Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Sidang Kasus Kematian Dokter Aulia

Indra dan Zara, Dua Nama Senior PPDS Anestesi Undip yang Disebut Paling Bikin Depresi Dokter Aulia

Dugaan perundungan yang dialami Aulia Risma Lestari selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis

Penulis: Lyz | Editor: muh radlis
TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO
SIDANG PPDS UNDIP: Suasana persidangan kasus perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (4/6/2025) malam. (TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO) 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dugaan perundungan yang dialami Aulia Risma Lestari selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang akhirnya terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu, 4 Juni 2025.

Fakta ini mencuat saat majelis hakim yang diketuai Djohan Arifin memimpin jalannya sidang pemeriksaan saksi dalam perkara yang menyita perhatian publik tersebut.

Sebanyak enam saksi dihadirkan, terdiri dari empat saksi dari pihak keluarga dan dua orang saksi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

Saksi dari pihak keluarga antara lain ibunda almarhumah, Nuzmatun Malinah, serta adik kandungnya, Nadia.

Dua kerabat dekat lainnya adalah Akwal Sadika dan Nur Diah Kusumardani—sahabat dekat Aulia yang juga menjadi saksi kunci dalam perkara ini.

Sementara dua saksi dari Kementerian Kesehatan adalah Pamor Nainggolan dan Yunan, yang turut memberikan keterangan terkait sistem pendidikan dan pengawasan dalam program PPDS.

Dalam persidangan, terungkap bahwa Aulia diduga mengalami tekanan psikologis dan perlakuan tidak adil selama menjalani pendidikan spesialis.

Dalam keterangan di sidang tersebut, Pamor Nainggolan  yang menjabat sebagai ketua tim Inspektorat Kemenkes untuk kasus PPDS Undip  mengungkap, Aulia Risma Lestari mendapatkan perundungan saat menempuh pendidikan di program PPDS Undip di Kariadi Semarang.

"Terdapat perundungan (korban) atas nama Aulia Risma. Peran Taufik kepala sekolah (Ketua Program anestesi Undip), dr Zahra sebagai kakak pembimbing banyak berinteraksi dengan Aulia. Dr Zahra memang ada kata-kata verbal terhadap almarhum," bebernya.

Menurut Pamor, perundungan didapatkan oleh korban berkaitan dengan beberapa kejadian di antaranya persoalan penyediaan makanan bagi senior. 

Selain perundungan, Pamor juga mengakui adanya pungutan Biaya Operasional Pendidikan (BOP).

Pamor menyebut,pungutan itu bervariasi per angkatan.

Namun, pihaknya mencatat pungutan antara Rp60 juta sampai Rp80 juta per mahasiswa.

"Iuran angkatan itu di luar biaya pendidikan yang diamanatkan dan tidak sesuai instruksi kementerian kesehatan," katanya.

Pamor menyebut, mendapatkan tugas dari Kementerian Kesehatan untuk melakukan investigasi kasus Aulia Risma Lestari selepas berita kematiannya viral di media massa yakni pada tanggal 13 Agustus 2024.

"Kami pada 14 Agustus berangkat ke RSUP Kariadi meminta informasi awal.

Lalu kami mendapatkan informasi awal dari direksi (Kariadi)," katanya.


Pamor menambahkan, sempat kesulitan ketika melakukan investigasi kasus perundungan dan pungli program PPDS Undip di Kariadi Semarang.

"Kami konfirmasi ke teman-teman PPDS ada hambatan saat melakukan klarifikasi.

Selepas kami telusuri ternyata informasi yang kami terima KPS (kepala Program studi - terdakwa Taufik) mengkondisikan mahasiswa PPDS," katanya. 

Sebelumnya, sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap bentuk perundungan yang dilakukan oleh terdakwa Zara Yupita Azra.

Terdakwa Zara merupakan senior Aulia Risma Lestari korban dari perundungan dan pemerasan PPDS Undip.

Keterangan saksi yang mengarah pada tindakan perundangan diungkapkan oleh saksi Nadia adik dari korban Aulia dan Nur Diah kusumardani yang mereka sahabat dari Aulia di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (4/6/2025) malam.

Dalam kesaksian di persidangan,  Nadia mengungkapkan, tindakan perundungan sudah diterima kakaknya Aulia sejak hari pertama diterima dalam program PPDS Undip pada Mei 2022.

Menurutnya, korban sering bercerita kepadanya soal tugas dari senior yang mengeksploitasi fisik karena tugasnya berupa mengerjakan tugas pribadi senior di antaranya tugas ilmiah, tesis, dan translet jurnal.

"Alhamarhumah mendapatkan tugas sangat.

Belum lagi tugas untuk membeli parfum, membeli makanan, hingga memesan kamar  hotel untuk senior," tuturnya.

Nadia juga mengungkapkan, tiga bulan saat mengikuti program PPDS , korban sudah dimarahi oleh terdakwa Zara hanya karena terlambat membelikan kopi.

"Korban curhat sangat banyak. Dia sampai berobat ke psikolog pada November 2022 karena tekan psikis saat ikut program itu," terangnya.

Sahabat Aulia Risma, Nur Diah kusumardani mengatakan, faktor utama Aulia alami depresi adalah tekanan dari senior.

Sejauh Aulia bercerita, kata Diah, korban pernah menyebutkan nama seniornya di antaranya Indra dan Zara.

Soal Indra, Aulia pernah bercerita dimaki-maki cukup lama hanya karena salah membeli rokok.

"Untuk Zara, korban mengaku tidak mau urusan sama dia.

Dia yang menyebabkan korban  depresi.

Omongan itu benar-benar ada," paparnya.

Mengenai kesaksian itu, Zara menyangkalnya.

Dia berdalih, beban kerja berlebihan yang diberikan ke Aulia merupakan tugas dari senior.

Dia yang berada dalam satu divisi dengan korban yakni divisi ilmiah maka memberikan tugas itu ke korban.

"Soal beli parfum dan kopi itu tekanan senior kepada saya lalu saya operkan ke almarhumah.

Saya operkan tradisi itu ke adik kelas (almarhumah) itu arahan dari senior," kata Zara.

Kuasa hukum dari tiga terdakwa, Agung Utoyo menyebut, sidang kali ini masih permulaan sehingga belum bisa menilai apapun.

"Saksi baru 6. Masih awal," terangnya.


Diberitakan sebelumnya, Ibu kandung mendiang Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah mengaku lega selepas mengikuti persidangan kasus perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang , Rabu (4/6/2025).

Sidang yang dipimpin oleh oleh Hakim ketua Djohan Arifin itu dilakukan secara maraton dengan menghadirkan enam saksi mulai pukul 11.00 WIB hingga selesai pada pukul 22.12 WIB.

Nuzmatun menyebut, merasa lega karena semua keterangannya telah diutarakan di depan Majelis Hakim.

Dia juga bersama jaksa penuntut umum telah menyodorkan bukti ke hakim.
"Saya hanya mengharapkan keadilan, sebab dari kejadian ini  anak saya meninggal dunia. Lalu disusul suami saya (meninggal tak lama selepas Aulia)," bebernya kepada Tribun sesuai sidang, di PN Semarang.

Dia menuturkan, dalam persidangan sempat mendengar bantahan dari ketiga terdakwa.

Namun, baginya hal itu tak masalah. "Membantah boleh saja tapi lihat saja faktanya," ungkapnya.

Sidang tersebut menghadirkan pula  tiga terdakwa meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari,  Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip Taufik Eko Nugroho dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.

Sementara dari para saksi terdapat empat saksi dari keluarga Aulia yakni ibunda almarhum Aulia Nuzmatun Malinah dan adik korban Nadia. Dua kerabat lainnya masing-masing Akwal Sadika  dan Nur Diah kusumardani.

Adapun dua saksi lainnya dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masing-masing Pamor Nainggolan dan Yunan.

Dua saksi dari Kemenkes ini memberikan keterangan soal hasil investigasi terkait kasus perundungan dan pungutan liar yang menimpa Aulia Risma Lestari. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved