Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Nasib Hutan Mangrove di Pesisir Semarang Jawa Tengah: Dikejar Abrasi, Dihantam Oligarki

Hutan mangrove tampak memanjang ratusan meter persis di sisi timur Kawasan Industri Terboyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang. 

Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
Tribun Jateng/Iwan Arifianto
Nelayan Semarang, Sarjito saat bekerja menjaring ikan di dekat hutan mangrove Trimulyo, Genuk, Kita Semarang, Sabtu (29/7/2023). Hutan mangrove tersebut bakal hilang imbas pembangunan proyek tol Semarang-Demak. 

Mereka juga dipaksa melakukan proyek pemerintah berupa reboisasi mangrove dengan dalih menggantikan hutan mangrove yang telah dibabat habis.

"Hasilnya reboisasi gagal imbas gerusan gelombang yang tinggi," tuturnya.

Kelompoknya sudah menanam mangrove sejak 2011 hasilnya saat ini sudah ada 2 hektare hutan mangrove menjadi dinding alami penahan abrasi di timur kawasan industri Lamicitra dan pelabuhan Tanjung Emas.

Ia pun ketar-ketir ketika mendengar pesisir Semarang bakal menjadi sasaran tembak pembangunan beragam proyek dalam paket PSN.

"Pemerintah seharusnya tidak hanya membangun tetapi harus memikirkan kawasan hijau dan pemanfaatannya ekonomi masyarakat pesisir," harapnya.

Grafis janji pemerintah terkait revitalisasi mangrove
Grafis janji pemerintah terkait revitalisasi mangrove dengan fakta di lapangan.

Proyek Tol, Jalan Tanpa Hambatan untuk Babat Hutan Mangrove

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak merusak hutan mangrove seluas 42,7 Ha.

Hutan mangrove terdampak langsung dari pembangunan seluas  14,1 ha, dan dampak tidak langsung seluas 28,5 ha.

Rinciannya, wilayah terdampak di Trimulyo meliputi dampak langsung  seluas 12,4 ha, dan tidak langsung seluas 21,9 ha.Kemudian di Sayung, Kabupaten Demak, terdampak langsung 1,6 ha tidak langsung 6,4 hektare.

Wilayah Bedono, Kabupaten Demak, terdampak langsung 0,15 hektare, tidak langsung 0,15 hektare.

Upaya pemerintah dalam merelokasi magrove demi jalan tol bukanlah langkah yang tepat. 

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Teran Yohana Putri dan Fitri Liana Dewi dalam riset yang diterbitkan Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK) tahun 2023.

Dalam penelitian mengungkapkan, upaya relokasi hutan mangrove di daerah yang akan diambil untuk  jalan  tol merupakan langkah tidak efektif.

Perlu ada kajian  kembali  mengenai  pernyataan  akan  keberhasilan dan  keefektifan  pemindahan  mangrove  yang  akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan jalan tol tanggul laut Semarang-Demak.

Sebab, pada kenyataannya  hal  ini  mustahil  dilakukan. 

Selain  itu,  pada  awal  perencanaan  pembangunan tol  tanggul  laut Semarang-Demak ini semestinya pemerintah mempertimbangkan lokasi yang lebih tepat yang tentunya tidak akan mengorbankan  keberadaan  dari  tempat  tinggal  mangrove  tersebut.

"Mengingat  pula  bahwasanya sekarang  ini  sebenarnya  pemerintah  sedang  menggalakan  program  mangrove  dan  dijadikan  program  yang prioritas dikarenakan manfaatnya yang sangat banyak,  terlebih di kota Semarang banyak terdapat program penanaman  mangrove.  Hal  ini  tidak  selaras  dengan  apa yang  dikorbankan  untuk  pembangunan  jalan  tol tanggul laut Semarang-Demak ini," tulis riset tersebut.

Sementara, Pakar mangrove dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi mengatakan, secara umum mangrove di pantura Jawa khususnya Semarang sudah mengalami degradasi dari tahun 1920 akibat pembukaan lahan tambak.

Kemudian, proses penanaman yang serius dilakukan untuk mengatasi degradasi mangrove dilakukan pada rentang tahun 1990 hingga 2000 sehingga usia magrove di rentang 10 hingga 30 tahunan.

Artinya, mangrove dahulu telah terdegradasi sehingga mangrove yang ada sekarang mayoritas adalah hasil penanaman atau jerih payah warga pesisir maupun aktivis peduli lingkungan, dan pihak-pihak lainnya.

"Mayoritas hutan mangrove sekarang memang hasil dari ditanam," paparnya kepada Tribun.

Ia menyayangkan adanya  proyek pembangunan tol Semarang-Demak lantaran akan menghilangkan ekosistem mangrove di kota Semarang.

Hutan mangrove ada yang alami kerusakan secara langsung akibat dibabat untuk proyek kolam retensi atau bagian dari sistem polder.

Sedangkan jalan tol memberikan dampak kerusakan tidak langsung karena efek tidak masuknya air laut imbas tertutup tanggul tol.

"Tentu saja harapannya ekosistem mangrove akan selalu ada. Sebab, manfaat ekosistem magrove sangat banyak tak hanya secara fisik tetapi secara ekologi dan ekonomi," katanya.

Terkait solusi pemerintah dengan melakukan relokasi mangrove, menurutnya, langkah pemerintah melakukan relokasi atau re-vegetasi mangrove bakal menghadapi beberapa kendala.

Hal itu dapat terjadi lantaran magrove memerlukan ekosistem khusus seperti pasang surut air laut, sedimentasi dan lainnya.

"Sementara di kota Semarang sudah tidak ada lahan magrove yang ideal," paparnya.

Relokasi rencananya dilakukan di luar wilayah kota Semarang.

Imbasnya, langkah tersebut  menimbulkan kontradiksi seperti dari petani mangrove Semarang dan Dinas Perikanan Kota Semarang menyayangkan perpindahan lokasi mangrove ke wilayah lain.

Begitupun selepas relokasi, hal itu  tidak secara otomatis menggantikan fungsi hutan mangrove sepenuhnya.

Artinya, ekosistem baru masih butuh waktu lama untuk menggantikan fungsi hutan  yang lama.

"Itu kan mulai dari nol lagi, jadi kalau mau dibandingkan tidak apple to apple. Namun, Mungkin harapan pemerintah secara luasan itu bisa sebagai pengganti," cetusnya.

Lahan relokasi mangrove imbas pembangunan jalan tol Semarang-Demak rencananya dilakukan di sebelah kiri dan kanan Banjir Kanal Timur (BKT). Kemudian di Sidogemah, dekat pintu tol dan Betah walang, Demak.

Lokasi Sidogemah masih berupa perairan sehingga relokasi ke tempat tersebut perlu dilakukan pengerjaan pendangkalan terlebih dahulu.

Sebaliknya, di Betah Walang berupa  daerah sedimentasi yang terdapat pasang surut air laut sehingga ideal untuk mangrove.

"Hanya saja di sana tampaknya sudah ada beberapa institusi merencanakan kegiatan penanaman sehingga dibutuhkan pengaturan pembagian lahan," terangnya.

Ia menjelaskan, rencana pemindahan ke empat lokasi tersebut belum sampai tahap rancangan teknis atau hanya masih sebatas wacana.

Padahal dibutuhkan detail teknis untuk proses relokasi dari penataan ekosistem baru mulai dari siapa yang menanam, siapa yang memelihara, hingga memastikan status lahan.

"Itu yang sampai saat ini belum dibicarakan.

Idenya seperti itu, tetapi detail teknis ya perlu dibicarakan lebih jauh," bebernya saat ditemui di ruang kerjanya pada pertengahan Juli 2023.

Ia menilai, proyek relokasi mangrove yang dicanangkan pemerintah memiliki tingkat kegagalan yang tinggi.

Selain kesulitan mencari lahan pengganti di Semarang dan Demak yang memang sudah parah digerus abrasi, merawat magrove tetap hidup bukan persoalan gampang.

Sarannya, sebagai antisipasi sebaiknya dilebihkan luasan dan jumlah bibit mangrove yang hendak direlokasi.

Setidaknya Pemerintah butuh sebanyak 460.000 bibit pohon mangrove sebagai pengganti pohon mangrove yang hilang di lahan seluas 46 hektare dampak dari pembangunan tol.

Angka tersebut diperoleh menggunakan standar kerapatan mangrove yang biasa ditanam pemerintah yakni jenis Rhizopora.

Umumnya setiap 1 ha lahan mangrove terdapat 10 ribu bibit tanaman.

"Setiap jenis mangrove berbeda, bibit jenis Avicennia jumlahnya bisa lebih dari itu," imbuhnya.

Selebihnya,  re-vegetasi mangrove boleh dikatakan berhasil ketika mangrove bisa bertahan paling tidak umur tiga tahun.

"Umur mangrove 1-2 tahun masih fluktuatif. Artinya belum bisa dikatakan berhasil. Di rentang usia tersebut masih rawan yang dipengaruhi perubahan arus dan penyebab lainnya," jelasnya.

Alat berat crane saat melakukan pengerjaan proyek tol Semarang-Demak
Alat berat crane sedang dioperasikan petugas untuk melakukan pengerjaan proyek tol Semarang-Demak di pesisir antara Trimulyo dan Terboyo Wetan, Genuk, Kota Semarang, Sabtu (29/7/2023).

Pembabatan Mangrove di Tengah Ancaman Krisis Iklim

Manajer Kajian dan kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jateng, Patria Rizky Ananda menyayangkan proses relokasi hutan mangrove terdampak tol Semarang-Demak.

Pihaknya masih mempertanyakan lokasi tanam baru yang akan dilakukan pemerintah dan tingkat presentase keberhasilan dari proyek relokasi tersebut.

"Kebutuhan mangrove sangat besar sekali untuk mengatasi perubahan iklim tetapi pemerintah bertingkah sebaliknya dengan tidak melindungi mangrove malah membabatnya," ujarnya kepada Tribun, Selasa (1/8/2023).

Walhi menyayangkan langkah pemerintah yang melakukan pembabatan mangrove di tengah ancaman krisis iklim.

Dampaknya tentu lagi-lagi akan menyasar ke para nelayan.

Padahal mereka saat ini juga sudah kesusahan mencari sumber penghasilan di laut.Kondisi tersebut nantinya akan semakin parah ketika mangrove hilang.

"Lebih jauh pengaruhnya ke ketahanan pangan warga pesisir," jelasnya.

Tak heran, para nelayan sudah tidak mau anak-anaknya bekerja sebagai nelayan.Hal itu sudah tampak di kampung pesisir Tambakrejo, Kota Semarang.Para nelayan di sana menyuruh anaknya kerja di darat dengan mayoritas berbekal ijazah SMA.

"Kebanyakan mereka akhirnya kerja di pabrik, bengkel , pekerja bangunan dan lainnya. Misal kerja jadi nelayan akan lebih susah," tuturnya.

Ketidakberpihakan pemerintah baik daerah maupun pusat terhadap hutan mangrove sudah tampak dari segi regulasi.

Seperti yang dilakukan pemerintah daerah Kota Semarang.

Mereka telah menyiapkan Kecamatan Tugu untuk dibuka sebagai kawasan jasa dan industri.

Padahal kawasan itu masih memiliki hutan mangrove yang cukup luas. Bahkan, pemkot telah menerbitkan Perda Nomor 5 tahun 2021 terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Menurut Patria, dalam perda disinggung soal reklamasi pantai yang akan dilakukan di pesisir Mangungharjo, Tugu, Kota Semarang.

"Pantauan kami reklamasi dilakukan berjarak 350 meter ke arah utara. Panjang 5 kilometer. Nantinya akan berpengaruh ke mangrove terutama dari perubahan arah arus dan kekeruhan air laut," paparnya.

Belum lagi kebijakan pemerintah pusat yang menerbitkan Perpres Nomor 60 tahun 2022 yang mengukuhkan ambisi pemerintah dalam membebani kawasan pesisir khususnya di tiga daerah meliputi Kendal, Semarang dan Demak.

Ia mengatakan, pendekatan rezim ini berupa tenokratik top-down, artinya tanpa mengajak rembukan wong cilik sehingga tidak mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya pesisir.

"Kami sih tidak percaya ketika kebijakan top-down akan berpihak ke lingkungan dan masyarakat. Pemerintah Jakarta tahu apa sih soal semarang?," tegasnya.

Walhi Jateng telah melakukan kajian terkait pengaruh kawasan industri terhadap mangrove di pesisir Semarang, Demak dan Kendal. Kajian ini menjabarkan kerusakan mangrove mayoritas terjadi akibat alih fungsi lahan baik untuk perluasan kawasan industri, bandara udara, pelabuhan dan reklamasi.

Atas dasar itu, ia mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan bersifat bottom-up, Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) jangan hanya bersifat angin lalu saja lantaran dampak pembangunan yang terpapar adalah warga pesisir.

Berikutnya, beragam rencana-rencana pembangunan industri seharusnya dihentikan.

Pihaknya mendorong pula pemerintah untuk membuat skema adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di pesisir yang mampu menolong para warga pesisir yang terdampak perubahan iklim.

"Sejauh ini kami melihat belum ada skema tersebut. Andalan pemerintah sekarang masih bersifat defensif seperti membuat tanggul," katanya.

Peta jalan tol Semarang-Demak yang membelah pesisir utara Semarang dan Demak
Peta jalan tol Semarang-Demak yang membelah pesisir utara Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Proyek tersebut menyebabkan kerusakan hutan mangrove seluas 42,7 Ha.

Mangrove Vs Penggusuran

Pakar mangrove Rignolda Djamaludin  mengatakan, ekosistem magrove saat ini masih dihargai dengan sangat rendah dibandingkan jalan tol dan kawasan industri.

Pun adanya penggusuran hutan mangrove di Semarang, Jawa Tengah demi proyek tol.

Diakuinya, political will masih berperan penting dalam penyelamatan konservasi mangrove.

Jangankan kawasan magrove dalam kasus-kasus seperti ini situs budaya saja bisa dipindahkan demi mulusnya proyek jalan tol.

"Gimana bisa 40 hektare lebih hutan mangrove dipindahkan (imbas proyek tol Semarang-Demak). Yang benar adalah memusnahkan mangrove lalu kompensasi tanam di tempat lain. Itu hanya kata pembenaran. Kalau sudah salah janganlah cari-cari pembenaran," beber penulis Buku Magrove Biologi, Ekologi dan konservasi ini.

Ia berpendapat wilayah  Jawa Tengah Jateng secara oseanografi sudah mengalami permasalahan di wilayah pantainya.Kondisi tersebut seharusnya jangan lagi ditambah tekanan dengan beragam proyek infrastruktur.

Sebaliknya lakukan Ecological Restoration atau memulihkan habitat dan ekosistem yang telah terdegradasi. "Sayangnya, pengambil keputusan menggunakan nilai-nilai tak jelas.

Pakai hitungan untung-untungan. (Lingkungan) selalu menjadi objek yang dikorbankan," jelasnya.

Lepas dari itu, ia tetap mendorong semangat warga pesisir Jawa Tengah yang memiliki energi peduli terhadap lingkungan pesisir.

Terkadang usaha kecil lebih berharga karena membudidayakan mangrove  bukan soal luasan yang penting tetapi karakteristik, genetik dan fungsi ekologi.

"Warga pesisir Jateng yang sudah melakukan penamaan mangrove di sana apapun ancamannya tetap lakukan penanaman," pesannya.

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim , Muhamad Karim, menuturkan, terkait relokasi mangrove yang akan dilakukan di pesisir Semarang Jateng demi proyek tol hal itu merupakan langkah tak tepat.

Baginya, tidak mungkin kawasan ekosistem yang mempunyai interaksi  kompleks dan menjamin metabolisme alam di kawasan  kemudian dipindahkan.

"Pemprov Jateng keliru untuk mengatasi hal itu karena itu tak logis, relokasi (mangrove) adalah suatu tindakan tak tepat," paparnya saat diskusi RPP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Magrove, Rabu (26/7/2023).

Pemprov Jateng dalam terancamnya hutan mangrove pesisir bisa mengacu kepada wewenangnya sebagai otonomi daerah yang memiliki kuasa dalam pengelolaan kawasan pesisir.

"Apapun istilahnya dari relokasi, re-vegetasi tak masuk akal sehingga itu akan menghacurkan ekosistem dan pos-pos ekologi yang sudah berlangsung secara alamiah akan hilang semua," terang Dosen Universitas Trilogi Jakarta ini.

Keberlanjutan Hutan Magrove?

Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang KP3K Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, Benovita Dwi Saraswati mengatakan, terdapat dampak langsung dan tidak langsung dari pembangunan proyek tol Semarang-Demak.

Dampak langsung yakni mangrove yang dibabat lantaran untuk kebutuhan pembuatan tanggul maupun dampak tidak langsung yakni mangrove yang mati akibat paska pembangunan tol yang berdampak daerah sisi selatan tol akan kering sehingga mangrove  dimungkinkan mati.

Wilayah yang terdampak Trimulyo terdampak langsung seluas 14 Ha,  terdampak tidak langsung 24 Ha. Tahapan awal yang dilakukan penebangan di Trimulyo,  Genuk luasan 12,4 Ha. 

"Kapan ditebang belum tahu, magrove yang hendak  ditebang merupakan dari terdampak langsung, sebaliknya mangrove tak terdampak langsung dibiarkan," terangnya.

Kemudian di Sayung, terdampak langsung 1,6 Ha tidak langsung 6,4 Ha. Bedono, terdampak langsung 0,15 Ha, tidak langsung 0,15 Ha. "Paling luas memang di Semarang," imbuhnya.

Mengantisipasi kerusakan tersebut, pihaknya menyebut, mengacu surat dari Badan Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional sudah menentukan lokasi re-vegetasi mangrove di empat lokasi meliputi Kalimati, timur tanggul banjir kanal timur, Sidogemah, Sayung, Betah Walang Bonang Demak.

“Empat lokasi ini sejauh ini belum ada kajiannya,” ungkapnya, Kamis (13/7/2023).

Pembabatan mangrove tersebut memang tak sejalan dengan program konservasi mangrove yang dicanangkan pemerintah provinsi Jawa Tengah.

Namun, Benovita mengklaim, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan realisasi konservasi mangrove total telah mencapai seluas 1.686 Ha.

Ditambah pada tahun tahun 2023, sudah melakukan konservasi seluas 96,2 Ha.

Masih ada potensi tambahan konservasi sekitar 90 hektare di tahun ini yang berasal dari dana CSR perusahaan.

“Seperti program PLN punya target menaman 100 hektare di Pantura Jateng. 10 hektar di Rembang sudah sisanya survei Pekalongan Brebes,” tuturnya.

Meskipun adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan pesisir, ia yakin sesuai Perpres Nomor 60 tahun 2022 yang mengatur Rencana Tata Ruang Strategis Kedungsepur telah mengatur alokasi ruang keberlanjutan magrove.

Ia tak menyebut detail seberapa luasan ruang yang disediakan pemerintah melalui aturan tersebut.

“Tiga daerah Kendal, Semarang, Demak kedepannya nanti jadi zona industri namun menjamin keberlanjutan magrove tetap di situ,” katanya.

Ditemui terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto mengatakan, relokasi mangrove terdampak tol Semarang-Demak masih dikomunikasikan terkait lokasi penggantinya.

Komitmen penanaman kembali mangrove yang hilang akibat pembantu tol Semarang-Demak tetap dilakukan karena sudah masuk ke dokumen lingkungan.

"Masih mengkomunikasikan, pembangunan kan belum selesai. Nanti lihat terdampak berapa bisa saja perencanaan berubah saat pelaksanaan," bebernya kepada Tribun, Jumat (28/7/2023).

Disinggung ancaman pesisir Jateng terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN), Widi memastikan, pihaknya bakal melakukan pengawalan dan pengawasan supaya proyek yang ada tak semestinya menghilangkan ekosistem mangrove.

Pengawasan dilakukan sejak awal penyusunan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 

"Di dalam dokumen AMDAL ada kewajiban menyelamatkan magrove. Kuncinya, berada di dokumen persetujuan lingkungan di AMDAL sudah diatur dan tak semuanya ditebangi," katanya.

Ia juga memastikan kepada pelaksana proyek seperti pekerjaan jalan tol wajib melakukan rehabilitasi atau penanaman mangrove di area lain sekaligus merawatnya sampai tumbuh besar.

Setiap pelaku usaha wajib melakukan rehabilitasi  menanam mangrove dengan luasan yang sama ketika dalam proses pembangunan menghilangkan kawasan mangrove.

"Jadi ada pengganti, hilang mangrove terus tidak ada pengganti, ketika ada pengganti maka luasan Magrove tidak berkurang. Itu kewajiban pelaku usaha dari rehabilitasi mangrove," tuturnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui DLHK mengklaim tiap tahunnya terus memperluas wilayah rehabilitasi mangrove.

Widi menyebut, selama kurun lima tahun dari 2017-2021 ada kenaikan luasan sebesar 3.148 hektare.

Rinciannya, pada tahun 2017 luasan rehabilitasi mangrove di angka 12.661 hektare. Ditahun 2021 bertambah menjadi 15.809 hektare.

Baca juga: Ratusan Bibit Mangrove Ditanam Polres Demak Dalam Menyambut HUT Humas Polri

"Data tahun 2022 masih dihitung, misal ditambah yang peningkatannya lebih," klaimnya.

Di samping itu, adanya pengembangan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) magrove di pasar Bangi Rembang, Mojo di Pemalang, dan Muara Kali Ijo di Kebumen.

"Kami melakukan pula gerakan rehabilitasi mangrove bersama masyarakat. Bahkan memberikan bantuan ekonomi produktif berupa alat-alat pengolahan kopi mangrove. Bentuk pemberdayaan masyarakat," tandasnya. (Iwn)

 

1. Nelayan Semarang, Sarjito saat bekerja menjaring ikan di dekat hutan mangrove Trimulyo, Genuk, Kita Semarang, Sabtu (29/7/2023). Hutan mangrove tersebut bakal hilang imbas pembangunan proyek tol Semarang-Demak. (Tribun Jateng/Iwan Arifianto).

2. Alat berat crane sedang dioperasikan petugas untuk melakukan pengerjaan proyek tol Semarang-Demak di pesisir antara Trimulyo dan Terboyo Wetan, Genuk, Kota Semarang, Sabtu (29/7/2023).(Tribun Jateng/Iwan Arifianto)

3. Peta jalan tol Semarang-Demak yang membelah pesisir utara Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Proyek tersebut menyebabkan kerusakan hutan mangrove seluas 42,7 Ha. (Sumber, dok : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah).

4. Grafis janji pemerintah terkait revitalisasi mangrove dengan fakta di lapangan. (Tribun Jateng / Bram Kusuma)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved