Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Demak

Cerita Perempuan di Kampung Tenggelam Pesisir Demak: Jaga Mangrove dan Identitas Perempuan Pesisir

Sejumlah kampung di Kabupaten Demak telah tenggelam. Namun, ada warga yang memilih bertahan di kampung tersebut. 

Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO
JAGA MANGROVE: Pasijah (55) atau Mak Jah menunjukan hutan mangrove yang telah ditanamnya sejak puluhan lalu, Selasa (18/2/2025). Dia memilih bertahan di kampungnya di Dukuh Rejosari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, karena ingin menjaga hutan mangrove tersebut. (TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO) 

Pada masa mudanya, perempuan asli Timbulsloko ini bekerja sebagai petani.

Bencana rob yang mulai merendam kampung mendorong warga pesisir untuk beralih menjadi petambak, termasuk Mak Pah.

Namun, rob benar-benar menenggelamkan kampung itu sehingga Mak Pah harus beralih pekerjaan lagi dengan menjadi nelayan tangkap.

Hal itu telah dilakukannya selama 1 dekade terakhir.

“Belajar pasang perangkap ikan sendiri,” terangnya.

Kondisi serupa dialami oleh dua perempuan Timbulsloko lainnya, yakni  Zubaidah (60 tahun) dan Mukaromah (62).

Keduanya dulu adalah petani.

Kini, mereka sama-sama bekerja sebagai nelayan.

“Ya dulu itu petani, sekarang ya bekerja sebagai nelayan karena kampung sudah menjadi laut,” terang Zubaidah.

Mak Dah, sapaannya mengungkapkan, bekerja sebagai nelayan tidaklah mudah karena harus menghadapi ganasnya ombak laut.  

Bahkan, dia pernah dikira hilang ditelan ombak oleh suaminya saat melaut dalam kondisi cuaca buruk.

Padahal ketika itu dia sedang menepi di hutan mangrove Bogorame yang berada di sisi utara kampungnya.

Selain harus menghadapi ganasnya ombak laut.

Dia juga harus menghadapi cemoohan.

“Ya kami diragukan oleh para warga kampung sebelah karena dikira Timbulsloko itu tidak ada nelayan perempuan karena dulu di sini adalah petani,” jelasnya.

Mereka memilih bertahan di kampung tenggelam tersebut karena masih memperoleh penghasilan dari bekerja sebagai nelayan.

Penghasilan bersih perempuan nelayan di Timbulsloko ini berkisar Rp20 ribu hingga Rp50 ribu per hari.

Mereka mengaku penghasilan itu langsung ludes untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli beras, uang jajan cucu, dan kebutuhan lainnya.

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnu’ah (49) menyebut, tak mudah bagi para perempuan yang bertahan di kampung tenggelam.

Mereka banyak yang mengalami depresi di tengah kondisi lingkungan tersebut.

Di sisi lain, mereka dipaksa untuk selalu beradaptasi salah satunya yakni beralih pekerjaan dari sawah lalu petambak setelah itu menjadi nelayan hingga buruh.

“Banyak perempuan berusaha mencari uang dengan kondisi seperti ini. Mak pah Mak dah Mbak Sikah, dan perempuan lainnya mereka gelisah harus melanjutkan hidup di tengah kondisi rob seperti ini,” katanya.

Para perempuan tersebut juga rentan dengan berbagai risiko lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) seperti ditelantarkan tanpa dinafkahi secara ekonomi hingga dipukul karena suaminya banyak yang kehilangan mata pencaharian.

“Kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka juga turut terancam,”  katanya.

Masnu’ah mengaku masih melakukan pendampingan terhadap para perempuan di pesisir Demak di antaranya Timbulsloko dan Bedono agar mereka berdaya dan bangga terhadap identitasnya sebagai perempuan nelayan.

Selama melakukan pendampingan di tempat tersebut, Masnu’ah berkolaborasi dengan  Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)  sejak tahun 2020.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengungkapkan, peralihan pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan di pesisir Demak yang kampungnya tenggelam merupakan bentuk membangun ketangguhan versi mereka.

Alih-alih membangun ketangguhan tersebut, pemerintah selalu menyodorkan satu solusi yakni relokasi.

Padahal relokasi hanya menjebak warga untuk masuk ke skema utang yang lebih besar karena dalam relokasi sebagian besar ditanggung oleh warga.

“Peran pemerintah dalam menangani wilayah tenggelam seperti pemadam kebakaran. Solusinya juga aneh-aneh seperti membangun jalan tol (tanggul laut), langkah itu sebenarnya mau mengurus warga atau selamatkan industri,” ungkap Susan.

Kerusakan Buatan Manusia dan Solusi Semu Pemerintah

Merujuk data KIARA, ada sebanyak  1.148 desa pesisir di Indonesia tenggelam pada tahun 2020.

Adapun Jawa Tengah menjadi wilayah yang paling terdampak.

Kondisi itu dapat dilihat di beberapa desa di Kabupaten Demak meliputi Bedono, Timbulsloko, Surodadi, Morodemak, dan Tambakbulusan.

Dari kondisi tersebut, lebih dari 800 hektar daratan berdampak dan lebih dari 6.000 Kepala Keluarga (KK) dengan rumah-rumah mereka terendam air secara permanen.

Khusus untuk kawasan Desa Timbulsloko kini telah kehilangan lebih dari 101 hektar daratan dengan setidaknya 500 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal.

Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana mengatakan, kondisi desa pesisir di Demak tenggelam dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor pembangunan yang masif di dilakukan di wilayah pesisir maupun wilayah hulu.

Untuk pembangunan wilayah pesisir, kata Erwin, yang paling berdampak adalah  pembangunan pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

Pembangunan proyek ini mengubah pola arus sehingga mempercepat abrasi di wilayah Kecamatan Sayung.

Pola pembangunan berikutnya yang ikut merusak pesisir yakni pembangunan salah satu bendungan terbesar di Indonesia yakni Bendungan Kedung Ombo yang membentang di wilayah Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali.

Erwin menilai, bendungan ini merusak daerah aliran sungai (DAS) di kali tuntang sektor tengah.

Alhasil, volume debit air yang masuk ke wilayah pesisir Demak kian besar.

Satu faktor lainnya yang turut memperparah kondisi pesisir Demak adalah pembangunan kawasan industri yang dibarengi dengan pengambilan air tanah terlalu berlebihan sehingga mempercepat terjadinya proses land subsidence atau penurunan muka tanah.

“Tiga faktor itu yang sebetulnya secara bersamaan bekerja kemudian menggerus wilayah pesisir utara  Demak,” paparnya.

Erwin menyebut, penyebab kerusakan di pesisir pantura memang bukan faktor tunggal. Kerusakan di kawasan ini juga bukan semata-mata karena krisis iklim.

Namun, faktor-faktor eksternal lebih dominan dalam menyumbang kerusakan.

“Faktor-faktor eksternal yang bentuknya adalah man made fitur atau buatan manusia yang sebetulnya lebih merusak,” bebernya.

Dari kondisi tersebut, Erwin menilai warga pesisir yang memilih untuk tetap menggantungkan hidupnya di desa mereka yang tenggelam malah semakin tersingkir.

Sebab, pemerintah yang seharusnya membela kepentingan warga malah bersikap sebaliknya.

Pemerintah memilih untuk membuka ruang kawasan itu selebar-lebarnya untuk pengembangan kawasan-kawasan industri.  

Hal itu dapat dilihat dari penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Demak.

“Pemerintah tidak melihat kepentingan warga yang selama ini mencoba bertahan dengan kebaikan alam di pesisir yang ada justru adalah upaya-upaya untuk penyingkiran warga dari ruang yang selama ini mereka kelola,” katanya.

Menurut Erwin, Pemerintah daerah seharusnya dapat memastikan para warga pesisir yang bertahan di tengah kampung mereka yang tenggelam dengan memberikan hak dasar mereka terpenuhi, misalnya hak akan air bersih, hak tinggal, hak kesehatan, akses mata pencaharian dan  pendidikan.

Bersamaan dengan itu, perlu ada langkah pemulihan lingkungan semisal dengan menggencarkan rehabilitasi mangrove dengan catatan menggunakan bibit yang tepat di kawasan tersebut.  

Ketika langkah itu dapat dilakukan secara berbarengan akan sangat menguntungkan bagi proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

“Jadi bukan mustahil melakukan harmonisasi antara pembangunan, kepentingan lingkungan dengan perubahan masyarakat. Pemerintah hanya perlu melihat lebih dalam lagi apa yang diinginkan masyarakat lalu mendorongnya perubahan itu dari dalam,” ungkapnya.

Sementara itu, Tribun telah berupaya mengkonfirmasi ke Bupati Demak Eisti’anah soal persoalan tersebut.

Namun, hingga berita ini ditulis belum ada respon. (Iwn)

Baca juga: Cerita Anak di Pesisir Demak : Hidup di Tengah Bencana Rob Hingga Ganggu Kesehatan Mental

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved