Untuk wilayah pedesaan hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Namun, pengembangan di desa biasanya terkendala dengan biaya pembangunan instalasi biogas.
Menurutnya, warga desa akan lebih memilih membeli anakan sapi daripada berinvestasi membangun instalasi sumur biogas di angka Rp7 jutaan.
"Nah peran pemerintah perlu ada kucuran bantuan tak perlu 100 persen bisa 50 persen atau 70 persen," katanya kepada Tribun, Selasa (15/8/2023).
Wilayah perkotaan, lanjut dia, bisa dikembangkan biogas komunal semisal Stasiun Tawang Semarang melakukan terobosan menggarap biogas melalui fasilitas toilet umum.
Dapat pula dilakukan di pondok pesantren, sekolah, dan tempat komunal lainnya.
"Di area perkotaan memang butuh melakukan terobosan itu sebagai upaya pengelolaan waste to energy," paparnya.
Pemerintah dalam mengerjakan biogas perlu menggandeng pihak lainnya seperti perusahaan yang bergelut di bidang tersebut. Contohnya, perusahaan pengolahan susu maka perlu didorong untuk mengelontorkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) ke sektor pengembangan biogas.
"Nah jadi sejalan antara pemerintah masyarakat dan pengusaha. Apalagi potensi biogas di Jateng cukup besar," bebernya.
Pengembangan biogas supaya lebih menarik perlu juga dikembangkan pada sektor pemanfaatan seperti biogas untuk listrik. Sektor pemanfaatan ini perlu sentuhan tambahan dari perguruan tinggi, akademisi dan ahli. "Biogas untuk memasak itu mudah, akan tetapi untuk listrik belum banyak," katanya.
Selain itu, pemerintah ketika hendak memberikan bantuan pembangunan biogas harus memastikan bukan peternak musiman.
"Peternak yang diberikan bantuan harus peternak yang memang memiliki jangka panjang," jelasnya.
Manager Program Sustainable Energy Access dari lembaga Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum mengatakan, jika menilik dari kegiatan usaha peternakan, pembuatan makanan yang limbahnya memiliki potensi biogas seperti tahu dan tempe, beberapa kabupaten di Jawa Tengah bisa menjadi lokus pengembangan biogas khususnya yang memiliki banyak sektor usaha tersebut.
Pemilik ternak atau usaha rumahan dapat mengupayakan secara mandiri, biasanya perlu melihat contoh yang berhasil, mengetahui teknisnya, dan teryakinkan dengan manfaat yang bisa dicapai.
"Individu yakni dalam skala rumahan juga dapat memanfaatkan limbah organik dari sisa sayur, buah, makanan untuk biogas dengan biogas mini rumahan," paparnya.
Citra menjelaskan, penyediaan teknologi digester saat ini juga cukup terbuka, karena tidak perlu "alat” khusus melainkan desain tangki dan perpipaan yang sesuai, jadi bisa dilakukan secara mandiri.
Pembangunannya juga bisa dilakukan gotong royong atau komunal. "Lembaga pembiayaan bisa membantu percepatannya dengan menyediakan skema pembiayaan ringan atau khusus sehingga lebih mudah diakses masyarakat," cetusnya.
Khusus biogas kotoran ternak, lanjut Citra, pemanfaatan biogas jenis tersebut sama halnya seperti energi dari bahan bakar lain, bahan baku diperlukan terus menerus untuk memastikan sumber energi (berupa gas) dihasilkan secara kontinyu.
Di kasus digester dari kotoran ternak, feed kotoran ternak harus masuk dalam digester dalam jumlah tertentu dan terus menerus dalam periode tertentu.
Biogas kotoran sapi, misalnya, baru dihasilkan di hari ke 7-9, bahkan lebih lama setelah dimasukkan proses penguraian menjadi biogas.
"Beberapa penelitian menemukan bahwa 1 kg kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 40 liter biogas dalam kondisi ideal," terangnya.
Untuk memastikan volume dan tekanan gas yang stabil, digester perlu dirancang dengan perhitungan yang matang – termasuk kapan feed dimasukkan, berapa kg feed yang diperlukan, ukuran digester yang tepat.
Kemudian panjang perpipaan menuju ke kompor/aliran listrik, dan seterusnya. Salah satu atau lebih faktor ini mempengaruhi keberhasilan biogas.
Jika ternak yang dimiliki sedikit, memang disarankan menggunakan digester komunal sehingga feed yang diperlukan bisa dipenuhi.
"Sewaktu biogas hendak ditingkatkan secara masif, penggunaan komunal mulai dari 1-3 rumah sampai puluhan rumah dapat didorong, dan ini memerlukan kelembagaan yang baik pengelolaan, operasional, pembiayaan," katanya.
Citra dalam studi IESR melalui buku Akses Energi Bersih dan Pengaruhnya pada Kewirausahaan Perempuan (2018) mengungkapkan, penggunaan biogas menciptakan lingkungan memasak yang nyaman dan bersih bagi perempuan.
Selain itu, biogas yang menghasilkan bioslurry dapat dimanfaatkan oleh para petani untuk menyuburkan tanah mereka menjadi lebih gembur dan mereka dapat mengurangi pembelian pupuk kimia.
"Penggunaan biogas tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan, namun juga mendorong terjadinya proses transformasi sosial, termasuk upaya untuk menguatkan kapasitas dan hak kelompok perempuan," tulisnya dalam studi tersebut.
Kendati banyak manfaat, pembuatan biogas sebagai energi alternatif perlu adanya subsidi untuk pembangunan digester. Meskipun memberikan manfaat yang besar, digester biogas bukanlah teknologi yang murah.
Dijelaskan Citra , salah satu program pengembangan biogas dengan pendekatan lebih sesuai yakni program Biogas Rumah (BIRU). Biogas Rumah (BIRU) menggunakan pendekatan bisnis (bukan gratis).
Harga sebuah digester dengan ukuran menengah relatif cukup mahal bagi masyarakat perdesaan, yaitu sekitar Rp7 juta.
Untuk mendorong masyarakat menggunakan digester, BIRU bekerja sama dengan lembaga perbankan dan lembaga keuangan mikro untuk penyediaan pinjaman. Program ini juga memberikan subsidi sebesar 20 persen.
Dinukil dari laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) menyebut,Kementerian ESDM Hivos dari pemerintah Belanda melakukan kerjasama Program BIRU Pengembangan biogas rumah ini merupakan salah satu dari program pengembangan bioenergi yang berkontribusi pada pencapaian penyediaan EBT 23 persen pada tahun 2025.
Sampai dengan tahun 2021, Program BIRU telah memfasilitasi terbangunnya 25.157 unit biodigester dan telah memobilisasi pendanaan sebesar lebih dari Rp 200 milyar.
Program itu telah menyumbang lebih dari 50 persen unit terpasang biodigester di Indonesia. Total hingga 2021 terdapat 47.998 unit biodigester terpasang secara nasional.
"Pendekatan BIRU dinilai lebih menciptakan pasar teknologi bersih yang berkelanjutan dan membantu masyarakat yang kurang mampu untuk menggunakan biogas," tulisnya. (Iwn)