Fokus
Fokus: Mengurai Persoalan ke Sumber Permasalahan
Sejumlah tugas, pekerjaan rumah, dan tantangan ada di depan Plt Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu yang hari ini akan dilantik sebagai wali kota d
Penulis: galih pujo asmoro | Editor: m nur huda
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Galih Pujo Asmoro
TRIBUNJATENG.COM - Sejumlah tugas, pekerjaan rumah, dan tantangan ada di depan Plt Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu yang hari ini akan dilantik sebagai wali kota definitif. Pastinya, satu di antara tantangan itu adalah pencegahan dan penanganan banjir dan rob. Banjir di Kota Semarang adalah persoalan klasik.
Sejarah Kota Semarang Jawa Tengah berawal kurang lebih pada Abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota sekarang menjadi Bergota dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan.
Bagian Kota Semarang bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada 1405 M.
Mengutip dari geologi.do.id, kawasan pesisir Kota Semarang adalah tanah muda sehingga masih mengalami pemampatan terus menerus. Jadi, penurunan muka tanah juga akan terus terjadi. Hal itu diperparah dengan beban bangunan ditambah lagi pengambilan air tanah yang eksploitatif.
Harus diakui, penanganan banjir dan rob di Kota Semarang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bahkan jika semua stakeholder bergerak dan mendukungnya, tetaplah butuh waktu. Apalagi jika tidak mendapat dukungan dari semua pihak hingga masyarakatnya.
Bicara banjir dan rob, Kota Semarang layaknya mengidap komplikasi. Oleh karena itu, penanganan banjir dan rob harus dilakukan dari hulu ke hilir. Kita harus mengapreasiasi rencana penanganan banjir yang akan dilakukan Ita, sapaan akrab Wali Kota Semarang. Misalnya, dengan duduk bersama dengan Bupati Semarang. Hal itu sangat diperlukan karena banjir di Kota Semarang tak lepas dari kondisi di wilayah atas.
Selain itu, para pengembang perumahan di Kota Semarang atas menyiapkan embung sebagai tempat pembuangan air. Aturan itu diterapkan agar pembuangan air dari perumahan tidak langsung menuju saluran aira ataupun sungai. Sesuai aturan persetujuan bangunan gedung (PBG) atau yang sebelumnya disebut izin mendirikan bangunan (IMB), saat ini setiap rumah wajib memiliki resapan. Ita juga minta data perumahan-perumahan di wilayah atas yang diduga melanggar aturan.
Di sisi lain, persoalan penurunan permukaan tanah juga harus diperhatikan. Satu di antaranya adalah soal pengambilan air tanah. Hal itu tentunya juga harus jadi perhatian serius Pemkot Semarang di bawah kepemimpinan Ita. Ia juga harus memastikan tidak ada industri, perhotelan, dan lain-lain yang menggunakan air tanah secara ekspolitatif.
Bangunan fisik semisal sheet pile yang akan dibangun, bisa jadi itu semacam obat pereda rasa nyeri. Benar, air laut tidak akan lagi mencapai permukiman warga. Namun pertanyaannya, berapa lama jika penurunan muka tanah terus terjadi dibarengi dengan krisis iklim yang salah satu dampaknya adalah meningkatnya permukaan air laut?
Butuh keberanian, political will, dukungan masyarakat, dan seluruh stakeholder terkait dalam mengatasi banjir dan rob di Semarang. Penggunaan “obat pereda rasa sakit” juga harus dibarengi dengan mengurai persoalan di sumber permasalahan banjir dan rob agar tidak ada pengulangan sejarah di mana Kota Semarang sekarang ini kembali seperti kondisi Kota Lunpia di masa Mataram Kuno. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.