Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jawa Tengah

Ketika Laut dan Mangrove Berpelukan, Ekonomi Warga Pun Tersenyum

Melalui silvofishery, mereka belajar menjaga alam, menjaga dapur tetap ngepul, sekaligus memastikan anak cucu masih bisa menikmati laut yang kaya.

Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: deni setiawan
TRIBUN JATENG/MAMDUKH ADI PRIYANTO
CEK KERAMBA - Anggota Mamaku mengecek keramba plastik yang berisi kepiting di kawasan Kampoeng Kepiting, Kutawaru, Cilacap, Kamis (11/9/2025). Berkat konsevasi mangrove, warga yang didominasi eks-TKW dan eks-ABK bisa mengais rezeki. 

TRIBUNJATENG.COM, CILACAP - Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Khoerul (55) memeriksa keramba apung kepiting di sela pohon mangrove di Kutawaru, Cilacap, Kamis (11/9/2025). Tangannya cekatan, senyumnya merekah, kepiting-kepiting sudah siap dipanen dan disajikan di meja makan.

Di tangannya, tergenggam jaring bambu dan ember plastik berwarna hijau kusam. Dia menunduk, menatap lekat permukaan air di dalam keramba apung, seolah sedang membaca tanda-tanda kehidupan di bawahnya. 

Angin laut membawa aroma asin, berpadu dengan bau khas tanah basah yang menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Baca juga: Pertamina Cilacap Ajak Warga Keliling Kilang, Melihat Lebih Dekat Proses Bisnis 

Dia membuka keramba satu per satu, hasil tangkapan dari alam dimasukan, sedangkan kepiting yang sudah siap panen akan diambil. Disortir dengan hati-hati: kepiting cangkang lunak dan cangkang keras.

Keramba yang dipasang di sela-sela mangrove tersebut berfungsi untuk pembesaran kepiting.

“Selera orang beda-beda, ada yang suka kepiting cangkang lunak, ada juga yang cangkang keras,” ujarnya.

Jika bibit kepiting yang didapatkan dari alam sudah gemuk, pembesaran di dalam keramba plastik berlubang hanya membutuhkan waktu tiga hingga empat hari hingga panen. Namun, jika kondisi bibit kepiting dari alam kurus, biasanya pembesaran mencapai tiga pekan.

Selama di keramba, kepiting diberi makan ikan rucah atau ikan-ikan kecil hasil tangkapan nelayan yang menjadi limbah.

Setelah usai, Khoerul membawa hasil tangkapannya ke dapur rumah makan yang berada dalam satu lokasi di hutan mangrove. Di sanalah kepiting-kepiting itu akan ditimbang dan disajikan ke meja makan untuk wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut.

Dari sana pula kehidupan sederhana keluarga Khoerul terus berputar antara lumpur, akar bakau, dan cita-cita sederhana untuk bertahan.

Hutan mangrove yang dulu nyaris gundul kini tumbuh kembali berkat gotong royong warga. Di sela-sela akar yang menjulang itu, kehidupan baru muncul: burung kuntul, ikan kecil, dan tentu saja, kepiting-kepiting yang menjadi sumber nafkah utama warga seperti Khoerul.

“Dulu saya bekerja di kapal (anak buah kapal/ABK), sekarang ya di sini saja. Alam ngasih rezeki asal dirawat,” ucapnya.

Dulu, kawasan ini nyaris mati, hanya tersisa lumpur dan harapan yang tipis. Kini, berkat silvofishery, laut dan hutan kembali berpelukan, menghadirkan kehidupan baru bagi masyarakat pesisir.

Bagi warga pesisir, mangrove bukan lagi sekadar hutan bakau yang harus dilestarikan. Ia adalah sahabat, pelindung, sekaligus sumber penghidupan.

Bukan hanya soal kepiting, tetapi juga senyum masyarakat yang kini merasakan denyut ekonomi tumbuh bersama rimbunnya mangrove.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved