UIN SAIZU Purwokerto
Pemuda Bergerak, Indonesia Berakar: Membaca Asta Protas sebagai Manifesto Kebudayaan
Berikut opini Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora UIN SAIZU Purwokerto.
Penulis: Laili Shofiyah | Editor: M Zainal Arifin
Digitalisasi dan Akses Budaya
Transformasi digital di tubuh Kementerian Agama juga bukan hanya soal efisiensi birokrasi. Di era ketika layanan publik yang adil dan mudah diakses menjadi ukuran kepercayaan warga terhadap negara, digitalisasi adalah jembatan budaya baru.
Ketika umat dari pelosok bisa mengakses layanan KUA, beasiswa, hingga literasi kitab suci dalam format ramah disabilitas, negara sedang menciptakan ruang budaya yang setara.
Demokratisasi akses ini adalah bentuk baru dari kerja kebudayaan karena ia menciptakan rasa memiliki, rasa dihargai, dan rasa terhubung dengan sesama warga. Dalam ruang digital yang terlalu sering jadi tempat ujaran kebencian dan hoaks, hadirnya narasi keberagaman dan pelayanan berbasis nilai justru menjadi oasis kultural yang membangun.
Baca juga: Workshop Membatik UIN Saizu, Mahasiswa SPI Lestarikan Batik Banyumas sebagai Warisan Budaya
Pemuda sebagai Penggerak Kultural
Akhirnya, tak mungkin membicarakan kebudayaan tanpa melibatkan pemuda. Program-program Kemenag seperti Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Akminas) dan pelatihan dai muda lintas iman menempatkan pemuda sebagai aktor utama dalam membumikan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan gotong royong.
Di tangan para pemuda itulah semangat Sumpah Pemuda hari ini menemukan bentuk baru: bukan lagi melalui rapat organisasi di Jalan Kramat, tapi lewat kerja kolaboratif di desa, pesantren, media sosial, hingga forum lintas agama.
Mereka tidak hanya bergerak, tapi juga mengakar pada nilai, pada komunitas, pada sejarah bangsa. Dan ketika pemuda bergerak dengan kesadaran budaya, Indonesia pun tak hanya berjalan maju, tapi juga tumbuh kuat dari akar. (***)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.