Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Inspirasi

Tebar Kepedulian ke Penjuru Negeri, Kisah Semangat Hanna Penyintas Alopesia yang Tak Pernah Rontok

Prognosis dokter pada 17 tahun silam itu, masih teringat jelas dalam benak Hanna Nugrahani Setiyabudi (34).

|
istimewa
BERKUMPUL- Hanna Nugrahani Setiyabudi (kaos putih) saat berkumpul dengan anggota Komunitas Alopecia Friends for Indonesia (AFFI). 

"Dia mensupport saya, Hanna kamu keluar rumah saja tidak usah pakai wig. Nanti akan terbentuk komunitas, akan ada orang-orang yang reach up kamu dan menyampaikan mereka juga mengalami alopesia," kenang Hanna.

Saat itu, Hanna masih aktif sebagai guru di Surabaya, sehingga dia merasa tidak mungkin berinteraksi dengan murid dan wali murid tanpa wig.

Dia lalu memutuskan untuk memfoto diri tanpa wig dan mempublikasikan di sosial media Alopecia Friends dan fanpage Facebook. 

Dari situlah beberapa penyintas alopesia di Indonesia mulai menghubungi, pertama empat orang lalu menjadi delapan orang. 

"Kami lalu menjadi dekat. Akhirnya di tiap tahun di bulan september, saya bersama teman-teman melakukan kampanye dengan kegiatan Alopecia Awarennes Month. Kami berbagi semangat karena ada banyak orang yang belum berani speak up kondisi mereka," jelasnya. 

Tebar Semangat dan Saling Menguatkan

Sesuai arti namanya, Hanna menjadi 'Anugerah' bagi teman-teman penyintas alopesia di berbagai penjuru Indonesia. 

Komunitas AFFI merupakan yang pertama ada di Indonesia, saat ini telah memiliki sebanyak 93 anggota yang tergabung di dalam grup. 

Mereka ada yang dari Medan, Jambi, Lampung, Jakarta, Semarang, Magelang, Jogja, Surabaya, Bali, Manado, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Di luar grup juga masih banyak sekali. Banyak yang sukanya langsung mengobrol dengan saya dan mendiskusikan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi," ungkap Hanna yang juga dosen tidak tetap di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah. 

Bagi Hanna, mengobrol dan bertemu dengan sesama penyintas alopesia merupakan momen paling berkesan.

Setelah dia mempublikasikan diri lalu ada penyintas yang menghubunginya, hal itu menjadi semangat baru.

Pikirannya yang menyebut dia satu-satunya penyintas ternyata salah. 

"Satu demi satu orang bilang, Kak Hanna atau Mba Hanna, aku juga alopesia. Di situ saya punya semangat baru bahwa yang penting saya bisa berguna untuk orang lain," katanya. 

Hanna bersyukur, komunitasnya mendapatkan dukungan dari dokter dan psikolog untuk dapat bertukar pandangan dan saling mengedukasi. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved