Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Salatiga

Refleksi Diri Lewat Wayangan Kamis Legi, Dance Ishak Palit Ajak Anak-anak di Rumah Rakyat Salatiga

Bagi Dance Ishak Palit, “Wayangan Kamis Leginan” bukan sekadar hiburan momentum spiritual dan kultural, sekaligus pelestarian budaya lokal.

Dok DPRD Kota Salatiga/istimewa
WAYANG KAMIS LEGINAN - Ketua DPRD Kota Salatiga, Dance Ishak Palit, menyampaikan sambutan dalam acara Wayang Kamis Leginan di Pendopo Bung Karno, kompleks Gedung DPRD Kota Salatiga, Jalan Sukowati No. 51, Kalicacing, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Wayang Kamis Leginan bukan sekadar hiburan, melainkan ruang refleksi diri dan pelestarian budaya Jawa yang melibatkan anak-anak sebagai dalang, sinden, dan pengrawit di Rumah Rakyat Salatiga. 

TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA - Suasana di Pendopo Bung Karno, kompleks Gedung DPRD Kota Salatiga, selalu terasa istimewa setiap kali malam Kamis Legi tiba.

Dari kejauhan, terdengar lantunan gamelan yang berpadu dengan suara dalang cilik yang penuh semangat. 

Lampu-lampu kuning menyoroti panggung sederhana, di mana wayang kulit menari di balik kelir putih.

Baca juga: Pagelaran Wayang Kulit Meriahkan HUT ke-14 NasDem di Kebumen

Suasana penuh rasa syukur dan kebersamaan itu menjadi pemandangan rutin setiap weton milik Ketua DPRD Kota Salatiga, Dance Ishak Palit.

Bagi Dance, “Wayangan Kamis Leginan” bukan sekadar hiburan.

Dia menjadikannya momentum spiritual dan kultural, refleksi diri, sekaligus bentuk nyata dukungan terhadap pelestarian budaya lokal.

“Setiap weton saya, digelar pentas budaya wayang di pendopo DPRD Kota Salatiga. Weton saya Kamis Legi dan memeringati weton saya. Menurut saya, dengan memahami diri kita, menjadi refleksi dari mana kita berasal,” kata Dance.

Weton Sebagai Cermin Diri

Dance percaya, memahami weton bukanlah hal mistik, melainkan bentuk kesadaran diri. Dia menyebutnya sebagai refleksi spiritual yang membumi.
“Dengan mengetahui weton kita, artinya memahami diri sendiri, apa yang harus kita lakukan ke depan, agar bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.

Bagi pria kelahiran Luwuk, Sulawesi Tengah, yang telah lama menetap di Salatiga tersebut, pelestarian budaya Jawa justru menjadi wujud penghormatan terhadap nilai-nilai luhur tempat ia mengabdi. Dia ingin rakyat melihat bahwa kebudayaan lokal bisa menjadi jalan untuk membangun karakter, kebersamaan, dan kebanggaan identitas.

Dalam tradisi Jawa, istilah “Wiyosan” bermakna kelahiran atau keluarnya seseorang ke dunia, simbol dari awal kehidupan. Dance menjadikan Wiyosan sebagai filosofi yang menjiwai setiap pagelaran wayang yang ia adakan. 

Dia ingin setiap acara menjadi perayaan kehidupan, perenungan diri, dan ungkapan syukur. “Kita diingatkan untuk tetap rendah hati, mengenal diri, dan mengingat asal-usul kita,” pungkas dia.

Ruang Anak Belajar

Pentas budaya yang dia gagas bukan sekadar acara seremonial pejabat. Dalam setiap gelaran Wayangan Kamis Legen, Dance memberi ruang istimewa bagi anak-anak dan remaja untuk tampil.
“Dalang yang saya tampilkan adalah anak-anak. Kita berharap bahwa generasi muda mulai kita latih untuk berbudaya, maka pengrawit dan sindennya juga anak-anak,” ungkap Dance.

Pada Juli dan Agustus lalu, pentas ini telah digelar hingga lima kali. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved