Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Menghitung Untung Rugi Tawaran Damai, Rekonsiliasi Kasus Kriminalisasi Warga Pati Jauh dari Sepakat

Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) menyebut proses rekonsiliasi kasus kriminalisasi warga Pati masih jauh dari titik temu.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG/Mazka Hauzan Naufal
JADI TERSANGKA - Dua pentolan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB), Supriyono alias Botok (kiri) dan Teguh Istiyanto (kanan), ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian atas kasus pemblokiran Jalan Pantura Pati-Rembang pada Jumat (31/10/2025). Terhitung sejak Sabtu (1/11/2025), mereka ditahan di Polda Jateng. 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG -  Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) menyebut proses rekonsiliasi kasus kriminalisasi warga Pati masih jauh dari titik temu.

Mereka masih mempertimbangkan tawaran polisi tersebut karena  berpotensi membredel kebebasan berpendapat di masyarakat.

“Rekonsiliasi masih jauh karena subyek rekonsiliasi belum jelas. Kami juga perlu diskusi panjang soal rekonsiliasi jangan sampai membredel hak-hak masyarakat,” ucap Anggota Tim Advokasi AMPB, Naufal Sebastian kepada Tribun, Jumat (7/11/2025).

Baca juga: Puluhan Warga Pati Geruduk Polda Jateng, Tuntut Dua Pentolan AMPB Dibebaskan

Tawaran rekonsiliasi ini muncul selepas tim advokasi AMPB menemui sejumlah petinggi Polda Jawa Tengah meliputi Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio, Direktur Intelijen dan Keamanan (Ditintelkam)  Kombes Pol Bayu Aji dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto di ruangan Dirreskrimum, Selasa (4/11/2025).

Tim advokasi menemui pejabat kepolisian untuk mempertanyakan penangkapan tiga orang meliputi dua pentolan AMPB Teguh Istiyanto dan Supriyono alias Botok serta Sugito yang merupakan sopir truk pengangkut massa aksi, pada Jumat (31/10/2025) dan Sabtu (1/11/2025).

Menurut Naufal, pertemuan itu menghasilkan tawaran rekonsiliasi  dari Polda Jateng. “Kami saat berdiskusi dari Polda Jateng membuka ruang perkara Pati diselesaikan dengan pendekatan lain misalnya restorasi justice atau rekonsiliasi tapi secara teknis belum dibicarakan,” katanya.

Meskipun begitu, hasil pertemuan itu telah dibahas dengan dua pentolan AMPB Teguh dan Botok yang saat ini mendekam di rumah tahanan (rutan) Polda Jateng. Secara singkat, mereka meminta tim Advokasi AMPB untuk mempertimbangkan tawaran tersebut.

“Kami juga belum diskusi panjang dengan mereka (botok dan Teguh) soal tawaran rekonsiliasi ini.  Mas Teguh justru meminta buku dan alat tulis saat kami kunjungan, mungkin mau tulis-menulis sesuatu,” bebernya. 

Ia menyebut, keputusan pihaknya menerima proses rekonsiliasi atau sebaliknya akan diputuskan pada pekan depan.

Sejauh ini, pihaknya masih mempertimbangkan untung rugi dari tawaran tersebut.

Selain membahas soal tawaran rekonsiliasi, ia juga bakal mempersiapkan strategi hukum lainnya bagi para warga yang ditangkap.  “Iya semisal ada opsi-opsi lain semisal  itu praperadilan,” ujarnya.

GERUDUK POLDA - Ratusan warga Pati mendatangi Polda Jateng untuk menuntut dua pentolan AMPB dibebaskan, Kota Semarang, Selasa (4/11/2025).
GERUDUK POLDA - Ratusan warga Pati mendatangi Polda Jateng untuk menuntut dua pentolan AMPB dibebaskan, Kota Semarang, Selasa (4/11/2025). (DOK LBH SEMARANG)

Potensi Matikan Gerakan Warga 

Pakar Hukum dari Soegijapranata Catholic University (SCU)  Semarang Theo Adi Negoro mengatakan, tawaran rekonsiliasi dari polisi dalam kasus demo Pati perlu dicermati karena langkah kepolisian menjerat koordinator demo dengan pasal pidana yang berat lalu menawarkan damai  bisa jadi bagian dari upaya mematikan gerakan perlawanan.

Secara Hukum Tata Negara, tindakan semacam itu melanggar semangat kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dijamin konstitusi persisnya diatur Pasal 28E UUD 1945.

Hal itu dikarenakan menggunakan instrumen penegakan hukum bukan untuk menegakkan ketertiban secara netral melainkan untuk membungkam oposisi politik.

“Ketika penegakan hukum dipilih secara selektif berupa menuntut pasal yang memberi kesempatan penahanan padahal alternatif administratif mungkin sudah cukup dan disertai tawaran perdamaian yang mewajibkan pelepasan hak konstitusional, itu menunjukkan pola penegakan yang memanfaatkan hukum sebagai alat politik untuk melemahkan gerakan,” tuturnya.

Theo memberikan gambaran ketika  tawaran damai berupa restorative justice disambut dengan tangan terbuka maka konsekuensinya berupa positif secara pragmatis. Artinya, perkara yang menjerat  pentolan AMPB maupun warga lainnya yang ditangkap perkaranya bisa dihentikan atau tidak dilanjutkan.

Mereka juga terhindar dari penahanan dan catatan perkara yang panjang, dan kedua belah pihak memperoleh penyelesaian kasus secara cepat.

Namun dari perspektif Hukum Tata Negara terdapat  resiko serius jika persetujuan itu mengandung syarat yang mengekang hak konstitusional semisal dalam  konteks ini tidak boleh demo lagi atau diperoleh tapi di bawah tekanan.

“Menyetujui syarat semacam itu bisa berarti warga melepaskan secara de facto kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dilindungi UUD 1945,” ungkapnya.

Sebaliknya, lanjut Theo,  manakala tawaran damai ditolak risiko praktisnya adalah proses pidana berlanjut.    Jika terbukti bersalah, sanksi pidana dan catatan kriminal menanti.

Namun penolakan berdamai membuka peluang untuk menegakkan prinsip hukum secara formal.

Mekanisme ini bakal berlanjut ke proses peradilan yang memungkinkan pengujian proporsionalitas tindakan aparat, pengujian bukti melalui mekanisme praperadilan atau persidangan.

“Ada pula kemungkinan putusan yang menguatkan hak berkumpul bila aparat bertindak berlebihan,” bebernya.

Kill the Messagers

Koordinator Kaukus Advokat Progresif Indonesia (KAPI) Nasrul Dongoran menjelaskan, penangkapan dua pentolan AMPB yang melakukan demonstrasi menentang kebijakan Bupati Sudewo merupakan tindakan Kill the Messengers, artinya orang yang paling vokal bersuara tentang keresahan warga Pati dibungkam untuk tidak bicara banyak lagi. Mereka dibungkam dengan tujuan untuk mematikan gerakan.

“Jadi penyampai pesannya itu langsung di bungkam dalam perkara ini. Karena kami melihat  mereka itu kan juru bicara dari gerakan.Nah, untuk mematikan gerakan itu akhirnya juru bicaranya  sekarang dibungkam melalui kriminalisasi,” katanya kepada Tribun.

Dalam kasus ini, menurut Nasrul, polisi tidak perlu melakukan tindakan berlebihan dengan melakukan penangkapan.

Sebab, aksi warga tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat sesuai yang diatur dalam Undang-undang.

Sayangnya, lanjut Nasrul, polisi justru menjerat para pentolan AMPB dengan Pasal 192 ayat (1) KUHP tentang menghalangi jalan,

Pasal 160 KUHP mengenai penghasutan dan Pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHP keikutsertaan melakukan tindak pidana. 

Ia menyebut, ketiga pasal itu berpotensi menjadi pasal karet yang digunakan kepolisian untuk melakukan kriminalisasi terhadap aksi demonstrasi warga di tempat lain.

“Oleh karena itu penerapan Pasal-pasal tersebut tidak sesuai konteks untuk diterapkan kepada warga yang menyampaikan aspirasi yang dilindungi undang-undang,” tuturnya. 

Demi Pati Kondusif

Polda Jateng sebelumnya menangkap sembilan warga terkait aksi demonstrasi menentang kebijakan Bupati Sudewo.

Perinciannya meliputi empat tersangka yang diamankan pada demo Pati jilid pertama, Rabu 13 Agustus 2025 lalu meliputi Munaji (37) warga Kecamatan Tlogowungu, Pati yang dituding  melakukan  pengrusakan mobil polisi saat demonstrasi jilid pertama.

Tersangka berikutnya Miming Purwanto (46), Tatas Amsori (35), dan Ahmad Sobirin (34) yang dituding melakukan  penganiayaan terhadap anggota kepolisian Provost  yang melakukan pengamanan aksi demonstrasi.

Pada demo berikutnya persisnya saat massa Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) hendak masuk ke kantor DPRD Pati untuk memantau jalannya rapat Pansus, Kamis 2 Oktober 2025, kelompok Pati Cinta Damai (PCD) yang dikenal sebagai kelompok pro Bupati Sudewo melakukan penyerangan terhadap Teguh dan Botok pentolan AMPB.

Polisi menangkap dan menetapkan dua tersangka  Ari Jaka Candra Agung  (43) dan Sudi Utomo (43) dalam kasus pengeroyokan tersebut. 

Tiga tersangka lainnya ditangkap atas tudingan memblokade jalan Pantura meliputi Teguh Isyanto, Supriyono alias Botok dan Sugito, mereka ditangkap pada 31 Oktober dan 1 November 2025.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto menyebut, telah menawarkan mediasi dan rekonsiliasi kepada kedua belah pihak baik dari yang pro maupun kontra terkait kebijakan Bupati Pati.

Tujuan dari tawaran rekonsiliasi tersebut agar Pati kembali kondusif. “Kami harap kedua belah pihak pro aktif,” ujarnya.

Kepolisian, kata Artanto, menyatakan kesediaannya sebagai mediator bagi kedua belah pihak.

“Apabila kedua belah pihak membutuhkan polisi untuk memfasilitasi dan mengkomunikasikan, kami siap membantu,” ucapnya.

Terkait upaya kriminalisasi dengan penggunaan pasal KUHP bagi dua pentolan AMPB, Artanto membantahnya.

Baca juga: Suami Ditahan Polisi, Istri Botok dan Teguh Tidak Patah Semangat Dukung Perjuangan AMPB

Ia menyebut, penggunaan pasal KUHP tidak sembarangan karena sudah berkoordinasi dengan ahli pidana. 

Ia membantah pula penangkapan terhadap dua pentolan AMPB sebagai bagian dari kepentingan politik. 

“Tidak ada (kepentingan politik) penangkapan sudah sesuai dengan kejadian di lapangan,” terangnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved