UIN SAIZU Purwokerto
Budayawan Ahmad Tohari Hadir di UIN Saizu, Bahas Kemanusiaan dalam Sejarah dan Politik Indonesia
UIN Saizu menggelar Seminar Nasional bertajuk “Mengungkap Jejak Luka Bersama dan Nilai Kemanusiaan dalam Perjalanan Politik Indonesia”.
Penulis: Laili Shofiyah | Editor: M Zainal Arifin
TRIBUNJATENG.COM - Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Islam (HKI) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto menggelar Seminar Nasional bertajuk “Mengungkap Jejak Luka Bersama dan Nilai Kemanusiaan dalam Perjalanan Politik Indonesia”, di Hall Perpustakaan UIN Saizu, pada Selasa (28/10/2025).
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber berpengaruh, yaitu Ahmad Tohari, sastrawan dan budayawan asal Banyumas, serta M. Wildan Humaidi, pakar Hukum Tata Negara.
Acara turut dihadiri oleh Wakil Dekan III Fakultas Syariah Prof. Hariyanto, serta Koordinator Program Studi HKI Arini Rufaida, dan diikuti oleh peserta dari dalam maupun luar UIN Saizu.
Dalam pemaparannya, Ahmad Tohari menyoroti isu politik dan kemanusiaan dari perspektif kultural dan historis lokal Banyumas.
Ia mengajak peserta untuk memahami dinamika politik Indonesia tidak hanya dari sudut pandang kekuasaan, tetapi juga dari nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan lokal.
“Luka sejarah bangsa ini tidak bisa hanya dibaca melalui catatan politik, tapi juga lewat hati nurani manusia,” ujar pengarang Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Baca juga: UIN Saizu Gelar Upacara Sumpah Pemuda ke-97, Rektor Ajak Sivitas Akademika Jaga Api Perjuangan
Sementara itu, M. Wildan Humaidi membedah sejarah politik Indonesia sebagai perjalanan yang penuh dengan paradoks antara idealisme demokrasi dan praktik kekuasaan.
“Demokrasi kita sering tampak hidup di permukaan, tapi lemah dalam substansi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti fenomena politik kontemporer pasca Pemilu Presiden 2024, di mana Prabowo Subianto berhasil meraih 71 persen suara dari Generasi Z — kelompok usia yang seharusnya paling progresif.
Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya fenomena “complacent democrats,” yakni generasi muda yang puas secara simbolik terhadap demokrasi, namun kurang kritis terhadap pelemahan institusi seperti KPK, pembatasan kebebasan sipil, dan dominasi oligarki media.
“Mereka puas secara simbolik, tapi kurang peka terhadap praktik demokrasi. Demokrasi yang tidak dikawal kritik akan kehilangan ruhnya,” tegas Wildan.
Ia menutup pemaparannya dengan pesan reflektif yang menggugah:
“Keadilan tidak datang dengan kesabaran, tapi dengan keberanian. Demokrasi tidak hidup dengan pidato, tapi dengan perlawanan. Dan HAM tidak tumbuh di ruang seminar, tapi di hati yang menolak tunduk pada ketakutan.”
Baca juga: Workshop Membatik UIN Saizu, Mahasiswa SPI Lestarikan Batik Banyumas sebagai Warisan Budaya
Sesi tanya jawab berlangsung interaktif. Para peserta antusias mengajukan pertanyaan terkait dinamika politik, kepartaian, serta refleksi nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa.
Menariknya, di akhir acara, seluruh peserta diajak menyanyikan lagu “Bangun Pemudi Pemuda” bersama, sebagai bentuk refleksi semangat Sumpah Pemuda yang diperingati pada hari yang sama, 28 Oktober.
Momen tersebut menambah suasana khidmat sekaligus menguatkan pesan moral seminar bahwa pemuda harus menjadi garda depan dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kampus Desa Mendunia !
#UINSaizu #HukumKeluargaIslam #AhmadTohari #PolitikIndonesia #SumpahPemuda (Laili S/***)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.