Berita Semarang
Menghitung Untung Rugi Tawaran Damai, Rekonsiliasi Kasus Kriminalisasi Warga Pati Jauh dari Sepakat
Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) menyebut proses rekonsiliasi kasus kriminalisasi warga Pati masih jauh dari titik temu.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) menyebut proses rekonsiliasi kasus kriminalisasi warga Pati masih jauh dari titik temu.
Mereka masih mempertimbangkan tawaran polisi tersebut karena berpotensi membredel kebebasan berpendapat di masyarakat.
“Rekonsiliasi masih jauh karena subyek rekonsiliasi belum jelas. Kami juga perlu diskusi panjang soal rekonsiliasi jangan sampai membredel hak-hak masyarakat,” ucap Anggota Tim Advokasi AMPB, Naufal Sebastian kepada Tribun, Jumat (7/11/2025).
Baca juga: Puluhan Warga Pati Geruduk Polda Jateng, Tuntut Dua Pentolan AMPB Dibebaskan
Tawaran rekonsiliasi ini muncul selepas tim advokasi AMPB menemui sejumlah petinggi Polda Jawa Tengah meliputi Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio, Direktur Intelijen dan Keamanan (Ditintelkam) Kombes Pol Bayu Aji dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto di ruangan Dirreskrimum, Selasa (4/11/2025).
Tim advokasi menemui pejabat kepolisian untuk mempertanyakan penangkapan tiga orang meliputi dua pentolan AMPB Teguh Istiyanto dan Supriyono alias Botok serta Sugito yang merupakan sopir truk pengangkut massa aksi, pada Jumat (31/10/2025) dan Sabtu (1/11/2025).
Menurut Naufal, pertemuan itu menghasilkan tawaran rekonsiliasi dari Polda Jateng. “Kami saat berdiskusi dari Polda Jateng membuka ruang perkara Pati diselesaikan dengan pendekatan lain misalnya restorasi justice atau rekonsiliasi tapi secara teknis belum dibicarakan,” katanya.
Meskipun begitu, hasil pertemuan itu telah dibahas dengan dua pentolan AMPB Teguh dan Botok yang saat ini mendekam di rumah tahanan (rutan) Polda Jateng. Secara singkat, mereka meminta tim Advokasi AMPB untuk mempertimbangkan tawaran tersebut.
“Kami juga belum diskusi panjang dengan mereka (botok dan Teguh) soal tawaran rekonsiliasi ini. Mas Teguh justru meminta buku dan alat tulis saat kami kunjungan, mungkin mau tulis-menulis sesuatu,” bebernya.
Ia menyebut, keputusan pihaknya menerima proses rekonsiliasi atau sebaliknya akan diputuskan pada pekan depan.
Sejauh ini, pihaknya masih mempertimbangkan untung rugi dari tawaran tersebut.
Selain membahas soal tawaran rekonsiliasi, ia juga bakal mempersiapkan strategi hukum lainnya bagi para warga yang ditangkap. “Iya semisal ada opsi-opsi lain semisal itu praperadilan,” ujarnya.
Potensi Matikan Gerakan Warga
Pakar Hukum dari Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang Theo Adi Negoro mengatakan, tawaran rekonsiliasi dari polisi dalam kasus demo Pati perlu dicermati karena langkah kepolisian menjerat koordinator demo dengan pasal pidana yang berat lalu menawarkan damai bisa jadi bagian dari upaya mematikan gerakan perlawanan.
Secara Hukum Tata Negara, tindakan semacam itu melanggar semangat kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dijamin konstitusi persisnya diatur Pasal 28E UUD 1945.
Hal itu dikarenakan menggunakan instrumen penegakan hukum bukan untuk menegakkan ketertiban secara netral melainkan untuk membungkam oposisi politik.
“Ketika penegakan hukum dipilih secara selektif berupa menuntut pasal yang memberi kesempatan penahanan padahal alternatif administratif mungkin sudah cukup dan disertai tawaran perdamaian yang mewajibkan pelepasan hak konstitusional, itu menunjukkan pola penegakan yang memanfaatkan hukum sebagai alat politik untuk melemahkan gerakan,” tuturnya.
Theo memberikan gambaran ketika tawaran damai berupa restorative justice disambut dengan tangan terbuka maka konsekuensinya berupa positif secara pragmatis. Artinya, perkara yang menjerat pentolan AMPB maupun warga lainnya yang ditangkap perkaranya bisa dihentikan atau tidak dilanjutkan.
Mereka juga terhindar dari penahanan dan catatan perkara yang panjang, dan kedua belah pihak memperoleh penyelesaian kasus secara cepat.
Namun dari perspektif Hukum Tata Negara terdapat resiko serius jika persetujuan itu mengandung syarat yang mengekang hak konstitusional semisal dalam konteks ini tidak boleh demo lagi atau diperoleh tapi di bawah tekanan.
“Menyetujui syarat semacam itu bisa berarti warga melepaskan secara de facto kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dilindungi UUD 1945,” ungkapnya.
Sebaliknya, lanjut Theo, manakala tawaran damai ditolak risiko praktisnya adalah proses pidana berlanjut. Jika terbukti bersalah, sanksi pidana dan catatan kriminal menanti.
Namun penolakan berdamai membuka peluang untuk menegakkan prinsip hukum secara formal.
Mekanisme ini bakal berlanjut ke proses peradilan yang memungkinkan pengujian proporsionalitas tindakan aparat, pengujian bukti melalui mekanisme praperadilan atau persidangan.
“Ada pula kemungkinan putusan yang menguatkan hak berkumpul bila aparat bertindak berlebihan,” bebernya.
Kill the Messagers
Koordinator Kaukus Advokat Progresif Indonesia (KAPI) Nasrul Dongoran menjelaskan, penangkapan dua pentolan AMPB yang melakukan demonstrasi menentang kebijakan Bupati Sudewo merupakan tindakan Kill the Messengers, artinya orang yang paling vokal bersuara tentang keresahan warga Pati dibungkam untuk tidak bicara banyak lagi. Mereka dibungkam dengan tujuan untuk mematikan gerakan.
“Jadi penyampai pesannya itu langsung di bungkam dalam perkara ini. Karena kami melihat mereka itu kan juru bicara dari gerakan.Nah, untuk mematikan gerakan itu akhirnya juru bicaranya sekarang dibungkam melalui kriminalisasi,” katanya kepada Tribun.
Dalam kasus ini, menurut Nasrul, polisi tidak perlu melakukan tindakan berlebihan dengan melakukan penangkapan.
Sebab, aksi warga tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat sesuai yang diatur dalam Undang-undang.
Sayangnya, lanjut Nasrul, polisi justru menjerat para pentolan AMPB dengan Pasal 192 ayat (1) KUHP tentang menghalangi jalan,
Pasal 160 KUHP mengenai penghasutan dan Pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHP keikutsertaan melakukan tindak pidana.
Ia menyebut, ketiga pasal itu berpotensi menjadi pasal karet yang digunakan kepolisian untuk melakukan kriminalisasi terhadap aksi demonstrasi warga di tempat lain.
“Oleh karena itu penerapan Pasal-pasal tersebut tidak sesuai konteks untuk diterapkan kepada warga yang menyampaikan aspirasi yang dilindungi undang-undang,” tuturnya.
Demi Pati Kondusif
Polda Jateng sebelumnya menangkap sembilan warga terkait aksi demonstrasi menentang kebijakan Bupati Sudewo.
Perinciannya meliputi empat tersangka yang diamankan pada demo Pati jilid pertama, Rabu 13 Agustus 2025 lalu meliputi Munaji (37) warga Kecamatan Tlogowungu, Pati yang dituding melakukan pengrusakan mobil polisi saat demonstrasi jilid pertama.
Tersangka berikutnya Miming Purwanto (46), Tatas Amsori (35), dan Ahmad Sobirin (34) yang dituding melakukan penganiayaan terhadap anggota kepolisian Provost yang melakukan pengamanan aksi demonstrasi.
Pada demo berikutnya persisnya saat massa Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) hendak masuk ke kantor DPRD Pati untuk memantau jalannya rapat Pansus, Kamis 2 Oktober 2025, kelompok Pati Cinta Damai (PCD) yang dikenal sebagai kelompok pro Bupati Sudewo melakukan penyerangan terhadap Teguh dan Botok pentolan AMPB.
Polisi menangkap dan menetapkan dua tersangka Ari Jaka Candra Agung (43) dan Sudi Utomo (43) dalam kasus pengeroyokan tersebut.
Tiga tersangka lainnya ditangkap atas tudingan memblokade jalan Pantura meliputi Teguh Isyanto, Supriyono alias Botok dan Sugito, mereka ditangkap pada 31 Oktober dan 1 November 2025.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto menyebut, telah menawarkan mediasi dan rekonsiliasi kepada kedua belah pihak baik dari yang pro maupun kontra terkait kebijakan Bupati Pati.
Tujuan dari tawaran rekonsiliasi tersebut agar Pati kembali kondusif. “Kami harap kedua belah pihak pro aktif,” ujarnya.
Kepolisian, kata Artanto, menyatakan kesediaannya sebagai mediator bagi kedua belah pihak.
“Apabila kedua belah pihak membutuhkan polisi untuk memfasilitasi dan mengkomunikasikan, kami siap membantu,” ucapnya.
Terkait upaya kriminalisasi dengan penggunaan pasal KUHP bagi dua pentolan AMPB, Artanto membantahnya.
Baca juga: Suami Ditahan Polisi, Istri Botok dan Teguh Tidak Patah Semangat Dukung Perjuangan AMPB
Ia menyebut, penggunaan pasal KUHP tidak sembarangan karena sudah berkoordinasi dengan ahli pidana.
Ia membantah pula penangkapan terhadap dua pentolan AMPB sebagai bagian dari kepentingan politik.
“Tidak ada (kepentingan politik) penangkapan sudah sesuai dengan kejadian di lapangan,” terangnya. (Iwn)
| DPRD Kota Semarang Dukung Usulan UMK 2026 Rp4,1 Juta: Ideal Buat Metropolitan |
|
|---|
| DPRD Kota Semarang Godok Perda Pendidikan Nonformal, Ini Tujuannya |
|
|---|
| Buruh Usul UMK 2026 Kota Semarang Naik Jadi Rp 4,1 Juta, Begini Kata Kadarlusman |
|
|---|
| Sosok Andreas Junian, Pemburu Tanda Tangan Pemain Bola: Dari Liga 1-Liga 2 Hingga Timnas Indonesia |
|
|---|
| Respons Disnaker Kota Semarang Soal Tuntutan UMK 2026 Naik Jadi Rp 4,1 Juta |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251102_Aliansi-Masyarakat-Pati-Bersatu.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.