Tadarus
Idul Fitri dan Kemenangan Melawan Egoisme
Ucapan Kalimat tersebut sangat menyentuh hati kaum muslimin yang baru saja selesai menjalani ibadah puasa Ramadan.
Penulis: febby_mahendra | Editor: m nur huda
Oleh DR KH Multazam Ahmad, MA (Sekretaris MUI Provinsi Jawa Tengah, Dosen FBS Universitas Negeri Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - ALLAHU AKBAR, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa Ilaaha Illallah wa Allahu Akbar. Allahu Akbar Walilllahil Hamdu. Kalimat takbir dan tahmid selalu mengiringi datangnya Hari Raya Idul Ftri 1444H/2023 M.
Ucapan Kalimat tersebut sangat menyentuh hati kaum muslimin yang baru saja selesai menjalani ibadah puasa Ramadan.
Suasana Idulfitri sekarang sangat berbeda daripada dua tahun yang lalu karena ada musibah Covid-19, meski sudah ada pelonggaran (relaksasi) dalam beribadah dan mudik. Pemahaman secara umum umat muslim Indonesia, Idul Fitri dipahami sebagai “kembali kepada kecucian”.
Baca juga: Fokus: Mengumpulkan Energi Baik Agar Digdaya
Ibadah puasa selama Ramadan, Allah swt akan memberi penghargaan kepada orang-orang yang konsisten menjalankan perintah-Nya yakni, dosa-dosa kita diampuni, memeroleh kembali status kesucian, dan terlahirkan dalam keadaan suci.
Baik suci ucapan, tingkah laku, dan akhlaknya. Itulah merupakan dambaan setiap orang mendapat derajat yang tinggi di hadapan Allah swt (muttaqiin).
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.( QS.Al-Baqarah:183).
Menurut Ali Syariati, seorang mufti sosiolog Iran, bahwa mengagunkan dan mengumandangkan asma Allah swt saat Idul Fitri, merupakan deklarasi dan kemenangan melawan egoisme manusia. Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka dan kemuliaan yang sama di dunia ini. Konsekuensinya, tidak ada yang ditakuti, disembah, dan dituju kecuali hanya Allah swt.
Penghambaan terhadap manusia karena memiliki atribut yang melekat seperti, memuji-muji kedudukan, jabatan, kekayaan, kepandaian, yang sering membuat manusia silau dan lupa diri yang pada giliranya bisa menilai dan merendahkan orang lain. Inilah merupakan sikap yang tidak terpuji dan tidak dibenarkan dalam agama.
Tidak ada perbedaan kehormatan yang didasarkan etnis, ras, dan golongan. Yang membedakan adalah nilai ketaqwaanya.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. ( QS. Al Hujurat: 13).
Kemenangan
Idulfitri merupakan deklarasi kemenangan melawan egoisme manusia. Idul Fitri sering disebut sebagai “hari raya berbuka” (festival of fast breaking). Hal ini bukan berarti pelonggaran (relaksasi) melakukan apa saja sesuai kehendak. Tetapi justru kemenangan untuk menampaklan mencari jati diri atau hakekat hidup manusia yang sesungguhnya.
Kemenagan bukanlah kemewahan. Nabi Muhamad saw pernah menyampaikan,”Bahwa hari raya Idul Fitri bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba mewah tapi Idul Fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhanya semakin meningkat”.
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang hanif yang tidak membutuhkan kehidupan hedonisme yang serba menggoda dan menakjubkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.