Opini
Opini Tasroh: Haji, antara Bisnis dan Ibadah
RENCANA pemerintah melalui Kementerian Agama sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas berencana menaikkan biaya Haji hingga Rp
Opini Ditulis oleh Tasroh, SS, MPA, MSc (PNS di Pemkab Banyumas)
TRIBUNJATENG.COM - RENCANA pemerintah melalui Kementerian Agama sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas berencana menaikkan biaya Haji hingga Rp 69,1 juta, dari tahun sebelumnya yang "hanya" Rp 47,2 juta. Rencana tersebut disampaikan Menteri Agama dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Usulan Menag tersebut menuai pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian calon jemaah haji merasa keberatan dengan angkat sebesar itu. Melalui berbagai agen perjalanan Umroh dan Haji, Al Wardah yang memiliki lebih dari 1.000 cabang usaha perjalanan Haji dan Umroh, menyebutkan bahwa kenaikan biaya haji yang diusulkan Menteri Agama dinilai memberatkan.
Baca juga: Jokowi Angkat Bicara Soal Kenaikan Biaya Haji: Itu Belum Final
Baca juga: Tak Ada Pembatasan Usia Haji, Lansia di Kudus Jadi PrioritasÂ
Baca juga: Eks Kepala BPKH: Calon Haji Sudah Ditunda Keberangkatannya, Malah Diminta Biaya Tambahan
Bukan hanya diumumkan di tengah kemelut persiapan Ibadah Haji 2023 yang belum juga beres, rencana kenaikan biaya haji tersebut juga telah mencederai rasa keadilan calon jemaah haji yang rata-rata sudah mendaftar dan mengikuti daftar tunggu (waiting list) selama hampir 10 tahun.
Diketahui, karena mengikuti kebijakan dua negara yakni Arab Saudi dan Indonesia, calon jemaah haji di Indonesia harus "sabar" menunggu hingga puluhan tahun. Kabar terbaru daftar tunggu sudah mencapai 30 tahun. Artinya, jika mendaftar tahun ini maka akan diberangkatkan 30 tahun kemudian. Maka kemungkinan, banyak calon jemaah haji sudah meninggal sebelum berangkat. Karena mayoritas orang yang mendaftar haji sudah berusia kisaran 40 tahun ke atas.
Di luar itu semua, yang sejatinya membuat kekacauan dalam penyelenggaraan haji adalah mulai maraknya idiologi haji sebagai "bisnis". Dana setoran calon jemaah haji raturan triliun rupiah tentu menggiurkan.
Ringankan Beban
Calhaj masih bertanya. Mengapa kalkulasi Badan Penyelenggara Ibadah Haji yang konon sudah dibentuk dengan Undang-Undang dan memiliki semua sumber daya keuangan, tidak berorientasi meringankan beban jemaah haji. Tapi malah cenderung unsur bisnis diprioritaskan.
Alih-alih dibentuknya Badan khusus yang mengurusi tetek bengek dan memfasilitasi jemaah karena mereka telah puluhan tahun memberikan modal usaha melalui "uang muka" sebelum berangkat ke tanah suci. Mengapa layanan haji Indonesia dikenal sebagai layanan yang "serba bayar". Padahal dana mereka sudah lama menumpuk puluhan tahun di lembaga penyelenggara haji.
Sudah sekian kali pemerintah RI gagal melobi Arab Saudi untuk tambah kuota jemaah haji. Maka daftar tunggu (waiting list) pung makin panjang. Padahal para kiai dan ustaz berceramah bahwa umat Islam Indonesia adalah jemaah yang paling tertib, dengan jumlah Jamaah terbanyak di dunia. Bahkan jumlah jemaah haj asal Indonesia dikenal pula sebagai "penyumbang devisa" terbanyak ke negara Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Majalah Forbes (23/7/2021) pernah menceritakan bahwa setoran dan biaya haji kaum muslim Indonesia setara dengan aset Boeing747, yang per tahun mencapai $100 miliar, berputar dalam bisnis berbalut agama yakni "haji". Bisnis haji juga menjadi ibadah yang mampu membuka peluang kerja hingga 5 juta orang selama proses ibadah haji.
Terlalu Bisnis
Sejatinya apa yang disampaikan Menteri Agama RI terkait dengan kenaikan biaya haji itu tidak mengundang kontroversi. Jika dana haji dikelola oleh lembaga khusus, yang orientasi utama adalah ibadah, melayani jemaah, memudahkan dan melancarkan jemaah haji. Bernuansa religi bukan bisnis.
Dana jemaah haji di Badan Pengelola Keuangan Haji ( BPKH) yang bersumber dari uang muka semua calon haji, per Desember 2022 sudah mencapai Rp 166,7 triliun itu jelas akan membuat siapa pun bisa "tergoda" untuk membisniskannya. Bahkan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu sudah tawarkan peta investasi duit jemaah haji itu. Realisasinya baru sebagian kecil diinvestasikan.
Budayawan Ahmad Tohari (2022) pernah menyebutkan bukan tidak mungkin umat yang menikmati hanyalah umat tertentu saja. Sampai-sampai orang menyebutnya Proyek Haji. Sehingga selalu ada pihak yang cari untung memanfaatkan momen ini.
Opini Seto Galih: Kebebasan Berpendapat dan Batasannya dalam Merawat Demokrasi |
![]() |
---|
Opini Nanang Qosim: Mengantisipasi Konflik Pilpres 2024 |
![]() |
---|
Opini Arif Yudistira: Asa dari Setumpuk Pustaka |
![]() |
---|
Opini Saratri Wilonoyudho: Profesor Kelas Koran |
![]() |
---|
Opini Maria Goreti Jutari Risma: Pencegahan Guna Tekan Potensi Pelanggaran |
![]() |
---|