Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Inspirasi

Tebar Kepedulian ke Penjuru Negeri, Kisah Semangat Hanna Penyintas Alopesia yang Tak Pernah Rontok

Prognosis dokter pada 17 tahun silam itu, masih teringat jelas dalam benak Hanna Nugrahani Setiyabudi (34).

|
istimewa
BERKUMPUL- Hanna Nugrahani Setiyabudi (kaos putih) saat berkumpul dengan anggota Komunitas Alopecia Friends for Indonesia (AFFI). 

Berbagai kegiatan seperti webinar sering diadakan untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit alopesia.

Hal ini penting karena penyintas alopesia banyak yang tertekan dan kebingungan dengan penampilan yang tiba-tiba berubah.

"Inilah fungsi komunitas ini. Jadi kami bukan komunitas yang mencari anggota banyak, tidak. Kami membentuk komunitas sederhana untuk merangkul orang-orang dengan kondisi alopesia agar tidak merasa sendiri dan mau berjuang lagi untuk melakukan pengobatan," jelasnya. 

Penyintas alopesia sekaligus anggota Komunitas AFFI dari Tangerang, Denny Agustina Munthe mengungkapkan, dia begitu bahagia bisa kenal dengan Hanna dan Komunitas AFFI. 

Menurutnya, keberadaan Hanna sangat memotivasi bagi penyintas alopesia.

Sosoknya sering menyemangati agar tidak menyerah.

"Mom Hanna dia open banget. Sering ajak dokter-dokter untuk menjadi narasumber online, bikin live streaming Instagram supaya kita bisa tanya-tanya," katanya. 

Semakin Eksis dengan SATU Indonesia Awards

Di tahun 2022, Hanna melalui kiprahnya yang menyebarkan dampak positif dalam Komunitas AFFI meraih penghargaan SATU Indonesia Awards dalam bidang kesehatan.

Penghargaan itu membuat Komunitas AFFI semakin dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia. 

Komunitas AFFI semakin bersemangat untuk memberikan informasi dan edukasi medis dengan memberikan support secara emosional dan psikologis. 

"SATU Indonesia Awards ini cukup baik. Ini satu bukti Komunitas AFFI sudah sukses dalam kampanye karena mendapat ekspos," ungkap Hanna.

Hanna menjelaskan, Komunitas AFFI saat ini tengah memperjuangkan agar penyintas alopesia bisa berobat dengan BPJS Kesehatan. 

Selama ini menurutnya, kerontokan rambut yang diderita oleh para penyintas dianggap penyakit estetika.

Sehingga obat untuk autoimun yang bernama Baricinitib belum tercover oleh BPJS Kesehatan. 

"Harapannya ketika kita melakukan kampanye seperti ini bersama tim dokter didukung dengan berbagai penelitian, kita bisa membantu penyintas alopesia yang ingin berobat mendapatkan pengobatan gratis dari BPJS Kesehatan," jelasnya. 

Dukungan dari Dokter Spesialis 

Dua tahun terakhir, Komunitas AFFI mendapatkan dukungan dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ada dua dokter spesialis kulit dan kelamin yang mendampingi Komunitas AFFI, yaitu dr Tuntas Rayinda dan dr Hafis Widakdo Sugiarto.

Dokter Tuntas Rayinda mengungkapkan, alopesia ini merupakan istilah medis yang secara umum digunakan untuk penyandang penyakit rambut yang rontok. 

Penyebabnya beragam, bisa autoimun atau hormonal, tetapi untuk alopecia areata kondisinya disebabkan oleh autoimun yang menyerang perisikel rambut.

"Kerontokan rambut sehelai per hari bisa dikatakan normal. Namun ada kondisi tertentu yang harus dicek secara pasti di ahlinya, jika kerontokannya banyak sekali secara mendadak," ujarnya dalam sebuah diskusi online di live Instagram bersama Komunitas AFFI, pada September 2025, lalu.

Tuntas mengatakan, ada sebagian penyintas alopesia yang menjadi minder, stres dan mudah cemas akibat kerontokan yang terjadi secara tiba-tiba.

Menurutnya, yang paling penting adalah semua perlu menghapus stigma.

Masyarakat perlu mengetahui, jika penyakit alopesia ini merupakan kondisi kesehatan pada rambut dan berdampak pada psikologis pasien.

Penyakit ini tidak menular dan penyintasnya perlu dukungan. 

"Kita perlu berikan empati dan dukungan, dari lingkungan keluarga, sekolah, dan tempat kerja, ini sangat penting untuk manajemen psikologis pasien alopesia," ungkapnya. 

Tuntas juga berpesan, penyintas alopesia untuk tidak merasa sendiri dan menstigma diri sendiri. 

Ada satu penelitian terbaru yang mengungkapkan kualitas hidup pasien alopesia bukan dari tingkat keparahannya, tetapi dari stigma yang menyalahkan diri sendiri. 

"Jadi kita hentikan stigmatisasi, baik dari masyarakat ataupun pribadi. Hal ini perlu dilakukan agar penyintas alopesia bisa menumbuhkan semangat dan memperbaiki kualitas hidupnya," pesannya. (fba)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved