UIN SAIZU Purwokerto
Ketika Kasih Sayang Kitab Kuning Menjelma Jadi Regulasi Kemenag
Program Pesantren Ramah Anak (PRA) yang diinisiasi Kementerian Agama RI sering dipahami sebagai langkah modern untuk menjawab problem kekerasan
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
Exosystem: Ulama dan Lembaga sebagai Penjaga Etika
Pada tingkat exosystem, dukungan eksternal dari Kemenag, LSM, atau tokoh masyarakat menjadi cermin peran ulama zaman dulu yang menjaga moral dan kebijakan pesantren.
KH. Hasyim Asy’ari sendiri menulis kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim bukan sekadar untuk guru, tetapi sebagai panduan sosial. Peran Kemenag Lebak yang menegaskan standar pesantren ramah anak hari ini, sejatinya meneruskan peran kiai klasik sebagai murabbi al-ummah pendidik umat dari balik sistem.
Dengan kata lain, kebijakan modern ini adalah “ijtihad kelembagaan” yang melanjutkan spirit ta’dib (pendidikan moral) dari masa lalu.
Macrosystem: Nilai Universal dalam Bingkai Syariat dan Budaya
Lapisan macrosystem memuat nilai budaya dan hukum yang melandasi sistem pendidikan pesantren. Nilai-nilai yang diusung PRA aman, sehat, bersih, inklusif, dan nyaman bukanlah inovasi baru, melainkan aktualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
KMA No. 91 Tahun 2025 dan Kepdirjen No. 1262 Tahun 2024 tentang pengasuhan ramah anak di pesantren mengokohkan hal ini. Regulasi itu berfungsi sebagai “kitab kuning birokratis” membumikan nilai kitab klasik dalam bahasa hukum modern.
Dalam kerangka budaya, PRA adalah bentuk tajdid (pembaruan) yang tetap berpijak pada tradisi: melindungi anak bukan sekadar karena tren, tapi karena iman.
Chronosystem: Tradisi yang Beradaptasi dengan Zaman
Sejak uji coba PRA pada 2010 hingga dilembagakan secara nasional pada 2019 dan 2025, pesantren menunjukkan daya adaptasi luar biasa terhadap perubahan zaman.
Dulu, rotan dianggap wajar; kini, empati menjadi alat pendidikan. Evolusi ini menunjukkan bahwa pesantren tidak kehilangan identitas, melainkan menegaskan jati dirinya sebagai lembaga yang selalu belajar dari pengalaman.
Kitab klasik tetap relevan, tapi tafsirnya harus progresif. Seperti kata pepatah pesantren: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih, wal akhdzu bil jadid al-ashlah menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Kesimpulan: Sintesis Tradisi dan Inovasi
Program Pesantren Ramah Anak bukanlah proyek sekulerisasi pendidikan, melainkan reinkarnasi nilai akhlak pesantren dalam wajah kebijakan kontemporer.
Kitab-kitab akhlak telah lama mengajarkan bahwa kasih sayang, kelembutan, dan tanggung jawab adalah inti pendidikan Islam. PRA hanya menegaskan kembali pesan tersebut dengan bahasa regulasi.
Jika kitab akhlak adalah nurani pesantren, maka PRA adalah cahayanya di zaman ini.
Pesantren, dengan kekayaan tradisinya, bukan hanya tempat mencari ilmu, tapi juga ruang hidup di mana kasih sayang menjadi metode pendidikan, bukan sekadar materi pelajaran. Dengan demikian, PRA bukanlah inovasi asing, melainkan gema lama yang kini berbicara dengan mikrofon baru. (***)
| Mencetak Generasi Pandega: Semangat Tamu Racana UIN Saizu Purwokerto dalam Giat Bina Diri 2025! |
|
|---|
| Mahasiswa Doktoral UIN Saizu Jadi Presenter AICIS+ 2025, Kupas Identitas Islam Gen Z Digital! |
|
|---|
| Mahasiswi Informatika UIN Saizu Raih Juara Nasional Karate 2025, Bukti Santri Tangguh! |
|
|---|
| Dekanat FDK UIN Saizu Ikuti FORDAKOM 2025, Perkuat Sinergi Dakwah dan Komunikasi PTKIN |
|
|---|
| PSGA UIN Saizu Gelar Pelatihan Literasi Digital bagi Relawan Gensia dan Aktivis Gender |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251106_OPINI_UINSAIZU.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.