kekerasan, korban kekerasan mayoritas duduk di bangku SD dan SMP.
Sebanyak 14 korban adalah siswa SD dan 9 korban adalah siswa SMP. (*)
Baca juga: Terminal Kota Pekalongan Hapus Syarat Tes PCR, Penumpang Cukup Berikan Bukti Sudah Vaksin
Baca juga: 1.270 Knalpot Brong Dimusnahkan, Kapolres Salatiga: Si Pemilik Kami Jerat UU Lalu Lintas
Baca juga: Kamu Bisa Gunakan Jalur Alternatif Ini, Biar Tidak Terjebak Macet di Pantura Pati-Rembang
Baca juga: Kok Cuma Dua Tersangka, Satunya Lagi Mana? Update Kasus Perdagangan Anak di Tegal, Ini Kata Kejari