PPDS Undip
Tuntutan Jaksa Terlalu Ringan di Bawah 5 Tahun, Keluarga Aulia Risma Berharap Hakim Beri Vonis Adil
Tuntutan tiga terdakwa kasus pemerasan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) diangap terlalu ringan.
Penulis: Raf | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tuntutan tiga terdakwa kasus pemerasan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) diangap terlalu ringan bagi Keluarga dr. Aulia Risma Lestari.
Tuntutan jaksa terhadap korban yang menyebabkan kematian berada di bawah lima tahun penjara.
Belum lagi dipotong masa tahanan yang membuat para terdakwa lebih cepat keluar dari hukuman.
Baca juga: Taufik Mantan Kaprodi PPDS Undip Dituntut 3 Tahun Penjara di Sidang Kasus Tewasnya dr Aulia Risma
Tiga terdakwa tersebut adalah Taufik Eko Nugroho (TEN), eks Kaprodi PPDS Undip, Sri Maryani (SM) yang merupakan staf administrasi PPDS Undip, dan Zara Yupita Azra (ZYA) dokter senior korban.
Kuasa hukum keluarga Aulia Risma, Yulisman Alim, mengatakan tuntutan yang dibacakan jaksa terlalu ringan.
"Saya mewakili pihak keluarga atas tuntutan yang barusan disampaikan, dibacakan kami merasa kurang puas atas tuntutan itu karena menurut kami itu terlalu rendah gitu," kata Alim saat ditemui di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, tuntutan hukuman untuk para terdakwa minimal lima tahun penjara.
Namun, jaksa membacakan tuntutan di bawah lima tahun penjara.
"Belum lagi dipotong masa tahanan," ujarnya.
Setelah mendengarkan tuntutan jaksa, tim hukum akan segera mendiskusikannya dengan pihak keluarga korban.
"Kami mohon majelis bisa memutuskan ya seadil-adilnya lah gitu," lanjut Alim.
Eks Kaprodi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) Taufik, dituntut 3 tahun penjara karena diduga melakukan pemerasan.
Tuntutan tersebut dibacakan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah pada Rabu (10/9/2025).
Menurut jaksa, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melanggar hukum.
"Menyatakan agar terdakwa tetap ditahan," ujar jaksa.
Adapun hal yang memberatkan tuntutan terdakwa adalah karena menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan.
"Terdakwa tidak mengakui perbuatannya bahkan cenderung mempersalahkan terdakwa Sri Maryani karena pengumpulan uang," ucap jaksa.
Sementara dua terdakwa lain, Sri Maryani dan Zara Yupita Azra, dituntut dengan hukuman yang lebih ringan, yakni masing-masing 1,6 tahun penjara.
Kasus ini mencuat setelah meninggalnya dokter Aulia Risma Lestari, yang memicu perhatian publik terhadap dugaan praktik perundungan dan pemerasan di lingkungan PPDS FK Undip.
Setelah insiden tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menghentikan sementara kegiatan praktik PPDS Anestesi di RSUP Dr. Kariadi, Semarang.
FK Undip dan pihak RSUP Kariadi mengakui adanya perundungan yang dialami korban selama menjalani pendidikan.
Ibunda korban, Nuzmatun Malinah, telah melaporkan sejumlah senior ke Polda Jawa Tengah.
Tiga terdakwa PPDS Undip, Taufik Eko Nugroho (TEN), eks Kaprodi PPDS Undip, Sri Maryani (SM) yang merupakan staf administrasi PPDS Undip, dan Zara Yupita Azra (ZYA) dokter senior korban mengikuti sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu (10/9/2025).
Perbedaan Tuntutan
Jaksa menyatakan tuntunan berbeda terhadap Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani dua terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Aulia Risma Lestari.
Taufik Eko Nugroho mantan kepala Prodi PPDS Undip dituntut hukuman pidana selama 3 tahun penjara.
Tuntutan jaksa lebih rendah terhadap terdakwa Sri Maryani mantan staf administrasi di Prodi PPDS Anestesi Undip yang dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.
Jaksa menilai, perbedaan tuntutan tersebut karena Taufik berperan memberikan perintah kepada Sri Maryani.
Selain itu, tuntutan Taufik lebih berat lantaran tidak mengakui perbuatannya dan cenderung menyalahkan Sri Maryani.
"Terdakwa Taufik tidak mengakui perbuatannya bahkan cenderung menyalahkan terdakwa Sri Maryani karena pengumpulan uang di terdakwa Sri Maryani sudah berlangsung sejak terdakwa menjabat sebagai ketua program studi," ungkap jaksa Tommy Untung dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/8/2025).
Jaksa Tommy merinci hal-hal yang memberatkan perbuatan terdakwa Taufik lainnya yakni terdakwa sebagai dosen seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan.
Tindakan terdakwa Taufik juga menimbulkan rasa takut dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan.
Kemudian menciptakan suasana intimidatif dan represif sehingga menghilangkan kebebasan para residen.
"Hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan sehingga membuat tertib persidangan," katanya.
Sementara, jaksa Sulisyadi membeberkan terkait pertimbangan tuntutan terdakwa Sri Maryani lebih ringan karena mengakui perbuatannya dan menyesalinya.
Sri juga melakukan tindak pidana tersebut semata-mata karena mendapatkan instruksi dari Taufik.
"Namun, ada hal-hal yang memberatkan dari Sri Maryani di antaranya sebagai staf pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya atmosfer relasi kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan," terang Sulis.
Dua terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani melakukan tindakan pemerasan secara ilegal melalui skema Biaya Operasional Pendidikan (BOP) terhadap para mahasiswa residen dari tahun 2018 hingga 2023.
Selama kurun waktu tersebut, mereka mampu mengumpulkan uang sebesar Rp2,49 miliar.
Pembayaran ini tidak menggunakan rekening kampus melainkan rekening atas nama Sri Mariyani.
Pembayaran tersebut tercatat pula dalam buku warna kuning berisi catatan tanda terima uang BOP yang berasal dari para residen.
"Kedua terdakwa melanggar pasal 368 ayat 2 junto pasal 64 ayat 1 KUHP," ucap Sulisyadi.
Selepas pembacaan tuntutan itu, Taufik dan Maryani mengungkap bakal melakukan pembelaan baik secara pribadi maupun melalui kuasa hukumnya.
Sementara satu terdakwa lainnya, Zara Yupita Azra dituntut jaksa dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.
Jaksa menyakini Zara telah melakukan tindakan pemerasan dan melakukan pengancaman kepada korban sebagaimana dakwaan pasal 368 ayat 1 KUHP dan pasal 64 ayat 1 KUHP.
Perbuatan itu telah dilakukan terdakwa selama rentang waktu Juni 2022 hingga Januari 2023.
"Terdakwa Zara dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dikurangi dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani," jelas Jaksa Penuntut Umum (JPU) Efrita dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).
Jaksa juga menyebut ada beberapa perbuatan terdakwa yang memberatkan yakni melakukan tindakan tersebut secara terstruktur dan masif.
Terdakwa selaku residen di lingkungan pendidikan seharusnya tidak membiarkan budaya informalitas kuasa absolut terlebih dalam lingkungan dunia pendidikan.
Akibat perbuatan terdakwa menyebabkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis ke lingkungan pendidikan.
Baca juga: "Kami Kurang Puas" Keluarga Aulia Risma Kecewa Mantan Kaprodi PPDS Undip Dituntut 3 Tahun Penjara
Perbuatan terdakwa menciptakan suasana intimidatif dan refleksi sehingga menghilangkan kehendak bebas para residen.
"Sebaliknya, hal-hal yang meringankan terdakwa berlaku sopan sehingga membuat tertib persidangan terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesalinya," terang jaksa.
Selepas pembacaan tuntutan itu, Zara mengungkap bakal melakukan pembelaan baik secara pribadi maupun melalui kuasa hukumnya. (iwn)
"Kami Kurang Puas" Keluarga Aulia Risma Kecewa Mantan Kaprodi PPDS Undip Dituntut 3 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Kisah Mahasiswa PPDS Anestesi Undip Semarang Sampai Berhutang Untuk Bayar Pungli Ujian |
![]() |
---|
Fakta Baru Kasus Pemerasan PPDS Undip Ternyata Biaya Ujian Rp15,5 Juta, Mahasiswa Dipungut Rp80 Juta |
![]() |
---|
Dekan FK Undip Blak-blakan! Tak Tahu Ada Pungutan Rp80 Juta per Semester untuk Mahasiswa PPDS |
![]() |
---|
PPDS Undip Angkatan 77: Akui Wariskan "Pasal Senior Selalu Benar" ke Junior |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.